Perubahan Identitas Aktivis Tarbiyah: Redup atau Tuai


Perubahan Identitas Aktivis Tarbiyah: Redup atau Tuai
Lasahrudin Lasuci








Malam ini Sabtu 21 Muharram 1442 H di depan Masjid Gammalamo Jailolo, pikiran ini kemudian menerawang dan sedikit merenung malam ini, sambil ditemani suara merdu pengemudi bentor yang lagi meregangkan urat syaraf dengan karaoke lagu Thae Umar – Kangela. Kembali lagi soal perenungan malam ini, pikiran ini sedang mencerna soal eksistensi aktivis Tarbiyah di Maluku Utara yang Alhamdulillah masih eksis semenjak mulai dirintis di era 90an di bumi Moloku Kie Raha. Yang menjadi sebuah keresahan saat ini bukan soal eksistensi kader, sebab jika berbicara soal itu, saat ini jumlah para kader bisa jadi sudah lebih banyak dibanding satu dekade lalu. Yang menjadi soalan adalah soal identitas tarbiyah para aktivis saat ini yang mengalami perubahan. Bicara perubahan ini itu memang suatu hal yang pasti sebab itu adalah fitrah, akan tetapi yang perlu dikhawatirkan adalah perubahan yang bisa secara perlahan menghilangkan identitas gerakan yang imbasnya akan berpengaruh pada nafas gerakan itu sendiri.


Penulis bisa mengambil sebuah contoh tentang 10 wasiat Hasan al-Banna yakni, salah satunya yakni Bersungguh-sungguhlah untuk bisa dan berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih. Di awal gerakan ini di Indonesia para aktivis membiasakan untuk saling menyapa antar sesama aktivis dengan sapaan dalam bahasa Arab, semisal, akhi, ukh, afwan walaupun tidak menyeluruh bahasa Arab akan tetapi penggunaan bahasa Arab dalam sapaan itu berpengaruh secara psikologis para aktivis dan menjadi sebuah identitas organisasi. Bahasa Arab memang berbeda dengan bahasa lain secara khusus ia merupakan bagian dari ruh Islam dan isi dari bahasa Arab secara maknawi berisi tentang nilai-nilai Ketuhanan, misalnya kata Barakallah, Jazakallah, Assalamualaikum. Salah satu imbasnya, apabila bahasa Arab ini tidak lagi menjadi tren di kalangan Aktivis Tarbiyah maka akan terjadi degradasi budaya para aktivis. Misalnya sapaan diganti dengan Kanda, Yunda, Abang, atau Bambeks misalnya, hehehe.



Dan satu contoh lagi misalnya ketika seorang kader sedang memposting tentang keberhasilan diri maka jika dahulunya isi di dalam ucapan adalah kalimat ucapan selamat seperti Barakalllah, Masya Allah maka saat ini berganti dengan ucapan Top, Tinggi, Ketua Kok. Ini secara maknawi bisa berbeda jika diartikan sebab kalau ucapan selamat dalam bahasa Arab disematkan dan disandarkan kepada Allah sebagai bagian dari representasi seorang Muslim, maka ucapan kedua disandarkan kepada Aktivis itu sendiri yang ini tentunya akan berdampak pada timbulnya bangga diri didalam hati dan tentu ini bukan ciri seorang Muslim.



Ini baru salah satu contoh dari sisi bahasa yang apabila kita kupas secara mendalam ini tentunya akan kita temukan kecemerlangan bahasa dalam membentuk budaya bahkan peradaban sebagaimana dahulu ketika zaman keemasan Islam Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa resmi sekaligus bahasa Internasional sebab sepertiga dunia yang dikuasai khilafah Islam yang saat ini kemudian tergantikan dengan Bahasa Inggris diakibatkan oleh imperialisme Inggris yang hampir terekspansi di seluruh dunia.



Kita bisa mengambil wasiat yang lain lagi dari Hasan Al Banna yang sangat berpengaruh dalam ruh pergerakan yakni Jangan memperbanyak perdebatan dalam berbagai bidang percakapan karena hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan. Ini adalah sebuah wasiat agar para aktivis sibuk dengan kerja amal dan melupakan perdebatan yang hanya menghabiskan energi. Wasiat ini memang tepat sebab kita akan tetap menemukan ruang-ruang perdebatan di antara aktivis yang panjang dan melelahkan, semisal saat proses di Musyawarah, Rapat Kerja atau di dalam pertemuan-pertemuan singkat organisasi, Rapat Rutin.



Namun jika pada beberapa tahun sebelumnya, perdebatan itu hanya sebatas pada saat para aktivis bertemu dalam rapat-rapat mereka, bahkan pernah terjadi perdebatan sampai tiga hari Pengurus Daerah yang hanya membahas satu bidang saja, hehehe. Masa kini yang menjadi tantangannya adalah daya jangkau semakin luas dengan era digitalisasi maka dunia perdebatan atau "ontalnisasi" semakin meluas tanpa batas. Maka ini menjadi satu tantangan sendiri sebab kita tidak dididik hanya berhenti pada bicara semata namun harus mewujudkan ketajaman lidah kita dalam bentuk amal nyata. Saat ini ruang bicara terbuka lebar apalagi dengan pandemi Covid-19 yang semakin mengokohkan ruang "ontal" daripada ruang gerak amal maka ini menjadi satu tantangan yang mesti dibahas secara mendalam sebab jika hanya didiamkan maka akan menjadi bumerang bagi organisasi itu sendiri.



Dan sebagai penutup ada satu hal yang perlu kita renungkan kembali ada satu budaya yang menjadi aktivitas para kader yakni membaca dan menelaah buku yang sesuai dengan arahan organisasi sebab ia akan membentuk pemahaman yang kokoh sebagaimana yang diasaskan dalam rukun Al-Fahmu. Saya pernah temukan secara langsung saat mengisi agenda di level kampus bahwa kader-kader belum pernah membaca buku dari Sayyid Quthb bahkan tidak mengenal sama sekali bahkan jika disebutkan buku yang paling populer di kalangan aktivis Tarbiyah itu pun tidak tahu. Maka ini menjadi sebuah catatan bahwa tradisi membaca dan memahami sesuai manhaj adalah tradisi yang tak bisa hilang sebab akan berpengaruh pada ruh gerakan. Ada juga ditemukan fenomena kader yang lebih banyak mengoleksi buku bacaan diluar mantuba lalu kemudian menjadi pengurus kaderisasi maka ini akan sangat dilematis sebab fikrah atau pemikiran adalah sasaran utama tarbiyah yang harus dibentuk sedangkan para aktivis tidak memiliki itu maka ini akan berlaku kaidah faaqidusy sya'i la yu'thih yang tidak memiliki sesuatu maka tidak bisa memberinya.


Apalagi era saat ini dengan sentuhan jari sudah bisa menggapai informasi apapun. Maka hal ini adalah sebuah hal biasa dari fenomena namun yang harus kita pastikan apakah hal ini semua masuk pada hal yang pokok tsawabit (tetap) yang atau ia masuk pada hal yang bersifat mutaghaiyirat (berubah). Wallahu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar