Kenang-Kenangan Pandemi




Kenang-Kenangan Pandemi
M. Sadli Umasangaji






Penjelajah cerita itu mengendarai motor. Nursi menuju ke sebuah cafe. Dalam perjalanan ia melihat orang-orang menggunakan masker. Tentu ada juga yang tidak menggunakan masker tapi lebih banyak yang memilih menggunakan masker. Kejadian ini menerpa semua dunia bahkan termasuk Wilayah Kerajaan.

Setibanya di cafe, pikiran-pikirannya terbayang kejadian-kejadian masa lampau, mungkin sekitar 10 tahun lalu. Sambil ia memesan kopi pada pelayan. Cafe sendiri memang memiliki makna Coffee. Kejadian itu seperti kejadian pada ratusan tahun lalu. Beberapa negara besar terkena Plague of Justinian, sebuah bakteri yang menempel pada tikus hitam yang berkeliaran di dalam kapal. Pada waktu itu, orang-orang yang tetap hidup diduga karena orang-orang yang terinfeksi mampu membentuk kekebalan tubuh.

Beberapa waktu setelah itu masih ada kejadian-kejadian seperti itu, mengisolasi orang-orang yang sakit atau yang terjangkit wabah, dilakukan pembatasan ruang gerak manusia dan hampir-hampir banyak nyawa yang menjadi korban hingga tak terhitung. Dari Black Death, Flu Spanyol, Cacar Air, Kolera, dan lainnya. “Bisa jadi ia sama berbahaya atau bahkan lebih berbahaya dari perang”, pendam Nursi yang sedang duduk di Cafe.

Hingga kejadian 10 tahun lalu yang menerpa dunia kembali. Semua bermula dari Negeri Tabir Bambu. Dilaporkan adanya kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya. Akhir tahun 2019, kemudian mereka menyebutnya C-19. Banyak sekali spekulasi penyebabnya yang awalnya disebut berasal dari kelelawar, hingga senjata biologis, konspirasi depopulasi dunia, efek kerusakan alam hingga persaingan bisnis antara Negeri Jaringan Bambu dengan Negeri Tuan 50 Bintang. Dan Maret 2020 seluruh dunia menyebut sebagai kasus penyakit yang menyerang seluruh manusia. Pandemi.

Nursi sambil seduh kopinya terbayang pada kejadian 10 tahun lalu itu. Beberapa gejala umum yang menyertai seperti demam, batuk, sesak napas hingga hilang indera perasa maupun penciuman. “Orang-orang dengan penyakit komorbid seperti penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, ginjal, hipertensi, tuberkulosis dan sejenisnya lebih beresiko menjadi korban yang kehilangan nyawa”, pendam Nursi. Saat-saat itu awalnya kita masih melihat orang-orang jauh yang terkena, kemudian lingkaran masyarakat elit, hingga orang-orang yang berada di sekitar kita. Peningkatan kasus begitu masif.

“Masa-masa itu orang-orang diminta untuk lebih banyak di rumah. Ada beberapa pekerja perusahaan yang harus diputus kontrak kerjanya. Orang-orang diminta terus menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga kesehatan dengan mengonsumsi makanan gizi seimbang, menjaga jarak dalam aktivitas hingga mengurangi aktivitas di luar rumah”, kenang Nursi.

Dilihatnya orang-orang di cafe masih enak bercengkerama tapi tetap menggunakan masker. “Ini efek kejadian 10 tahun lalu, orang-orang kini telah menyepakati secara umum bahwa penggunaan masker dalam aktivitas adalah bagian dari keharusan”, Nursi masih merenung kejadian-kejadian lampau.

Dalam lamunannya Nursi terbayang, “Tahun-tahun itu orang-orang berdebat ini konspirasi atau bukan. C-19 itu palsu, C-19 itu nyata. Menggunakan masker atau tetap tanpa masker, muncullah orang-orang yang menolak menggunakan masker, kemudian menyebutkan diri sebagai aktivis anti masker. Menerima vaksinasi atau menerima konspirasi vaksinasi yang artinya menolak vaksinasi. Dikotomi tenaga atau profesi medis yang menolak C-19 versus tenaga medis yang juga berjuang pada pasien. Hingga ada orang-orang yang abai dengan masker atau tanpa menggunakan masker, pasang wajah ragu pada wabah, tapi tak sedikitpun abai atas bantuan sosial wabah.”

“Sialnya bantuan-bantuan sosial itu pernah dikorupsi oleh pejabat yang mendaku sebagai Menteri Berjiwa Sosial”, pendam Nursi dengan wajah kesal tentang kenangan itu.

Padahal Nursi sendiri melihat masih banyak orang yang mesti keluar rumah untuk mempertahankan hidup, masyarakat sosial kelas bawah yang meminta-minta yang tetap menggunakan masker di samping-samping kaca mobil dan motor di lampu-lampu merah, orang yang di awal-awal pandemi diberhentikan dari kantornya karena kondisional dan hingga kini entah sudah mendapatkan pekerjaan baru atau belum. Ada mungkin orang-orang bisa keluar rumah atau tidak kondisional biasa saja, pandemi memberikan kesan tapi tidak memberikan “pukulan” dampak yang keras. Orang-orang yang pandemi atau tidak, kondisinya memang terlanjut sederhana.

Masa-masa itu, orang-orang terpaksa bekerja di rumah dan mulai terbiasa menggunakan sarana-saran digital. Sekolah di rumah, kantor di rumah, kuliah di rumah, olahraga pun di rumah. Orang-orang lebih banyak berusaha di rumah. Tapi tak sedikit pelayanan-pelayanan tersendak, pelayanan kesehatan lain (selain C-19) agak terhambat, kegiatan posyandu, kegiatan pendidikan, kegiatan perkantoran. Perkantoran di pemerintah bahkan melakukan pengaturan waktu kerja untuk pegawai secara bergantian. Mungkin juga disebut ada peningkatan kasus perceraian dari kekerasan, karena ekonomi yang pupus di tengah pandemi hingga lainnya. Atau anak-anak sekolah yang terpaksa putus sekolah, anak-anak usia sekolah yang tiba-tiba menikah di saat pandemi, anak-anak sekolah yang terpaksa harus bisa mengikuti-mengikuti pembelajaran secara daring.

Orang-orang yang suka menonton film mampu menghabiskan beberapa film dalam sehari, orang-orang yang suka menulis memiliki waktu merenung, membaca kemudian pelan-pelan menulis, orang-orang yang menikmati tilawah Quran memiliki waktu yang lama bermesraan dengan al-Quran, orang-orang yang suka buku, bisa berduaan dengan buku lebih lama, orang-orang yang sebelum-sebelumnya sibuk, kini lebih tersedia banyak waktu bersama keluarga. Tak terhitung banyaknya orang yang sudah terbiasa mengikuti diskusi-diskusi secara daring menggunakan laptop atau pun handphone.

Nursi juga terkenang ketika ia harus melakukan vaksinasi. Vaksinasi sebagai sarana untuk membentuk kekebalan bersama. Kekebalan bersama, kenang Nursi, kebanyakan disebut sebagai herd immunity. Ketika sebagian besar penduduk memiliki atau terbentuk kekebalan tubuh terhadap penyakit menular tertentu sehingga memberikan perlindungan secara tidak langsung terhadap kelompok masyarakat yang memiliki kekebalan tubuh lebih rentan. Vaksinasi bagian dari capaian-capaian pembentukan kekebalan bersama agar masyarakat bisa menjalankan aktivitas keseharian dengan praduga yang lebih aman.

Di cafe itu masih tertulis kalimat mencuci tangan terlebih dahulu sebelum masuk dan sebelum beraktivitas. Ingatan-ingatan Nursi terbayang pada masa-masa itu, masa dimana orang harus menjalankan protokol kesehatan sebagai bagian dari rutinitas keseharian. Mulai dari menjaga jarak dalam aktivitas, menggunakan masker dengan benar (bahkan hingga menggunakan masker dua lapis), menjaga kebersihan tangan, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilisasi dan interaksi, menjaga kesehatan tubuh dengan asupan makanan yang bergizi.

Orang-orang di Café itu bukan hanya minum kopi dan merenung, ada yang berdiskusi, ada yang mengikuti diskusi secara daring, ada yang menulis, ada yang menunggu teman, ada yang sekedar duduk karena bosan di rumah. Ini sudah di tahun 2040, orang-orang sudah bebas beraktivitas tapi kesadaran-kesadaran menggunakan masker masih menjadi keharusan dan etika publik. Karena kadang-kadang masih ada beberapa kasus terjadi tapi ia sudah bukan lagi disebut epidemi apalagi pandemi. Kasus yang muncul karena orang itu sedang turun imunitas tubuhnya saja di tengah-tengah aktivitas yang padat. Angka kematian hampir sudah tidak terjadi. Seperti wabah-wabah sebelumnya manusia menjadi pemenang, flu menjadi biasa, cacar air seperti luka gatal yang terjadi sekali seumur hidup tapi tidak mematikan.

Nursi terkenang dengan kata-kata, “Kemunculan wabah sebetulnya tidak terlepas dari cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Virus bisa menjadi ancaman. Tapi umat manusia dengan perlahan memiliki semua pengetahuan dan teknologi dalam menyelesaikan masalahnya. Masalah terbesar manusia adalah nuraninya, kebenciannya, keserakahan dan ketidaktahuannya.”

Kehadiran pandemi telah mengubah beberapa kehidupan dasar manusia. Anak-anak di desa pun sudah terbiasa dengan kemajuan-kemajuan teknologi, belajar secara daring. Tak sedikit penulis-penulis lama atau baru muncul dengan karya-karya terbaik di masa-masa pandemi. Nursi melihat kumpulan cerpen dan kumpulan opini. Beberapa kali ia terlibat dalam penulisan-penulisan karya. Bahkan telah terhitung ia memiliki 2 novel, 3 kumpulan cerpen dan 5 kumpulan opini yang ditulisnya sendiri sebagai karya pribadi. Karya-karya yang lahir selama 10 tahun terakhir dan di masa-masa pandemi.

Nursi menghabiskan seduhan kopi yang tersisa. Suara adzan dhuhur dari masjid terdengar mengikuti angin. Ia bersiap-siap menuju masjid. Di masjid orang-orang masih menggunakan masker. Sebelum berwudhu pikirannya terbayang, “Hanya satu hal yang tidak tercapai, titik normal baru dari kesamaan ekonomi agar yang kaya tidak terlalu kaya dan yang sederhana tidak terlalu miskin tidak terjadi. Pandemi tidak mengubah titik nol kesamaan ekonomi yang merata”. Nursi termenung dan kemudian tersadar, menuju tempat wudhu untuk berwudhu. Penjelajah cerita itu masih terus menjelah melampaui ruang dan waktu.

Posting Komentar

0 Komentar