Dalam Sebuah Pencarian - Mencintai dengan Sederhana
Novel Dalam Sebuah Pencarian
M. Sadli Umasangaji
Mencintai dengan Sederhana
Begitulah adanya. Mungkin di dalam KAMMI, setiap
mereka, mungkin mewakili salah satu dari setiap bagian-bagian paradigma. Safi
dan Wawan yang terkesan dengan paradigma Ekstraparlementer. Maman yang senang
dengan paradigma Sosial Independen. Yusuf yang identik dengan Dakwah Tauhid.
Wahib yang terlihat dengan Intelektual Profetik. Sayangnya Fatih yang senang
dengan agenda-agenda bisnis dan kewirausahaan belum terpatri dalam paradigma
KAMMI. Tentu bukan semata karena ini adalah organisasi pergerakan serta
organisasi pengkaderan. Mungkin tidak menjadi bagian utuh, tapi itu adalah
bagian-bagian yang dominan dalam tipikal mereka. Hanya bagian yang lebih
dominan, tanpa berarti tidak menggeluti bagian lain dari paradigma gerakan
KAMMI.
Atau mungkin seperti umumnya dalam
organisasi sering terbagi beberapa tipikal, diantaranya konseptor,
organisatoris, berpikir taktis. Dalam organisasi gerakan, mungkin kalangan konseptor lebih identik
dengan berbagi gagasan, mencintai tradisi intelektual, tulis menulis. Kalangan
organisatoris mungkin identik dengan manajerial organisasi, senang bergelut
dengan tongkat kepemimpinan, bertarung dalam gerakan. Kalangan berpikir taktis,
cenderung identik dengan pandangan politik-praktis, sepertinya merupakan
mayoritas yang mencintai politik praktis dan kerja-kerja teknis, bergelut
dengan berbagai jaringan. Safi identik dengan bertipikal organisatoris. Wahib
dan Yusuf mungkin lebih identik dengan konseptor. Sedangkan Wawan, Maman, Fatih
lebih sering dengan cara bertipikal berpikir taktis, politik-praktis. Walaupun
yang paling mendasar ketiga tipikal ini harusnya saling melengkapi, bukan
saling benturan.
Seperti kata Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi, “Dalam setiap kelompok, kemampuan dan sumber
daya yang dimiliki biasanya sangat beragam dan berbeda-beda. Ada yang pakar
dalam bidang pemikiran, yang lainnya mahir dalam berdakwah, yang lain tidak
ahli dalam keduanya tapi sukses dalam berinteraksi sosial. Oleh sebab itu,
mengapa potensi yang sangat beragam ini tidak diikat agar semuanya dapat
dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan meringankan beban mereka. Sedang
Allah akan menolong seseorang, selama ia mau menolong saudaranya”.
#
Ia muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif
mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada
pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia
yang diselenggarakan di Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM).
Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) di
seluruh Indonesia. Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang
notabenenya para aktivis dakwah kampus. Ia lahir pada ahad tanggal 29 Maret 1998 atau bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418
H yang dituangkan dalam naskah Deklarasi Malang. Dia lahir
didasari sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap krisis nasional tahun 1998
yang melanda Indonesia. Krisis kepercayaan terutama pada sektor kepemimpinan
telah membangkitkan kepekaan para pimpinan aktivis dakwah kampus di seluruh
Indonesia yang saat itu berkumpul di UMM - Malang. Adanya
tuntutan dari kondisi yang menginginkan sebuah wadah perjuangan dakwah yang
mengimplementasikan Al-Qur’an dan Sunnah didalamnya, pentingnya akan sosok
mahasiswa yang berkarakter pemimpin, potensi mahasiswa-mahasiswa unggulan yang
sangat perlu diarahakan pola fikirnya dan dibentuk karakternya.
Tahun 1998 dalam kondisi dengan tirani-otoriter,
despotik, tidak adil, dan tidak demokratis. Mereka berkumpul di Malang, dan
pada tanggal 29 Maret 1998, ia dilahirkan. Keniscayaan kelahirannya adalah
sebagai bayi yang secara biologis bertugas sebagai generasi baru. Karena takdir
membuat manusia harus mati dan berganti, maupun secara historis bahwa dia
adalah generasi baru yang meneguhkan diri bebas dari kekotoran dan najis
politik generasi lama. Itulah romantika sejarahnya. Dalam romantika sejarahnya,
dia bahkan disebut sebagai anak muda yang bernilai istimewa; "energik", "kreatif",
"bening-moralis", dan tentu saja `anti status quo'. Bahkan terlebih-lebih dengan romantikanya itu
dia disebut sebagai "pengusung
pesan-pesan kenabian".
Dia juga ditampilkan dengan citra, "sederhana, sopan, rendah hati, rajin
ibadah, dan menegakkan sunnah". Terlebih-lebih dengan gambaran "berwajah teduh bermata sejuk--lugu dan
murni, tetapi tampil dengan gagah, berani dan mungkin sedikit angkuh".
Dia bahkan disebut pula sebagai generasi muda Islam terdidik yang terjalin
dalam jaringan gerakan secara solid dan militan, barang berharga yang susah
ditemukan oleh teman-teman gerakan mahasiswa lain. Sekali lagi itulah romantika
sejarahnya. Atau mungkin itulah sunatullah gerakan, sunatullah peradaban, bahwa
dalam setiap sejarah, akan melahirkan anak zamannya.
Kehadiran dia merupakan
bagian dari tanggung jawab moral sebagai organisasi pergerakan untuk membuat
perubahan masyarakat Indonesia menuju tatanan lebih baik sesuai manhaj Islam.
Secara spesifik merancang program kerja gerakan yang harus dilakukan secara
intensif, yakni mendukung dan menyelenggarakan proyek-proyek kebaikan,
mendukung dan menggalang perlawanan terhadap proyek-proyek kejahatan, serta
melakukan penyadaran Ilahiyah sebagai pusat tujuan.
Dia menyadari bahwa agama (Islam) merupakan pijakan
utama dalam menjalankan proses perubahan sosial dengan pendekatan kultural
yakni suatu proses perubahan masyarakat yang digerakkan aktor melalui proses
evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi
sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan
kebudayaan yang dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah,
naluri, bakat, azas atau tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Strategi dan
dikumandangkannya strategi mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan
suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera, dan persaudaraan. Menuju masyarakat
yang Islami.
Kini dia mulai termatangkan dengan
konsepsinya, dia dengan paradigmanya yang terbagi dalam Gerakan Dakwah Tauhid,
Gerakan Intelektual Profetik, Gerakan Sosial-Independen, dan Gerakan
Politik-Ekstraparlementer. Dia dengan konsepsi Muslim Negarawan-nya. Dengan
kriteria diantaranya memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis
pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada
pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen
bangsa pada upaya perbaikan.
Dia adalah KAMMI. Yang Wahib kenal,
4 tahun yang lalu, atau saat dia berumur 13 tahun. Dia yang Wahib harap selalu
pada “ivory tower dan modesty”-nya.
Kadang-kadang ketika aku membersamainya aku lebih senang bersikap atau
menempatkan sikap padanya sebagai “luxury
of idea”, lirih Wahib.
Dia yang tergambar pula sebagai
anak-anak sekolah yang punya gagasan untuk berjamaah, berkumpul, dalam suatu
kesadaran akan pentingnya membina diri secara fisik, mental dan spiritual,
dimana kesadaran ini berlanjut menjadi semacama gerakan terstruktur yang
menjadikan sejarah perjuangan nabi dan sahabat sebagai ingatan dasar, begitulah
ia disebut oleh deklatornya, Fahri Hamzah. Sedang Andi Rahmat mengkhitahnya
sebagai Gerakan perlawanan dari masjid kampus. Atau mungkin dia kini juga lebih
merah, menjelma menjadi sosialis-religius.
Ah, tidak, begitulah pikir Wahib.
Wahib selalu menempatkan dia sebagai penuh dengan kesederhaan, berada dengan
pikiran menara gading, dan penuh dengan kemewahan ide.
#
“Dia
adalah KAMMI. KAMMI-lah yang membuat aku lebih produktif menulis. KAMMI-lah
yang membuat aku berani untuk bergelut dalam dunia gagasan, bergelut dalam
dunia opini. Bergelut di KAMMI-lah yang membuat opini-opiniku masih sering ku
tulis hingga kini”, lirih Wahib.
“Di KAMMI-lah
yang membuatku bergelut dengan tokoh-tokoh pemikiran Ikhwanul Muslimin, larut
dalam bacaan buku-buku ideologis mereka. Semisal Ustadz Sayyid Qutbh, Imam
Hasan al-Banna, Syaikh DR. Yusuf Qardhawi, Syaikh Said Hawwa, Umar Tilmisani.
Seperti Majmuatur Rasail, Fi Afaqi Ath-Thalim, Maalim Fi At-Tariq, al-Malamih
al-Mujtama Muslimin, Mudzakaratut ad-Dakwah, Keadilan Sosial dalam Islam,
Detik-Detik Terakhir, Tarikh Al-Ikhwan Al-Muslimin dan lainnya. Menggeser kebiasaanku dulu hanya sekedar
membaca novel seperti Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, autobiografi, bahkan
buku-buku sejenis pengembangan diri seperti buku Andrias Harefa, dan
kepenulisan. Tapi akhir-akhir ini di KAMMI pula aku mulai mengenal dan membaca
buku-buku pemikir dan tokoh politik seperti Nurcholish Madjid, Anis Matta,
Fahri Hamzah, dan lainnya. Mengoleksi Catatan Ahmad Wahib, Soe Hok Gie dan
Novel Pramoedya Ananta Toer. Dan kadang-kadang menikmati juga novel-novel
Habiburahman el-Shirazy”,
lirih Wahib kembali tentang dia dan KAMMI.
Kesukaan Wahib pada menulis, membuat ia mengenal
varian baru di dalam KAMMI. Komunitas dalam komunitas. Mereka yang mengusung,
di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir, dan menyatakan
pendapatlah yang paling berharga. Seharusnya kita mempunyai kemantapan
kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide betapapun aneh kedengarannya di
telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari
pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu,
ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan,
perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Selanjutnya, di
dalam pertentangan pikiran-pikiran dan ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan
kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan
dirinya dan tumbuh menjadi kuat.
“Maksud sikap rasional ialah memperoleh
daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia.
Oleh karena manusia dengan karena keterbatasan kemampuannya tidak dapat
sekaligus mengerti seluruh alam ini melainkan sedikit demi sedikit dari waktu
ke waktu, menjadi rasional adalah juga berani progresif dan dinamis. Jadi tidak
dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, dan karena itu bersifat merombak
dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan
kenyataan yang ada, tidak diterima akal, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain
juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan
generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran. Maka sekalipun bersikap
rasional itu suatu keharusan yang mutlak, rasionalitas itu sendiri relatif
sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu”, beginilah pikir
Wahib seperti yang ia dapat dari bacaan pada buku Nurcholish Madjid.
Mereka
yang merasa “Konsistensi idea of progress
ialah kesediaan “sikap terbuka” kepada menerima dan mengambil nilai-nilai dari
mana saja, asalkan mengandung “kebenaran”.
“Tidak
seorang pun manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu
kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang
dianutnya itu dari setiap perombakan. Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan
kemanusiaan, setiap orang harus bersedia dengan lapang dada menerima dan
mendengarkan suatu kebenaran dari orang lain. Dengan demikian, terjadilah
proses kemajuan yang terus-menerus dari kehidupan manusia, sesuai dengan
fitrahnya, dan dengan sejalan dengan watak hanifnya (merindukan kebenaran).
Seharusnya seorang “Muslim” adalah seorang yang paling mendalam kesadarannya
akan kemanusiaan yang relatif. Seorang “Muslim” adalah seorang yang dengan
ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya di
hadapan Tuha. Sebab itu, seharusnya pula seorang “Muslim” adalah seorang yang
paling tidak bersedia untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran insani sebagai
sesuatu yang mutlak, menantang segala perubahan nilai-nilai kemanusiaan”, pikir
Wahib dalam memandang mereka.
Mereka
yang berslogan, “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama”. Sebagai sebuah
gerakan ‘kehendak bebas’ yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kader
KAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis ruang-ruang
kultural –bergerak tanpa kasta dan
berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah
struktural bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempati posisi atau jabatan
struktural yang strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling
baik amal ibadahnya, lebih luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan
pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.
“Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa
Nama”
adalah kesetaran dan keikhlasan dalam berkarya. Karena dengan itu, kita merindu
dengan sederhana, mencintai dengan karya.
Mungkin
mereka adalah yang mirip dengan persaudaraan kemurniaan. Dalam konteks belajar
berkarya, dan sikap terbuka. Seperti Ikhwanus as-Safa. “Semua anggota dilarang menjauhi ilmu, salah satu dari ilmu, lantaran
sudah merasa dalam ilmu di dada, dilarang menolak salah satu kitab, lantaran
merasa sudah banyak kitab yang dibaca”.
#
“Menulislah!”, pendam Wahib.
“Karena dengan menulis, aku berharap KAMMI mampu melahirkan kader-kader
dengan Al-Farabi baru”,
lanjut Wahib dalam lamunannya.
“Al-Farabi yang dituliskan oleh Muhammad Natsir, “Hidup bersahaja di alam materi
sebagai fakir, tapi memegang kendali di alam ruhani sebagai raja”. Al-Farabi adalah seorang tukang kebun dan bekerja siang
hari untuk tuannya. Akan tetapi, tapi kita juga melihat sosok Al-Farabi sebagai
penguasa di jagad pemikiran dan dirinya dalam hidupnya. Al-Farabi hanya tidak
menulis saat dua hari –yaitu saat malam pertama menikah dan saat Ayahnya
meninggal. Diriwayatkan bahwa Al-Farabi, adalah seorang yang amat bersahaja,
yang mencari sesuap pagi - sesuap petang sebagai tukang jaga kebun. Walaupun
demikian kefakiran yang dideritanya, tapi sedikitpun tidak menghalanginya
bekerja terus dalam dunia falsafah. Siang hari ia menyingsingkan lengan baju
sebagai tukang kebun, malam memegang kalam, memutar otak selaku filosof,
diterangi oleh pelita kecil yang menerangi. Ia memberi sejarah dan komentar atas
falsafah Aristoteles dan Plato, serta memperbandingkan paham kedua filosof itu
dengan Agama Islam. Sesuatu yang kontra, seorang tukang kebun dengan seorang
penulis serta filsuf. Rasa-rasanya kini memang sulit terjadi hal kontra seperti
ini. Tapi bukan itulah yang penting, bagi Wahib yang terpenting adalah apapun
kita, apapun status keanggotaan kita, sesederhana apapun kita tak menghalangi
kita untuk berbagi ide dalam ranah apapun”, Wahib berpikir.
Tentang
al-Farabi. Al-Farabi
dikatakan mendapat pendidikan awal dari guru-guru persendirian, selama ada
beliau pergi belajar di rumah guru ataupun beliau belajar secara formal di
masjid-masjid yang terdapat di Wasij, seterusnya beliau dikatakan dibesarkan
semasa pemerintahan Nasir Ibnu Ahmad.
Al-Farabi tidak seperti beberapa tokoh atau sarjana muslim yang lain, ini karena beliau tidak menulis mengenai riwayat hidupnya sendiri
berbanding dengan tokoh yang lain yang membuat biografi tentang kehidupan
mereka. Juga Al-Farabi dikatakan memiliki atau mempunyai daya akal yang tinggi
sejak dari kecil lagi, ini karena dalam usia mudanya beliau telah belajar dan
mampu belajar berbagai ilmu.
Al-Farabi juga menguasai berbagai bidang dalam ilmu keagamaan, antaranya
ilmu Nahwu, Tafsir, Hadis, Fiqh, dan sebagainya, selain itu beliau juga mahir
dalam berbagai cabang falsafah, ilmu lingkungan, ilmu militer dan ilmu musik,
walaupun Al-Farabi mahir dalam berbagai bidang tetapi beliau lebih tertarik
ataupun lebih memberikan perhatiannya pada bidang falsafah dan logika.
Al-Farabi
berpakaian rapi sejak kecil.
Ayahnya seorang opsir tentara Turki
keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia
digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir
setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi
belajar al-Qur’an, tata
bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi
muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan
tinggal di Kazakhstan sampai umur 50 tahun. Ia pergi ke Baghdad untuk
menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Al-Farabi
adalah seorang komentator filsafat Yunani
yang ulung di dunia Islam.
Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia
mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan
baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik.
Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan
sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain
itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi
dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena
kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam
ilmu filsafat.
Dia adalah
filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh
mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta
berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Al-Farabi juga lebih dikenali sebagai guru kedua, beliau dikenali sebegitu
selepas Aristoteles sebagai guru pertama, ini kerana beliau sentiasa mengkaji
buku-buku yang dihasilkan oleh Aristoteles, maupun mengkaji mengenai diri
Aristoteles. Al-Farabi dikatakan mempunyai
banyak guru, tetapi yang utama ataupun yang lebih diberikan perhatian
dan masyhur ialah Ibn Hailan dan Matta ibn Yunus, kedua-dua guru beliau ini
mahir di dalam bidang logika dan falsafah.
Pengembaraan pertama Al-Farabi ke negara luar yaitu Baghdad bersama gurunya
yang tidak asing lagi ialah Ibnu Hailan. Kedatangan Al-Farabi ke Baghdad
bersama gurunya adalah untuk mempelajari logika dan mendalaminya. Seterusnya
beliau telah meninggalkan Baghdad bersama gurunya untuk ke Harran seterusnya
meneruskan perjalanan ke Konstatinopel, beliau ke sana untuk mempelajari
falsafah dengan mendalam yang mana gurunya yaitu Ibnu Hailan bertindak sebagai
penyelia beliau dalam pembelajaran tersebut.
Beliau telah kembali lagi ke Baghdad. Kembalinya beliau ke Baghdad adalah
untuk belajar, mengajar, mengkaji buku-buku yang di tulis oleh Aristoteles dan
menulis karya-karya. Al-Farabi telah berpindah ke Damasyik yaitu satu daerah di
negara Syria akibat kekacauan dan ketidakstabilan politik yang berlaku di
Baghdad.
Al-Farabi dikatakan telah pergi ke Mesir, tetapi tidak diketahui tujuan,
mengapa dan kegiatan beliau di sana, tapi menurut Abi Usaibiyah yang mana
merupakan seorang ahli sejarah, mengatakan Al-Farabi telah mengarang sebuah
karya mengenai politik ketika berada di Mesir. Seterusnya Al-Farabi telah
kembali semula ke Damasyik, sekembalinya ke sana adalah untuk menghabiskan
sisa-sisa hidupnya sebagai seorang cendiakawan di sebuah istana di Aleppo semasa
pemerintahan Syria baru yaitu seorang putera Handaniyah bergelar Saf Al-Daulah,
yang tertarik dengan kebijaksanaan dan kepandaian beliau. Serta kehidupannya
sebagai seorang ahli sufi.
Al-Farabi
hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Saf al-Daulah dan di zaman
pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang
dipimpin oleh seorang Khalifah. Ia lahir
dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid dan meninggal pada masa pemerintahan
Khalifah Al-Muthi’. Dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang
paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.
Dalam
kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para
ahli Filsafat Yunani
seperti Plato dan Aristoteles dan
mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan
pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara
Utama).
Wahib yang mengagumi al-Farabi dalam hal menulis,
menulis sebagai cara mencintai dengan sederhana. Al-Farabi sebagai patron
klien, “Bergerak Tanpa Kasta, Berjuang
Tanpa Nama”.
“Demikianlah, “Bergerak
Tanpa Kasta, Berjuang Tanpa Nama” adalah kesetaraan dan keikhlasan dalam
berkarya. Karena dengan itu, kita merindu dengan sederhana, mencintai dengan
karya. Itulah tradisi kultural, dengan karya, kita mencintai KAMMI dengan
sederhana. Begitulah ledakan karya”, pertautan Wahib dalam pikirannya sendiri.
Posting Komentar
0 Komentar