Nalar Nasionalisme; Fragmentasi, Determinasi, dan Kontrak Sosial


Nalar Nasionalisme; Fragmentasi, Determinasi, dan Kontrak Sosial
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)






Satu kata yang akan diselaraskan berdampingan dengan pribumi adalah nasionalisme. Lebih setengah abad bangsa Indonesia melewati masa-masa kemerdekaannya. Kemerdekaan merupakan impian setiap bangsa di kala berada dalam suasana terpenjara, tertindas, dan terhegemoni kekuatan luar. Semangat kemerdekaan yang mampu memompa adrenalin kepahlawanan untuk gigih berjuang secara frontal dan berkorban di hadapan penjajah tanpa harus memikirkan nasibnya sendiri. Hakikat sebuah nasib digantung pada anak cucu dan generasi setelahnya. Entah dari mana sumber semangat tersebut, yang jelas salah satu penjelasan yang hadir di hadapan kita dan masih didengungkan hingga saat ini adalah semangat nasionalisme. (Hamzah, 2010).

Tatkala kemerdekaan diraih dengan semangat nasionalisme, seharusnya kondisi yang mencerahkan pada generasi berikutnya terealisasi. Namun pada kenyataannya, alih-alih menjadi kenyataan, harapan pun relatif tak terakomodasi. Semangat nasionalisme tidak cukup mengantarkan penerus bangsa ini ke alam kehidupan yang lebih baik. Bangsa ini masih tertatih-tatih untuk membuktikan dirinya sebagai bangsa besar karena semangat perjuangan para pendahulunya. Segudang persoalan masih menganga di depan mata ditambah runtuhnya jati diri sebagai bangsa yang kuat dan utuh nyata di pelupuk mata. (Hamzah, 2010).



Nasionalisme yang Terfragmentasi

Abad 19 - biasanya – disebut sebagai abad nasionalisme, dimana pada zaman tersebut banyak ditemui terjadinya perubahan, kudeta, dan revolusi baik di skala regional maupun internasional. Sebagaimana yang terjadi di Eropa pada masa tersebut. Kebanyakan hal itu terjadi sebagai ungkapan dari pertumbuhan semangat nasionalisme, dan merupakan akumulasi dari pemikiran terhadap ras atau tanah kelahiran.

Pada awal abad 20, semangat nasionalisme beralih ke Asia dan Afrika. Oleh karenanya, tidak aneh bila Turki yang menjadi negara Islam pada saat itu meneriakkan seruan nasionalisme, dan kemunculan Turki sebagai negara sosialis adalah sebagai pengganti dari Persatuan Islam (ar-Rabithah al-Islamiyah). Di dunia Islam bagian timur pemikiran ini terus berkembang. Di Mesir berkembang sebuah aliran ras yang menyerukan adanya nasionalisme Mesir dan menyebar rasa kesukuan dalam tubuh umat yang berlandaskan pada ras, bukan berdasarkan akidah dan agama. (Aziz, 2005).

Menurut penulis, pribumi bisa saja menyebabkan nasionalisme yang terfragmnetasi, apabila nasionalisme dimaknai secara sempit dan terbatas pada skala-skala georagafis. Bukan sebagai sesuatu yang memiliki kesamaan cita-cita, visi dan harapan. Muhammad Hatta (dalam Hamzah, 2010) menyatakan “Bagi kami Indonesia menyatakan suatu tujuan politik yang melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkan tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.

Benedict Anderson (dalam Hamzah, 2010) menyebut Indonesia sebagai imagined communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, kemudian ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan yang disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris. Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi berbagai unsur atau kelompok masyarakat yang dikendalikan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Dalam mendefinisikan perkataan nasionalisme, Stanley Benn (dalam Madjid, 2013), menyebutkan paling tidak lima hal; (1) semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme), (2) dalam aplikasinya kepada politik, “nasionalisme” menunjuk kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya jika kepentingan bangsa sendiri itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain, (3) sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa dan karena itu, (4) doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa untuk dipertahankan, (5) nasionalisme adalah suatu teori politik, atau teori antropologi, yang menekankan bahwa umat manusia, secara alami, terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu.



Determinasi Sosial Sebagai Perekat Nasionalisme

Determinasi sosial adalah salah satu landasan yang akan merekatkan berbagai pribumi. Gagasan nasionalisme lahir dari kehendak untuk merdeka dari penjajahan bangsa lain serta adanya persamaan nasib bangsa yang bersangkutan. Yakni perasaan dijajah dan rasa kesetiaan terhadap bangsa dan tanah air (Hamzah, 2010).

Secara obyektif kita harus mengakui bahwa keberadaan imperialisme Belanda sebagai pemicu rasa nasionalisme Indonesia dalam arti kesadaran teritorial ada benarnya. Dilema ini juga dirasakan oleh para pendiri Indonesia waktu itu. Gagasan awal Indonesia sebagian besar didasarkan pada ketegangan antara menguasai dan dikuasai (Matta, 2014).

Olehnya itu, dibalik determinasi sosial sebagai perekat pribumi, tugas lain pribumi adalah partisipasi dalam pembebasan. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Saling partisipasi kepada kaum lain yang membutuhkan adalah wujud nasionalisme yang lebih luas. Maka dititik ini ada sebuah rasa yang mengikat dalam suatu ruang yang lebih, melebih dari sekedar batas-batas teritorial. Tapi memiliki kesamaan visi, cita-cita dan harapan.

Hasan Al-Banna membagi pandangan nasionalisme dalam beberapa wacana. Pertama, nasionalisme kerinduan, jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyeru adalah cinta tanah air, akrab dengannya, rindu kepadanya, ketertarikan pada hal di sekitarnya. Nasionalisme semacam ini adalah hal yang telah tertanam dalam fitrah manusia di satu sisi dan sisi lain diperintahkan oleh Islam.

Kedua, nasionalisme kebebasan dan kehormatan, jika nasionalisme ini yang dimaksud adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekaannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putranya, maka kami bersama mereka dalam hal itu. Sebab Islam telah menegaskan perintah itu dengan setegas-tegasnya.

Ketiga, nasionalisme kemasyarakatan, nasionalisme ini adalah memperkuat ikatan antar anggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokohnya ikatan untuk kepentingan bersama.

Keempat, nasionalisme pembebasan, nasionalisme ini adalah pembebasan negara-negara dan kepemimpinan dunia, maka Islam telah mewajibkan hal tersebut dan mengarahkan para pembebas pada pemakmuran serta pembebasan yang paling berkah.

Hasan Al-Banna (2012) juga menguraikan tentang kebangsaan. Beliau membagi dalam beberapa wacana tentang kebangsaan. Pertama, kebangsaan kejayaan, kebangsaan ini bahwa generasi penerus harus mengikuti para pendahulu dalam meniti tangga kejayaan dan kebesaran serta kecemerlangan dan obsesi. Kedua, kebangsaan umat, kebangsaan ini adalah bahwa keluarga besar seseorang atau umatnya itu lebih utama mendapat kebaikan dan baktinya, serta lebih berhak dengan kebajikan dan jihadnya.

Sementara Sayyid Quthb (2012) menegaskan masyarakat Islami adalah masyarakat terbuka untuk semua suku, bangsa, dan warna kulit tanpa terkendala oleh sekat-sekat fisik yang sempit. Apabila yang menjadi ikatan fundamental atas kebersamaan dalam suatu masyarakat adalah akidah, konsepsi, fikrah, dan manhaj kehidupan yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Kebersamaan semacam ini mencerminkan ciri khas manusia yang paling berharga, yakni ruh (spirit) dan akal pikiran. Hasan al-Banna menuliskan bahwa batas dari nasionalisme adalah kesatuan dan akidah (al-Banna, 2012). Dimana ketika dipahami bahwa nasionalisme terbatas kepada sekat-sekat geografis, maka masalah-masalah determinasi sosial di dataran dunia yang lain tidak menjadi perhatian kita dan perasaan kita terbatas dimaknai dalam tataran teritorial negara.



Kontrak Sosial Sebagai Nalar Nasionalisme

Kontrak sosial adalah sebentuk kerelaan masyarakat untuk hidup dalam satu tubuh negara. Aturan moral dan politik bergantung pada kontrak atau kesepakatan antar individu dalam pola kehidupan yang lebih luas (masyarakat). Pendorong rasa kesatuan dalam masyarakat adalah kesesuaian-kesesuaian yang ada. Kesesuaian itu meliputi sifat dan pemikiran, naluri, rasa permusuhan, dan keadaan alam yang mendorong adanya kerjasama di antara manusia untuk menghadapinya. Karena itu, sudah sepantasnya kita mengevaluasi faktor-faktor yang paling mungkin digunakan, untuk membangkitkan rasa kebangsaan yang telah menipis bagi masyarakat Indonesia (Hamzah, 2010).

Nurcholish Madjid (2013), menyatakan tentang prinsip-prinsip dalam agama Islam dengan kaitan semangat sosialisme. Ini dapat dijadikan sebagai bentuk kontrak sosial, (1) seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhan-lah pemilik mutlak segala yang ada, (2) benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia (kekayaan sebagai amanah), (3) penerima amanah harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan ‘kemauan’ Sang Pemberi Amanah (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan menurut jalan Allah. (4) kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanah Allah itu (yaitu mengumpulkan kekayaan) harus didapatkan dengan cara bersih dan jujur (halal). (5) setiap tahun, harta yang halal itu dibersihkan dengan zakat. (6) penerima amanah harta tidak berhak mengunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya, melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung rasa keadilan umum. (7) orang miskin mempunya hak yang pasti dalam harta orang-orang kaya. (8) dalam keadaan tertentu, kaum miskin berhak merebut hak mereka dari orang-orang kaya, jika kedua ingkar. (9) kejahatan tertingi terhadap kemanusiaan ialah penumpukan kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi sosial. (10) cara memperoleh kekayaan yang paling jahat adalah riba. (11) manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum menyosialisasikan harta yang dicintainya. Oleh sebab itu, pemerataan ekonomi dan keadilan sosial adalah landasan mutlak dalam nasionalisme. Masalah-masalah di Indonesia Timur, di Papua, harusnya menjadi kepedulian bersama sebagai bangsa. Dikotomi-dikotomi pemerataan dan kesejahteraan bisa membuat nasionalisme menjadi terfragmentasi.

Nasionalisme yang timbul dari kehendak untuk merdeka, bila kemerdekaan itu sudah terpenuhi, secara perlahan-lahan akan lenyap bila tidak dicari penggantinya. Dengan kata lain, nasionalisme bukanlah suatu konsep yang mapan dan berpusat pada satu sumber. Nasionalisme selalu bergerak dalam proses, mengikuti perkembangan keadaan. Nasionalisme mengikuti dinamika sosial masyarakat. Antara keyakinan, harapan, dan tujuan di satu pihak, dengan lahirnya nasionalisme di lain pihak, terdapat keintiman konseptual yang mendalam. Artinya, nasionalisme rakyat baru akan tumbuh, jika ditopang oleh adanya harapan, tujuan, dan keyakinan serta cita-cita hidup yang diperjuangkan bersama. Atau, bila realitas sosial sudah sesuai dengan harapan dan cita-cita yang ada dalam masyarakat (Hamzah, 2010).





Referensi

Al-Banna, Hasan, 2012. Majmu’atur Rasail Cetakan Kesepuluh. Penerbit Al-I’tishom. Jakarta

Aziz, Jum’ah Amin Abdul, 2005. Tarikh al-Ikhwan al-Muslimin Jilid I. Penerbit Era Intermedia, Solo.

Hamzah, Fahri, 2010. Negara, Pasar, dan Rakyat. Yayasan Faham Indonesia.

Madjid, Nurcholish, 2013. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan Edisi (Baru) Kedua. Penerbit Mizan. Bandung

Matta, Anis, 2014. Gelombang Ketiga. The Future Institute. Jakarta

Quthb, Sayyid, 2012. Ma’alim Fi Ath-Thariq Cetakan Keempat. Darul Uswah. Yogyakarta.

Posting Komentar

0 Komentar