Dalam Sebuah Pencarian - Perjalanan
Novel Dalam Sebuah Pencarian
Perjalanan
Sekitar pukul tujuh, Wahib telah bersiap-siap mau ke
pelabuhan Speed di Kota Baru. Setelah semalam menyiapkan berbagai kebutuhan
untuk berangkat hari ini. Ya, hari ini Wahib akan ke Halmahera Timur. Untuk
pertama kalinya ia ke sini. Pukul tujuh lebih, ia berangkat dengan speed menuju
ke Sofifi.
Setiba pelabuhan di sini, Wahib mendengar suara-suara
bertanya “Kemana Tobelo? Ke Maba?”.
Mereka menanyakan tempat tujuan selanjutnya. Dan tempat tujuanku adalah Maba
Kota, Ibukota Kabupaten Halmahera Timur. Setelah ada sopir yang Wahib setujui,
sopir mempersilahkannya untuk duduk di mobil. Yang anehnya yang menjadi mobil
penumpang disini adalah mobil-mobil yang agak mahal, seperti avanza dan
sejenisnya. Mungkin karena perjalanan jauh makanya mobil itulah yang dipakai.
Sambil duduk di mobil, sopirnya menawarkan minum teh
dulu di warung-warung yang ada. Tapi Wahib memilih untuk tetap di mobil, makan
roti yang telah ia beli sebelum ia berangkat. Wahib juga memilih untuk membaca
buku. Kali ini buku yang menemaninya adalah “Potret Juru Dakwah” karya DR.
Musthafa Ar-Rafi’i.
Tak lama berselang ada lagi beberapa penumpang, satu
perempuan dan satu laki-laki. Sopirnya pun bersiap-siap melanjutkan perjalanan
ke Halmahera Timur. Rutenya seingatku dari Sofifi, Sondo-Sondo, Nusa Jaya,
Subaim, Buli, Mabapura hingga ke Maba Kota.
Dalam perjalanan sampai di Subaim terlihat pemandangan
yang lain, indah. Seperti di daerah Jawa. Karena banyak sawah. Setahu saya
karena ini daerah transmigrasi, makanya ada sawah, karena sebagian penduduknya
dari Jawa memang. Perjalanan sampai di Subaim yang kurang lebih 2 jam, kita
juga istirahat makan sebentar di sebuah rumah makan.
Setelah makan, kita melanjutkan perjalanan. Dan
ternyata perjalanannya masih beberapa jam lagi. Berselang beberapa jalan kita tiba
di Buli, aku melihat pemandangan lain lagi banyak daerah pegunungan yang
terlihat dikerok, maksudnya terlihat bekas penggalian. Daerah pertambangan
ternyata. Lautnya juga terlihat indah. Sayangnya jalan sebagian masih belum
terlalu bagus. Masih banyak yang belum diaspal.
Kurang lebih makan waktu 6-7 jam untuk menuju Pusat
Ibukota Halmahera Timur, Maba dari Sofifi, Ibukota Provinsi Maluku Utara.
Adapula akses udara melalui pesawat dari Bandara Babullah, Kota Ternate yang
kurang lebih penerbangan selama 20 menit dan lanjut jalan darat sekitar 1 jam.
Sepanjang perjalanan bila melalui jalan darat, di sekitar Subaim kita akan
melihat daerah persawahan karena merupakan daerah transmigrasi (dari penduduk
Jawa), kita juga menemui bekas-bekas lahan pertambangan, selain itu kita juga
akan lalui jalan-jalan rusak ataupun jalan yang belum diaspal, diselingi pula
terkadang tidak ada jaringan komunikasi, handphone.
Itu sepintas kondisionalnya.
#
Kedatangan Wahib di Halmahera Timur adalah karena
keaktifannya di salah satu LSM yang bergerak di bidang kesehatan. Masa-masa
ini, masa selama Wahib di Haltim. Terkadang ia ke pantai, duduk ketika pagi dan
bahkan sore juga, duduk sambil membaca buku, melihat-lihat pantai. Melihat para
pekerja tambang akan pergi bekerja. Bahkan ke pantai menjadi keseringan
baginya, dan menjadi tempat favoritnya selama beberapa hari di Maba. Di dekat
pantai juga terdapat sebuah pulau kecil, Pulau Mobon namanya, kalau tidak
salah.
Terkadang Wahib juga duduk-duduk di tribun lapangan
Jiko Mobon sambil baca buku. Dan ia sering berkeliling di Desa Soagimalaha
sambil jalan kaki. Ya, Desa Soagimalaha adalah desa yang ia tinggal di Maba
Kota. Sempat juga sekali jalan-jalan pakai sepedanya orang rumah. Putar-putar
Desa Soagimalaha.
“Potret Jurus Dakwah” yang Wahib baca selama di Maba,
banyak menggugah pikirannya. Isinya yang juga membahas sosok juru dakwah, para
imam mahzab, Ahmad bin Thaimiyah, Imam Jafar Shadiq, hingga ke beberapa ulama
kontemporer, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha.
Dan beberapa pembahasan yang ingin Wahib tuliskan,
menggugah pikirannya, dan relevan dengan kondisinya saat itu. Pertama, semuanya
tentang ilmu. “Terangnya hati merupakan
ruh ilmu, kejujuran adalah tujuannya, ilham adalah petunjuknya, sedang akal
adalah tempatnya dan Allah adalah pengarahnya”, definisi ilmu bagi Imam
Jafar Shadiq. Wahibpun mengutip dibagian lainnya tentang “Tuntutlah imu
sekalipun ke negeri China”. Bagi Wahib pekerjaan adalah bagian dari
implementasi ilmu, terangnya hati.
Wahib pun tergugah dengan sindiran Muhammad Abduh yang
membagi kelompok penuntut ilmu, salah satu kelompok adalah orang yang disiapkan
oleh orang tuanya untuk memperoleh jabatan pemerintah, baik jabatan tinggi
maupun rendah. Personal-personal kelompok ini banyak atau sedikit memperoleh
dasar-dasar ilmu yang dikenal dengan ilmu-ilmu modern. Kemudian masing-masing
dari mereka mendapatkan jalan menuju jabatan atau kedudukan yang telah
disediakan oleh orang tuanya. Sekalipun boleh jadi yang didapatkan itu adalah
satu kata yang dihafal atau imajinasi yang dipertahankan, yang intinya adalah
memiliki ijazah. Di antara mereka melanjutkan studi yang tidak mempunyai tujuan
selain tujuan di atas. Bila kebetulan mendapatkan jabatan, ia puas dan terfokus
hanya untuk kerja. Bagi yang tidak memperoleh jabatan, ia menunggunya. Jika
bosan atau capek menunggu, ia menghabiskan hari-harinya di kedai atau tempat
permainan. Orang-orang baiknya dari mereka “dan jumlah mereka ini kecil” tidak
peduli kepada permasalahan orang awan, terserah apakah mereka baik dan
sejahtera atau rusak dan celaka. Jika demikian, maka tidak ada satu jasa pun
dari mereka nampak bagi umat “kecuali mereka yang dikecualikan dari mereka”
yang sedikit keberadaanya yang diharapkan jumlahnya bertambah dan buah dari
amalnya dapat dinikmati umat. Karena Muhammad Abduh pun mengutip “Menuntut ilmu
adalah fardhu bagi setiap muslim dan muslimah”. Kejujuran adalah tujuannya.
Kedua, takdir. “Ia
adalah jalan gelap yang berbahaya, janganlah kamu memasukinya. Ia adalah lautan
luas, janganlah kamu mengarunginya. Takdir adalah rahasia Allah, maka janganlah
kamu mencoba mengungkapkannya”. Pernyataan takdir Imam Djafar Shadiq.
“Takdir berada di antara dua hal bukan paksaan dan bukan pemasrahan.
Sesungguhnya Allah menginginkan sesuatu terhadap kita dan dari kita. Apa yang
Dia inginkan terhadap kita, Dia merahasiakannya kepada kita dan apa yang Allah
inginkan dari kita, Dia menampakkannya kepada kita. Oleh karena itu janganlah
kita menyibukkan diri dengan sesuatu yang diinginkan Allah terhadap kita dengan
meninggalkan apa yang diinginkan oleh Allah dari kita”. Ketika hari kiamat
nanti, Allah mengumpulkan makhluk. Dia akan menanyakan kepada mereka tentang
perjanjian mereka dengan Allah, bukan tentang apa yang Allah takdirkan kepada
mereka.
Dan tentang ini semua, tentang ilmu, tentang mencari
pekerjaan, tentang takdir. Merupakan kebenaran yang telah mentakdirkan. Imam
Jafar Shadiq pun berkata “Aku heran ada orang yang takut tetapi tidak tergugah
oleh firman Allah, ‘Cukuplah Allah
menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung’ (Q.S. Ali
Imran [3]: 173).”
Dan kebenaran yang mentakdirkan itu karena telah
terpatri dalam Lauhul Mahfuzh. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (Q.S Al-Hadid [57]: 22-23)”.
Tentang semua itu, tentang ilmu, tentang takdir,
berakumulasi terhadap usaha dan karunia Allah. “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S An-Nisa [4] : 32)”. Menurut tafsiran Sayyid Quthb terkait ayat ini, kita tidak boleh iri
dalam hal apapun, mulai dari harta, strata (status) sosial, pekerjaan,
kelebihan apapun hingga pada tataran kemampuan dan potensi diri.
#
Wahib
kembali ke Maba. Pada bulan November. Mungkin masa-masanya di Maba selain di
luar kegiatannya di LSM adalah masa-masa bermesaraan dengan buku. Kali ini
Wahib ditemani oleh buku “Proses Kreatif Jilid II”, buku tentang Mengapa dan Bagaimana
Saya Mengarang. Dan sekali lagi pantai menjadi tempat indah untuk bercengkrama
dengan buku.
Kalau sebelumnya buku yang ia baca
“Potret Juru Dakwah”, memberikan perenungan mendalam untuk diri. Maka kali ini
“Proses Kreatif Jilid II”, merayu-rayu dirinya untuk menggairahkan semangat
menulisnya. Wahib tak sabar balik ke Ternate, hanya untuk bercengkrama di depan
laptop untuk menulis. Walau ketika di Ternate, semangat itu membara tapi Wahib
tak memulai menulis, entahlah, punya kesibukkan lain mungkin. Wahib memang
menulis beberapa opini, tapi gairahnya itu untuk menuliskan perjalanannya
selama di Haltim.
Kata-kata rayuan, S. Takdir
Alisjahbana, memulai dengan mengatakan “Meskipun ilmu dan filsafat sangat
menarik hati saya dan sangat banyak waktu telah saya pakai untuk keduanya,
tetapi kalau saya hendak jujur tentu saya akan berkata: menulis sastra baik
berupa puisi maupun berupa roman lebih memberikan kepada saya perasaan
kebahagiaan. Sebab dalam sastra saya dalam keadaan seorang pencipta yang bebas
menumbuhkan perasaan, pikiran dan fantasi dan menyusun sekaliannya dengan
kebebasan menjadi sesuatu yang menjelmakan kepribadian saya. Hasrat dan
dambaan, kegirangan dan maupun kesedihan saya dapat saya lepas
sebebas-bebasnya. Tentunya dalam menulis itu ada waktunya segala sesuatu
berjalan dengan lancar, tetapi sering pula kita berjuang amat lama untuk
sebaris, satu alinea ataupun satu halaman. Dan meski bagaimana sekalipun kita
berusaha untuk mencapai yang sebaik-baiknya, di sisi bagian-bagian yang
menyenangkan kita, yang senantiasa kita menghadapi bagian-bagian dari ciptaan
kita menimbulkan perasaan tak puas. Terhadap bagian-bagian yang memuaskan,
yaitu yang terasa menggemakan getaran jiwa kita yang sesungguhnya, saya sering
bersifat sebagai seorang Adonis yang girang menikmati bayang-bayang wajahnya
dalam cermin. Si penulis bukan saja menjadi pembaca yang pertama, tetapi
pembaca yang berulang-ulang membaca ciptaannya sendiri”.
Wahip pun mengutip kata-kata rayuan
menulis dari Subagio Sastrowardoyo. “Sajak-sajak
adalah suara dari bawahsadar. Aku tak mau bilang tentang suaru-suara yang
timbul dari roh, untuk menghindarkan kesan yang mengandung pretensi. Dalam hal
ini aku lebih baik mempergunakan istilah teknis psikologi: bawahsadar. Kecuali
itu, meski sesungguhnya soal bawahsadar sama arasionalnya dengan soal roh,
tetapi orang akan lebih lekas percaya dan menerima pengertian bawahsadar”.
Menulis bagi Subagio Sastrawardoyo
adalah hasil pergulatan untuk merebut kilatan-kilatan kesadaran sebelum
tenggelam lagi dalam ketaksadaran yang dungu. Bagiku, tujuan pada hidup dan
kerja sastra ini harus memuncak ke arah kesadaran itu, kesadaran yang
sepenuhnya. Itu harus menjadi akhir segala kerja ilmu, seni, dan laku hidup.
Subagio Sastrawardoyo kembali
menuliskan dalam Proses Kreatif Jilid 2, “Hasrat akan kelanggengan itu juga
yang mendorong saya menulis. Sebenarnya hasrat demikian terdapat pada semua
orang, sekalipun kita umumnya tidak menyadarinya. Hasrat itu ada ketika kita
hendak menangkap sesuatu pemandangan yang menarik dengan alat potret kita.
Dengan melekatkan pemandangan itu kepada kertas potret kita renggut pengalaman
itu dari pelahapan waktu dan dengan demikian kita mengekalkannya. Secara
demikian juga saya menjadikan kekal pengalaman-pengalaman perasaan, pikiran, dan
penginderaan saya yang menarik hati saya dengan mencatatnya dalam bentuk sajak
atau kisah”.
Trisnoyuwono menuliskan “Mengarang
bisa untuk segala. Sekarang, aku mengarang untuk mengatasi
pertentangan-pertentangan batinku, menjawab tantangan batinku. Mengarang adalah
merumuskan perasaan-perasaan atau pikiran-pikiran, angan-angan atau khayal.
Tentu tidak pula aku bebas dari mengarang untuk dikenal, untuk terkenal, untuk
memberi arti pada hidupku, untuk mencapai sesuatu yang layak dibanggakan.
Karena aku merasa hanya bisa mengarang, maka mengarang juga jawaban atas segala
tantangan hidup. Banyak hal bisa dijadikan sebab, mengapa seseorang mengarang”.
Proses Kreatif Jilid II adalah buku
yang menemani Wahib selama di Haltim pada waktu-waktu itu. Buku Proses Kreatif
Jilid II adalah buku yang menerangkan tentang mengapa dan bagaimana beberapa
penulis ternama (dahulu) mengarang.
#
Wahib
kembali lagi ke Maba. Di sela-sela masa-masa itu, Wahib sering ngobrol dengan akhuna Ismail, mantan
Ketua LDK Unkhair. Banyak hal yang kita bicarakan dari mengenai konsep dakwah
di kalangan mahasiswa, gerakan dakwah mahasiswa (KAMMI maupun LDK), harakah
Islam lain (HTI), demokrasi dan Islam, hingga ke perbincangan yang paling
sering dibicarakan ikhwan, menikah. Di satu sisi, selama kurang lebih hampir 1
bulan di Maba, buku setebal kurang lebih 600-an halaman itu (Negara, Pasar, dan
Rakyat) hampir seperempat hampir selesai.
Sekitar
akhir Mei, Wahib kembali lagi ke Maba. Maba kali ini terlihat lebih sepi,
menjadi tamu di rumah sendiri, mungkin itu ungkapan yang tepat. Maba yang dulu
ramai dengan pekerja-pekerja tambang sekarang sunyi senyap, perusahaan tambang
diberhentikan sementara mungkin. Ungkapan berikut adalah tanah mutiara (tanah
pertambangan) yang menciptakan kegersangan. Karena paska penutupan sementara
tambang, akses transportasi berkurang, para pekerja mungkin mulai menganggur.
Kegersangan di tanah mutiara itu mungkin sering terjadi di daerah bekas
pertambangan.
Masa-masa
ini, Wahib ditemani oleh bukunya taujih Ustad Hilmi Aminudin “Untukmu Kader
Dakwah”. Setelah berselang waktu aku melanjutkan membaca “Menjadi Manusia
Pembelajar” karya Andrias Harefa.
Membaca buku Ustad Hilmi Aminudin,
membuatku mempertegas tulisanku tentang “Membangun Kultur Organisasi”.
‘Kerangka berpikir’ ini (konsep-konsep dasar organisasi) agar tidak ada ‘konsep
ke-aku-an’ yang mengeneralisir ‘konsep ke-kita-an’. Jangan si A mengatakan A,
si B mengatakan B, si C mengatakan C dan si D mengatakan D tapi tidak berdasar
terhadap departemen E. Itu sering terjadi. Seharusnya ‘konsep ke-kita-an’ yang
mengeneralisir ‘konsep ke-aku-an’. Seperti si A mengatakan A karena F, si B
mengatakan B karena F, si C mengatakan C karena F, dan si D mengatakan D karena
F untuk departemen E. Semua argumentasi si A, B, C, dan D berlandasan kepada
konsep F.
Dan bukunya Andrias Harefa, “Menjadi
Manusia Pembelajar”. Membuat Wahib memandang KAMMI sebagai ‘belajar menjadi’, wisdom, dan ‘hidup untuk belajar’.
Sebagai bentuk tugas pertama manusia dalam proses menjadi dirinya yang sebenarnya
adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi pembelajar bukan hanya di gedung
sekolah dan perguruan tinggi tetapi terlebih penting lagi dalam konteks
kehidupan. Dengan itu maka imagine
KAMMI dalam masyarakat otentik terbagi atas pembelajar (kaderisasi KAMMI),
pemimpin (visi KAMMI), dan manusia guru (cita-cita kader KAMMI). Yang sebagian
Wahib tuangkan dalam tulisanku “Imagine
KAMMI dalam Masyarakat Otentik”.
Di masa-masa ini, Wahib menemukan
tempat baru untuk duduk berlama-lama. Ketika itu waktu-waktu mau memasuki bulan
Ramadhan, hampir sebagian masjid sedang dibersih-bersih, dicat, tepat juga di
waktu sholat Ashar, dan karena alasan masjid dibersihkan jadi belum bisa
dipakai sholat. Hampir dua masjid disini lakukan hal itu, Wahib pun bingung mau sholat Ashar dimana.
Tiba-tiba teringat dengan satu masjid lagi, akhirnya ia sholat di situ,
kebetulan mereka tidak bersih-bersih. Nama masjid ini Ulil Albab, kalau tidak
salah.
Di belakang masjid ini, terdapat
tempat baru yang membuatku duduk berlama-lama. Pemandangannya cukup indah, ada
banyak pohon, ada lapangan sepak bola, dan terkadang terlihat pelangi bahkan
pelangi dengan biasan pelangi (dua pelangi jadinya). Wahib menikmati kondisi
ini bahkan duduk hingga berjam-jam, terkadang sambil menunggu waktu sholat
berikut, sambil membaca, sambil tilawah, sambil tiduran.
Pengurus Masjid Ulil Albab, sebagian
besar adalah Jamaah Tabliq. Ketika di kantor LSM, Wahib sering online dan berdiskusi (atapun mungkin
dapat dibilang berdebat) dengan beberapa aktivis Gema Pembebasan (Organisasi
Sayap Hizbut Tahrir Indonesia) di facebook.
Gayanya teman-teman Gema Pembebasan memang cenderung pandai berdebat dan
mengedepankan perdebatan.
Sistem demokrasi hanyalah alat, yang membedakan antara HT
dan IM adalah cara pandang, bukan semata-mata dalil. Karena IM dan HT
kedua-duanya punya landasan dalil. Taqiyudin An-Nabhani mengatakan cara yang
digunakan haram maka haram. Sedangkan IM berasumsi dalam muamalah segala
sesuatu itu haram sampai ada dalil yang mengharamkan.
Sejauh ini di parlemen mayoritas bukan orang yang hanya bertujuan membentuk
khilafah. Demokrasi adalah suara mayoritas, bagaimana Indonesia bisa diganti
sistemnya kalau yang menginginkan khilafah, adalah minoritas? Yang dimaksud
minoritas bukan cuman HT tapi juga kita (IM). Lihatlah rakyat ‘Islam
Indonesia’, sudah Islamikah mereka? Maka kita harus perbanyak orang-orang baik
dan kita sadari demokrasi itu pertarungan antara baik dan buruk dalam tataran
mayoritas. Lantas mengapa kita tidak perbanyak orang-orang baik di dalam
sistem, minimal sistemnya Islami karena dipenuhi oleh orang-orang yang Islami
baru terbentuknya khilafah. Sistem Islam. Jadi bukan kulit Islamnya yang
dibicarakan tapi substansinya Islam yang diagungkan. Minimal dari diri kita
sendiri belajar mengIslamikan diri kita. Begitulah
Wahib yang berdikusi dengan teman Facebook-nya yang kader Gema Pembebasan.
Dan setelah itu, Wahib sering melihat aktivitas Jamaah
Tabliqh. Kadang diajak ikut dalam aktivitasnya, ta’lim, musyawarah. Aktivitas
lainnya bayan, jaulah. Agak aneh saja, mereka sering menggunakan ‘Muktamar
Khilafah’ dan ‘Musyawarah Umat’, seperti terlihat bentuk pembenaran sebagai
harakah yang paling benar untuk umat. Bagiku, harakah adalah bagian dari umat
bukan pembenaran umat yang menyampingkan harakah lain dari pembenaran.
Wahib terkesan dengan aktivitas Jamaah Tabliqh kali
ini, karena selama bulan Ramadhan, mereka mendatangkan imam untuk sholat selama
Ramadhan dari pesantren (bahkan dia seorang hafidz), ada belajar tajwid, ada
tausiah shubuh. Agak ‘moderen’ pikirannya dibandingkan pikiran ‘Islam
Tradisional’, mereka juga melawan hal-hal dari ‘Islam Tradisional’ yang tidak
perlu diterapkan atau tidak jelas dalilnya. Dan kelihatan sesuai dengan medan
dakwah disini, karena kelihatan orang-orang disini menganut ‘teologis
kampung-kampung, paham-paham orang tua-tua’, begitulah, paham ini kadang
memparsialkan Islam dengan tarekat-tarekat yang diparsialkan, katanya zikir
tanpa perlu sholat, sholat dengan dicampur-adukan dengan hal-hal yang aneh.
Setidaknya pada saat itu berbagai harakah Islam
apapun, terlihat indah sesama mereka, ukhuwahnya, itulah Muslim, saling
membantu, saling mengenal, kadang-kadang dipijat belakangnya (ketika ta’lim
atau dalam majelis), itu terlihat indah, ukhuwahnya.
Dan yang paling mendasar adalah tentang akidah kita
sama, Tuhan kita ya Allah, kita masih tetap sholat, kita sama-sama berdakwah.
Seharusnya kita junjung persamaan dan meminimalisir perbedaan. “Kalian adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali-Imran: 3: 110).
Tapi kondisi kini, Wahib merasa
telah mati dini di KAMMI, tidak lagi berkontribusi dalam agenda-agendanya
karena telah berada jauh dari pusat akvititas KAMMI Kota Ternate, hanya
berkontribusi oleh beberapa tulisan yang dimuat di media lokal dengan
keterangan sebagai ‘Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate’. Tapi semoga hatinya
tetap terpaut dengan KAMMI, bagian dari aktivitasnya terhadap penghambaan
kepada Allah SWT.
#
Masa-masa ini, Wahib
berpikir mengenai berbagai kondisi harakah, entahlah dalam pandangannya yang
sangat terbatas dan awam. Pada dasarnya bagi Wahib, masalah ashobiyah itu hal
yang lumrah, karena pada dasarnya kita memang ashobiyah tapi yang terpenting
hanya dalam konteks fikrah kita agar kita tetap berdakwah sesuai metode jamaah
(harakah). Karena pada dasarnya, mungkin jarang Jamaah Tabliqh baca bukunya
Taqhiyudin An-Nabhani, atau Hasan Al-Banna, atau Sayyid Quthb atau Yusuf Qardhawi,
paling mereka hanya mendengar ta’lim dari karya Maulana Yusuf Muhammad
Al-Kandhalawi. Dan sebaliknya Hizbut Tahrir dan Ikhwan Muslimin juga begitu.
Itulah dasarnya ke-ashobiyah-an kita. Karena konteks awamnya kita maka kita
perlu mengutip dan membaca buku-buku yang lebih ahli, atau para ulama. Tapi
ke-ashobiyah ini seharusnya membuat kita tidak saling mengkafirkan sesama
Muslim, itu yang terpenting, mungkin. Mengutip yang Sayyid Quthb tuliskan “Individu-individu yang hatinya telah steril
dari penghambaan kepada selain Allah, hendaklah bersatu dalam sebuah komunitas
Islam”.
Terakhir mengutip pertemuan Yusuf Qaradhawi dengan
Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani. Banyak sekali yang menjenguk Yusuf Qaradhawi di
rumah sakit. Tapi diantara kunjungan yang terpenting adalah kunjungan seorang
syaikh yang mengenakan jubah dan sorban. Syaikh tersebut banyak menanyakan
kunjungan Yusuf Qaradhawi ke Tepi Barat dan Timur, yang dijawab oleh Yusuf
Qaradhawi dengan ekspresi yang menggambarkan kepuasan dan rengkuhan faedah.
Mereka berdua juga berdiskusi ringan mengenai beberapa masalah ilmiah. Pada
akhir kunjungan, syaikh tersebut memeluk Yusuf Qaradhawi dengan sangat erat.
Ternyata beliau adalah seorang da’i yang bernama Taqiyyudin An-Nabhani.
“Kami sangat berterima kasih dan sangat bahagia dengan
kunjungan beliau. Bagi kami kunjungan beliau adalah sebuah kehormatan” ujar
Yusuf Qaradhawi mengenang. Beberapa murid Syaikh An-Nabhani nampaknya
memberitahu beliau mengenai keberadaan Yusuf Qaradhawi di sana dan perdebatan
yang pernah terjadi di antara mereka, sehingga Syaikh sangat penasaran ingin
menjumpai dan mengenal Yusuf Qaradhawi secara pribadi.
Pertemuan Yusuf Qaradhawi dengan Syaikh Taqiyyudin
An-Nabhani tersebut merupakan pertemuan pertama kali sekaligus yang terakhir.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan berkah kepada dua ulama kita
ini. Semoga murid-murid mereka berdua dan kita semua menjadi benteng-benteng
kebenaran sampai akhir zaman.
Posting Komentar
0 Komentar