Aqila

Cerpen


Aqila
Tanwin Fataha









Pagi itu, Raihan tengah duduk di depan teras rumah sembari menyeruput secangkir kopi dan tampak sedang asyik membaca koran edisi hari ini dengan beragam macam informasi dan berita yang terjadi di hari atau juga kemarin, sekaligus mencermati berita lokal hingga berita internasional yang mewarnai jagat dunia ini.


Raihan selalu sholat subuh berjamaah di masjid. Dan sedangkan aku. Oh ya, aku, namaku Aqila. Aku bersama ibu lebih memilih sholat di rumah. Selesai sholat subuh, kami melanjutkan dengan membuka mushaf (Al-Qur'an) untuk melakoni aktivitas tilawah, dan kemudian riyadhoh. Agenda rutin itu saban hari kami lakoni semenjak ayah masih hidup.


Secangkir kopi yang diseduh oleh Raihan, itu aku yang menyiapkannya. Ya, secangkir kopi buat abang. Abang merupakan sapaan akrab aku dan ibu untuk Bang Ray. Ada hal penting yang ingin kutanyakan kepada lelaki yang menjadi tulang punggung kami itu.


"Bang, 23 Desember nanti abang sudah berusia 27 tahun, kenapa abang tidak mencari sesosok untuk menyempurnakan separuh agamamu Bang?" tanyaku untuk membuka obrolan pagi ini.


Raihan hanya melempar senyum sembari memandangi bola mata adik satu-satunya yang senantiasa menemani Ibu mereka beraktivitas di rumah. "Abang masih pengen hidup bersama kalian," ucap Raihan sembari meneguhkan kopi yang masih hangat itu.


Di kala ibunya tengah melahirkan adik perempuannya itu, ayah mereka tutup usia (meninggal dunia) karena penyakit kronis yang tengah dihadapinya bertahun-tahun itu tak mampu ditahan. Iya, ayahnya divonis terkena kanker getah bening, sehingga hal itu yang membuat Raihan tidak melanjutkan sekolah di bangku menengah atas. Ia terpaksa harus banting tulang peras keringat untuk membantu membiayai pengobatan ayahnya.


Setelah Aqila, adik Raihan yang lahir secara prematur itu hadir di bumi ini, ayah mereka tak sempat melihat anaknya yang nomor dua itu. Ajal telah datang menghampiri dan ayah mereka harus menutup usia lebih dahulu. Namun, Sang Ibu menguatkan hati Raihan untuk tetap tabah dan sabar dalam menjalani cobaan ini. Sebagai orang yang memahami agama dan percaya akan takdir, ibunya hanya menahan sakit batin dan hatinya gerimis tapi tidak menampakan kesedihan itu kepada anak sulungnya.


"Rezeki, jodoh, maut itu semua hak prerogatif Allah untuk memberikan dan mengambil (kembali) terhadap siapa saja yang Dia kehendaki. Kita harus percaya bahwa takdir itu ada sebagaimana di dalam rukun iman yang keenam itu, ada takdir baik dan takdir buruk, dan ayah kalian yang dipanggil keharibaan Allah itu mestinya menjadi kekuatan bagi keluarga ini untuk tetap kuat dalam melangsungkan hidup, dan tentunya jangan lupa berdoa kepada-Nya agar ayah kalian dilapangkan kuburnya dan meninggal dalam keadaan Husnul Khotimah," urai perempuan paruh baya itu.


Seiring bergulirnya waktu, Aqila pun mulai tumbuh menjadi gadis remaja yang saban hari selalu identik dengan mengenakan gamis dan kerudung panjang. Hal ini ia lakukan karena mendapat wejangan dan motivasi langsung dari ibunya tentang menutup aurat menurut pandangan Islam, dan Al-Qur'an telah menjelaskan secara eksplisit tentang imbas dari perempuan yang tak mengenakan hijab syar'i. Pun hal itu berlaku juga pada laki-laki yang harus menjaga batasan-batasan dalam menutup aurat.


#



Suatu hari, Aqila merasa sangat kelelahan, ia tanpa disadari ternyata Aqila pingsan. Aqila tak sadarkan diri. Aqila dilarikan ke Rumah Sakit. Berselang dirawat beberapa hari, dokter mendiagnosa Aqila dengan Gagal Ginjal. Mendengar hal itu, ibunya merasa sedih dan selalu berdoa di sepertiga malam untuk kesembuhan anak bungsunya itu. "Ya Allah, jika boleh memilih, lebih baik penyakit itu Engkau berikan kepadaku, proses perjalanan Aqila masih panjang, hamba mohon berikanlah Ia waktu untuk menikmati masa muda hingga masa tuanya nanti dengan senantiasa beribadah kepada-Mu”, pinta ibunya sembari diikuti dengan isakan tangis yang pecah di malam hening itu.



Setelah selesai merapalkan do'a, Ibunya bersimpuh di atas sajadah dengan berurai air mata yang tak bisa dibendung. Sesekali lirih lafadz dzikir tak pernah henti di mulutnya. Kesempatan deraian air mata di malam suntuk itu ia lepaskan, karena mendapati kedua anaknya masih tertidur pulas di kamar masing-masing. Dari dulu, memang ibu mereka tak pernah menampakan deraian air mata itu kepada kedua anaknya. Tetapi untuk gerimis di bola mata, atau matanya yang sesekali berkaca-kaca itu kerap nampak di depan kedua anaknya.



Aqila, perempuan pasien hemodialisis (cuci darah) yang berhasil menjadikan sakit yang ditimpakan kepadanya sebagai jalan spiritual mendekatkan diri kepada Allah SWT. Aqila selalu memberikan makna kehidupan dari perspektif dimana takdir mengharuskannya berdiri, bahwa hidup adalah sebuah perjalanan. Hal itu ia lakukan karena penyakit yang dideritanya nyaris seperti ayahnya kala ia masih dalam usia kandungan.



Bagaimanapun adanya ia mesti terus disusuri, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, sesuatu yang mesti disambut dengan penuh persiapan oleh siapapun. Selain itu, bagi seorang Aqila, sebaik-baiknya manusia adalah ia yang bermanfaat bagi sesamanya. Dalam keadaan hidup tergetirpun yang tengah dijalaninya, perempuan tangguh yang divonis mengalami "Gagal Ginjal Kronis" pada usia 20 tahun ini ingin menghabiskan waktunya dengan senantiasa berbuat baik kepada siapapun dan tentunya ini dijadikan sebagai bekal ketika menghadap Allah SWT kelak.



Tatkala beberapa bulan kemudian Aqila pingsan lagi untuk yang kesekian kalinya. Tampaknya gadis yang baru melanjutkan kuliah semester dua ini harus menutup usia. "Mohon maaf, kami sudah berupaya semaksimal mungkin, tapi anak ibu tak dapat tertolong," ucap dokter sambil berlalu. Kali ini tangis ibunya pecah, karena harus kehilangan anak perempuannya yang selama ini selalu menjadi anak yang penurut dan berbakti kepadanya.



Tapi ibunya tak larut dalam ratapan kesedihan, karena ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah takdir. Semenjak adiknya meninggal, Raihan menggantikan posisi adiknya untuk membantu ibunya membereskan rumah. Suatu ketika Raihan melihat ibunya di pojok kamar itu, ia pun merasa iba dengan kondisi ibunya yang saat ini sesekali batuk. Memandang wajah Aqila di balik foto berpigura warna coklat itu, mata Ray selalu berkaca-kaca, dan membasahi pipinya.



Ia merasa kehilangan, namun ia selalu berprasangka baik kepada Allah, bahwa semua yang terjadi sudah menjadi ketetapan (sunatullah) dan takdir yang sudah digariskan oleh-Nya. Kelak Ia dan Ibunya juga akan menyusul untuk menghadap Allah. Maka hal yang paling mendasar dan yang harus dilakukan adalah senantiasa beribadah kepada-Nya untuk mempersiapkan bekal (amal) sebelum nyawa sampai di kerongkongan.


Posting Komentar

0 Komentar