Dalam Sebuah Pencarian - Aksi Untuk Pekerja


Novel Dalam Sebuah Pencarian


Aksi Untuk Pekerja






Berdasarkan dalam rancangan pembahasan kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) tahun 2013 beberapa hari yang lalu. Dan berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh kader KAMMI di beberapa perusahan-perusahan swasta yang ada di Kota Ternate.

Berdasarkan hal inilah serta melihat ketidaksesuaian yang terjadi dan ketidaklayakan yang diterima kaum Buruh, maka tanggal 03 Desember, kami yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melakukan Aksi Kenaikan Upah Buruh Provinsi Maluku Utara. Hal ini pula selaras dengan visi dan misi dari Departemen Kebijakan Publik KAMMI Kota Ternate, visinya yakni restorasi kebijakan pro rakyat dan terakomodirnya nilai-nilai islam dalam kebijakan publik, dan salah satu misinya adalah mengawal dan mendukung program kerja pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga dapat dipastikan juga apa yang disuarakan tanpa ada kepentingan apapun.

Saat sang mentari menyingsing dan saat matahari memancarkan sinarnya, Aksi KAMMI yang dilakukan untuk tercerahnya isu-isu di masyarakat. Aksi yang dilakukan dipandu oleh Akhi Wawan sebagai moderator dan dipimpin Akhi Hamka sebagai koordinator lapangan. Rute aksi dimulai dengan mengajak masyarakat akademisi yang ada di kampus-kampus (STKIP dan UMMU), selanjutnya ke Dinas Ketenagakerjaan sekaligus dilakukan negosiasi, ke Walikota (tanpa negosiasi), sekitaran pasar Gamalama dan terakhir di RRI Kota Ternate.

Pernyataan sikap yang dilontarkan dalam aksi ini adalah:

1. Bahwa rancangan pembahasan kenaikan UMP beberapa hari lalu, yang telah disepakati oleh Dewan Pengupahan senilai 1.152.598 (± 1.1 juta), sangat tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak, dan ini sangat bertentangan dengan Pasal 88 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Karena dalam Pasal 88 tersebut telah menyebutkan “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 88 Ayat (2) “Untuk mewujudkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.”

2. Bahwa setelah kami mengadakan identifikasi terhadap karyawan di beberapa perusahan-perusahan swasta. Kami menemukan masih banyak hak-hak karyawan yang tidak diberikan oleh perusahan, baik pelayanan kesehatan jamsostek, upah lembur, dan hak-hal lain. Bahkan ada pula pengakuan pekerja di salah satu instansi pemerintah yang telah bekerja lebih dari 2 tahun, sekitar 25 pekerja yang memperoleh penghasilan senilai Rp 600.000 (Enam Ratus Ribu Rupiah), dan dibawah UMP (Upah Minimum Provinsi) yang telah ditetapkan oleh Gubernur Maluku Utara. Hal ini sangat melanggar Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Padahal sudah jelas dalam Pasal 90 Undang-Undang tersebut menyebutkan “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah” dan kebanyakan perusahaan tidak memberikan gaji sesuai UMP dan hak-hak karyawan lainnya, dengan alasan tidak memiliki kecukupan finansial. Jika perusahaan punya alasan seperti itu maka perusahaan tersebut harus melaporkan diri kepada Dinas Ketenagakerjaan bahwa perusahaan memang belum mampu untuk membayar dan memberikan gaji serta hak-hak tersebut secara totalitas kepada karyawan, sehingga Disnaker melakukan audit keuangan atas omset yang dihasilkan oleh perusahaan apakah mencukupi atau tidak untuk membayar dan memberikan gaji sesuai dengan UMP serta memberikan hak-hak karyawan baik jamsostek, hak lembur dan hak-hak lainnya. Sehingga pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang tidak rasional untuk tidak membayar gaji karyawan dan memberikan hak-hak secara baik dan benar.

3. Bahwa Dinas Ketenagakerjaan yang pemegang otoritas penuh atas penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan memiliki otoritas atas fungsi kontrol terhadap perusahaan-perusahaan swasta, sebagaimana telah terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 134 “Bahwa dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan perusahaan, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan”, tetapi kenyataannya pemerintah dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan telah gagal dalam melakukan kewajibannya. Karena begitu banyak perusahaan yang tidak memiliki perjanjian kerja antara perusahaan dengan buruh/karyawan sehingga dengan mudah karyawan bisa dipecat (PHK) dengan alasan yang tidak jelas oleh perusahaan, dan hak-hak karyawan tidak diberikan oleh perusahaan. Jika kita mentelaah legitimasi landasan yuridis maka dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah menyebutkan “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”. Sehingga berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Untuk itu karyawan memiliki kekuatan Hukum untuk melakukan pekerjaan dan perusahaan tidak semena-mena melakukan PHK dan tidak memberikan hak karyawan tersebut secara baik dan benar.



Dalam pernyataan sikap ini dan berdasarkan hasil negosiasi dengan Dinas Ketenagakerjaan, pihak Dinas Ketenagakerjaan dalam waktu dekat akan melakukan audit ke perusahan-perusahan terkait. Dan kami yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia akan terus mengawal akan hal ini.

Kita bisa ambil teladan dalam kisah Ali Bin Abu Thalib, ketika Ali bin Abu Thalib di angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan, maka ia tidak pernah melakukan kecurangan ataupun penyelewengan dalam pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi ataupun memakan uang rakyat yang terdapat di Baitul Maal. Namun, Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri ataupun menjual harta benda miliknya sendiri untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari.

Kisah lain, suatu ketika Ali memanggil salah seorang budaknya, tetapi tidak ada jawaban. Sampai dua dan tiga kali ia mengulanginya tetapi belum juga datang. Maka Ali mencari keberadaan budaknya tersebut, yang ternyata tidak jauh dari tempat itu. Dengan heran Ali berkata,”Tidakkah engkau mendengar panggilanku, wahai Ghulam!!”

Dengan santai budaknya itu berkata, “Ya, saya mendengar!!”

“Mengapa engkau tidak memenuhi panggilanku??”

Jawabannya sungguh mengejutkan, budak itu berkata, “Saya sangat mengenalmu, dan saya merasa tidak bakal dihukum, karena itu saya membiarkan saja panggilan itu!!” Bagi Ali bin Abi Thalib, seorang budak dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, khususnya untuk merambah jalan akhirat, kalau sikapnya seperti itu justru akan mengotori hati saja. Karena itu ia berkata, “Engkau bebas karena Allah, engkau aku merdekakan!”

Pekerja Bukan Sapi Perahan, ingat pekerja bukan sapi perah yang bisa seenaknya diperlakukan. Pemerintah terkait tenaga kerja selayaknya memberi jaminan bahwa buruh/pekerja harus memiliki masa depan pasti. Perusahaan, termasuk perusahaan milik negara, tidak boleh hanya memanfaatkan tenaga karyawan selagi mereka kuat, tanpa diikat ikatan kerja yang jelas. Jangan jadikan pekerja tidak memiliki kepastian dalam membiayai hidup mereka dan keluarga, serta dapat diputus kapan saja. Ketenangan investor juga harus dijamin, tidak lagi berada di bawah bayangan teror karena perseteruan dengan buruh.

#

Departemen Kebijakan Publik mencoba kembali menggelarkan sebuah program kerjanya yang bernama Diskusi KAMMI Ternate (DKT). Setelah beberapa waktu yang lalu cukup terhenti sejenak. 21 November 2013 lalu digelar DKT dengan tema “Gerakan Perburuhan” oleh Akhi Hamka.

Di awal diskusi, Hamka mencoba memaparkan definisi tentang ketenagakerjaan, tenaga kerja, dan buruh. Hakam yang juga merupakan aktivis dalam Gerakan Perburuhan di salah LSM Hukum di Kota Ternate dan juga Hukum Perburuhan merupakan salah satu pembahasan skripsinya.

Masalah perburuhan reformasi yang kini terjadi lebih banyak manipulatifnya. Maka dari itu dalam rangka mencermati gerakan buruh saat ini kita perlu bersikap terhadap perkembangan reformasi itu sendiri. Menurut Hamka bahwa reformasi ini lebih anti buruh daripada menyediakan ruang demokratik bagi buruh. Dengan menyatakan ini Hamka mengajak berdiskusi mengenai gerakan buruh pada soal-soal yang lebih elementer. Secara kuantitas perlawanan buruh saat ini begitu masif. Kemasifan perlawanan itu memperlihatkan beberapa persoalan sekaligus.

Hamka mengungkapkan kompleks permasalahan perburuhan, pertama kenaikan upah minimum dan kedua PHK (pemutusan hubungan kerja) secara massal. Kesejahteraan buruh tidak terjamin karena lemahnya atau tidak adanya gerakan politik praktis sehingga tidak ada bentuk aspirasi dari buruh.

Secara geografis perlawanan buruh sudah menasional walaupun masih sporadis. Hal itu memperlihatkan bahwa kemiskinan itu telah merata secara nasional. Dengan kata lain aliansi secara nasional lebih dimungkinkan saat ini karena buruh sudah melihat permasalahan agak hampir sama.

Permasalahan buruh di Maluku Utara, khususnya Kota Ternate, diantaranya adalah pertama kontrak kerja, para pekerja tidak mampu memberikan tanggapan tentang kontrak kerja. Dalam kontrak kerja tidak terliputi tiga unsur, unsur hak, unsur naturalia, unsur aksendentalia, tandas Hamka.

Berbicara tentang gerakan buruh di Kota Ternate bilang saja tidak ada tindakan untuk membela hak-hak buruh, lanjut Hamka. Persoalan mengapa buruh tidak sejahtera. Pertama, dinas ketenagakerjaan melakukan fungsi kontrol sejauh mana perusahaan terhadap buruh. Dan pemerintah lalai akan fungsi kontrol ini. Kedua, buruknya pemahaman buruh terhadap kondisinya. Terjebak kepada solusi alternatif, mengharapkan upah. Ketiga, UMP rendah. Mampu tidaknya perusahaan untuk membayar upah karyawan sesuai UMP. Bagi Hamka, siapapun dia, siapapun orang, dia adalah tenaga kerja.

Usaha memperbaiki kehidupan buruh dilakukan terus menerus. Metode dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut beragam. Salah satu sarana yang digunakan untuk memperbaiki kehidupan buruh adalah hukum. Oleh sekelompok orang, yaitu membentuk peraturan perundang-undangan secara sadar hukum digunakan sebagai sarana untuk mengubah atau merekayasa masyarakat menuju ke arah tujuan yang ingin dicapai. Dalam fungsi hukum dikenal sebagai law as a tool of social enginering. Selama lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan menjelang tahun 2000 telah dihasilkan sejumlah Undang-Undang di bidang Perburuhan dengan tujuan utama memperbaiki kehidupan buruh. Beberapa diantaranya UU tersebut adalah UU No 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan, UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU No 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Setelahnya dilakukan diskusi antar kader. Dan akhirnya Hamka menyimpulkan tongkat estafet dari gerakan buruh adalah SPSI. Dan mahasiswa sebagai agent of change maka perlu perhatian untuk para pekerja. Solusi agar membuka cakrawala berpikir agar terlibat dalam permasalahan buruh yang menjadi tugasnya sebagai agent of social control.

Posting Komentar

0 Komentar