Orang-Orang Sederhana - Desa G
Serial Orang-Orang Sederhana
Desa G
Gifar kembali melakukan perjalanan
di sebuah desa. Seperti pada umumnya desa-desa di Provinsi ini dipenuhi dengan
kehidupan para petani. Gifar, Bang Sira, Arkan, Ismu, mereka pergi ke Desa G.
Desa G seperti desa-desa dan petani-petani di provinsi ini, kebanyakan
melakukan tanaman campuran. Tanaman campuran sebagai suatu model yang memadukan
antara tanaman kehutanan, dengan tanaman pertanian pada satu lahan yang sama
baik pada waktu yang bersamaan ataupun berurutan, dengan tujuan konservasi
tanah dan air untuk menghasilkan mutu pertanian yang berkelanjutan. Selain itu,
ada juga yang memadukan dengan peternakan di bawah tegakan. Agroforestri adalah
sebuah alternatif pilihan pada pemanfaatan lahan yang mulai terbatas luasannya
dengan menanam berbagai jenis tanaman baik tanaman kehutanan, pertanian
(perkebunan dan semusim) maupun menyediakan pakan ternak pada lahan yang sama.
Sebagian besar masyarakat di Kabupaten HB termasuk desa G bermata
pencaharian sebagai petani dan sebagian lagi adalah sebagai nelayan (tambak dan
perikanan tangkap). Kultur masyarakat adalah petani pekebun dengan komoditi
utama kelapa, pala, dan cengkeh. Untuk tanaman pangan dengan komoditi utama
padi ladang, jagung, ubi kayu, dan pisang.
Pendapatan petani kelapa secara umum 3-4 bulan sekali panen, jadi
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik beras, ikan, dan lauk-pauk maupun
biaya untuk berobat, terutama biaya pendidikan anak diperoleh dari bekerja
sebagai buruh tani pada kebun kelapa milik orang lain dan pinjaman kepada
pedagang dengan perjanjian bahwa pendapatan dari hasil panen kelapa akan
dikurangi dengan pinjaman tadi. Penghasilan yang diperoleh dari hasil pertanian
seperti; kopra, cengkih, ubi, jagung, buah-buahan dan sebagainya sangat
tergantung pada hasil panen. Kopra dijual kepada pedagang yang sudah menjadi
langganan tetap, yang mana sebagian besar petani telah bermitra dengan
pedagang. Namun, seringkali para pedagang menurunkan harga jual kopra kepada
petani yang telah meminjam uang.
Meski demikian, petani merasa sangat terbantu terutama pada
kebutuhan mendesak seperti biaya pendidikan anak dan berobat, serta petani
sangat ketergantungan terhadap pedagang. Pada tanaman semusim dan buah-buahan
di jual dalam kampung atau desa, dibeli oleh tengkulak-tengkulak yang datang,
maupun dijual di pasar lokal. Sebagian petani lebih memilih menjual kepada
tengkulak-tengkulak karena pertimbangan biaya transportasi ke pasar. Adapun
sebagian petani yang tetap menjual hasil taninya di pasar lokal (terutama pada
hari pasar) namun bersama-sama dengan petani lain agar biaya transportasi lebih
murah karena hasil tani yang dijual setiap keluarga hanya dalam jumlah sedikit.
Transportasi menggunakan mobil pick up yang disewa dengan berpatungan.
Hasil pertanian yang diperoleh sangat berfluktuasi tergantung dari
keberhasilan panen, cuaca, biaya produksi yang dikeluarkan dan harga pasar.
Apabila suatu jenis hasil tani banyak tersedia di pasar maka harganya turun dan
sebalik. Tanaman semusim dapat dipanen setiap saat pekan. Tanaman kelapa dan pala adalah dua jenis
tanaman yang paling sering dijumpai di kebun setiap warga. Alasan mereka
mengkombinasikan kedua jenis ini adalah bahwa tanaman kelapa dipanen 3-4 bulan
atau 3 kali dalam setahun, sedangkan tanaman pala dipanen 2 kali dalam setahun
namun dapat dipungut bijinya setiap 3 hari sekali untuk satu pohon, sehingga
apabila pala yang dimiliki banyak maka dapat dipungut bijinya setiap hari.
Buah pala yang pecah dan jatuh harus cepat dipungut karena biji
pala akan mudah rusak setelah jatuh. Dengan demikian sehingga ada pemasukan
setiap pekan dari hasil tanaman pala. Tanaman buah-buahan dipanen sekali dalam
setahun (musim buah) secara serentak atau bersusulan. Pada tanaman cengkih dipanen sekali dalam
satu tahun, namun tidak semua tanaman cengkih dapat berbuah pada saat musim
tiba. Sedangkan tanaman semusim dapat dipanen setiap saat pekan. Umumnya petani
menanam tanaman hortikultura yang dapat dipanen secara berulang kali seperti
terong, cabek, tomat.
Pada saat musim cengkih tiba, selalu bertepatan dengan musim hujan
sehingga banyak pemilik cengkih yang terpaksa menjual mentah dengan timbangan 2
kali berat kering, serta harga cengkih yang cepat sekali turun sementara proses
pemanenan cengkih sangat berat dan susah mencari tenaga kerja, bahkan sebagian
petani pemilik cengkih mendatangkan tenaga kerja dari luar. Berbeda dengan
pala, buah pala bisa terlambat panen sementara cengkih harus dipanen tepat
waktu, karena itu cukup banyak cengkih yang dibiarkan berpolong dan jatuh
karena tidak dipanen. Sementara pada tanaman buah-buahan, harga buah-buahan
seperti rambutan, cempedak, langsat, mangga menjadi turun harganya bahkan tidak
dibeli karena hampir setiap kepala keluarga
menanam tanaman buah-buahan, sehingga buah-buahan hanya untuk dimakan
bersama keluarga dan tetangga, kecuali buah durian yang tetap laris dan
harganya stabil meskipun banyak kepala keluarga yang menanam dan banyak
tersedia di pasar.
Di Desa G, masyarakat menanam padi ladang secara serentak pada
bulan September atau oktober. Penanaman serentak dilakukan untuk mencegah gagal
panen total akibat hama tikus. Apabila ditanam tidak serentak maka potensi
gagal panen akibat hama tikus sangat besar dikarenakan banyaknya hama tikus
yang terdapat di kebun sedangkan padi yang ditanam hanya sedikit. Jadi, melalui
penanaman serentak maka konsentrasi tikus padi menjadi terbagi sehingga potensi
gagal panen total dapat ditekan. Padi ladang tidak ditanam di bawah
tegakan tanaman kehutanan karena
memiliki kanopi yang besar dan ditanam di bawah tanaman pertanian yang kurang
rapat dan ada cahaya.
Penanaman padi ladang dilakukan secara berkelompok dan dibagi ke
dalam tiga kelompok. Kelompok pertama membuat lubang dengan cara menikam kayu
yang ujungnya dibentuk runcing. Kelompok kedua memasukkan benih padi di
lubang-lubang tersebut dan kelompok ketiga yaitu menutup lubang-lubang yang
sudah di masukan benih padi tadi. Dalam penanaman tidak ada perlakuan khusus
pada benih untuk mencegah gagal panen dan dalam pemeliharaan hanya dilakukan
pembersihan gulma, tidak ada pemupukan dan penyemprotan, sehingga banyak akar
padi yang mudah rusak terserang ulat dalam tanah dan mengganggu pertumbuhan
padi. Oleh karena itu, penanaman dilakukan secara berpindah-pindah untuk
mencari tanah yang subur dan bebas hama. Hal ini karena kebiasaan masyarakat
yang masih ketergantungan dengan alam.
Hasil panen padi dikeringkan dengan cara dijemur lalu disimpan di
lumbung padi yang terdapat di kebun masing-masing bersamaan dengan tangkainya
agar dapat bertahan lama dan tidak mudah rusak, dan hanya akan mengambil
secukupnya untuk digiling. Tempat penggilingan hanya terdapat di desa tetangga
dengan bayaran 1 kg beras dari 10 kg beras yang telah digiling. Padi yang
dihasilkan hanya untuk dimakan atau tidak dijual selama satu tahun kedepan,
sehingga selama setahun petani tidak perlu membeli beras. Namun saat ini
sebagian kecil petani di Desa G sudah mulai menjual berasnya tetapi hanya dalam
jumlah sedikit karena sebagian disimpan untuk stok kebutuhan beras mereka
selama satu tahun. Gabah yang dihasilkan setiap panen mencapai 27-30 sak karung
dan 1 sak gabah apabila digiling menghasilkan 25 kg beras bersih. Di Desa G,
sebagian padi ladang akan menjadi simpanan cadangan makanan mereka.
#
Memang kadang stigma atau bahkan
konotasi turut hadir di desa walau saat-saat ini teknologi, pembangunan sudah
berjalan di desa. Tapi stigma tentang keadaan yang tertinggal, kondisi yang tak
berkembang. Hingga pada porsi bahwa solidaritas dan kebersamaan di desa adalah
primitif, kepedulian terhadap sesama di desa adalah kampungan. Kesederhanaan
hidup adalah ketertinggalan. Seperti di desa G atau desa-desa lain di provinsi
ini, orang yang makan makanan kobong, popeda, dan sejenisnya adalah kehidupan
desa yang lama. Memang orde baru dengan programnya menasionalisasi beras begitu
mempengaruhi cara makan orang. Di tengah-tengah isu kemandirian pangan,
sikap-sikap desa yang hidup dengan daya tahan pangan akan menjawab
tantangan-tantangan itu. Budaya menyimpan stok makanan pokok adalah keharusan.
Di Desa G, mereka mendengar cerita
dari Mama T. Mama T menceritakan bahwa pernah ada sebuah perusahaan yang
bergerak di sektor pengolahan ubi datang dan menawarkan kepada Mama T untuk
menanam ubi kayu. Perusahaan itu menjanjikan akan membeli hasil kebun Mama T
untuk diolah kembali di pabrik perusahaan itu. Tapi karena harga yang
ditawarkan tak sesuai dengan harapan Mama T, Mama T menolaknya.
Mama T kemudian mengatakan, “Coba
ngoni (kalian) bayangkan kalau torang (kami) harus menanam ubi satu hektar dan
hasilnya hanya satu-dua juta. Bukankah lebih baik kami menanam sedikit untuk
kebutuhan makan sehari-hari?”
“Uang satu-dua juta bisa bertahan
memberi makan kami berapa lama dibandingkan dengan ubi yang kami tanam untuk
konsumsi keluarga dan sebagian orang kampung. Biarpun bertahun-tahun tidak akan
pernah habis dan bisa terus memberi kami makan”, Mama T melanjutkan ceritanya
pada kami.
Paska-paska itu, Gifar terkenang
dengan kisah Bung S tentang Tokoh Marhaenisme. Bung S pada waktu berjalan dan
tanpa sadar telah memasuki sebuah pedesaan. Di sana Bung S menemukan seorang
petani sibuk dalam mencangkul tanah lahan. Terlihat petani itu dalam
kesengsaraan.
“Siapa pemilik tanah yang kau garap ini,” tanya Bung S.
“Saya punya sendiri juragan,” jawab petani itu.
“Apakah memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”
“Oh, tidak juragan. Saya memilikinya sendiri”
“Apakah kau membeli tanah ini sendiri?”
“Tidak. Ini turun temurun diwariskan dari orang tua kepada
anaknya”
“Bagaimana dengan sekop ini? Walaupun kecil, apa ini punyamu?”
“Ya, gan”
“Dan cangkul itu?”
“Ya, gan”
“Bajak sawah?”
“Milik saya, gan”
“Lalu hasilnya untuk siapa?”
“Untuk saya sendiri, gan”
“Apakah hasilnya cukup untuk
kebutuhanmu?”
“Bagaimana mungkin sawah yang
cukup sempit ini bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan empat anak”
“Apakah kau jual sebagian
hasilnya?”
“Hasilnya hanya cukup untuk kami
makan, tidak untuk kami jual”
“Apakah kau juga mempekerjakan
orang?”
“Tidak, gan. Saya tidak mampu
membayarnya”
“Apakah engkau juga bekerja pada
orang lain?”
“Tidak gan, saya harus membanting
tulang, tetapi jerih payah saya semua untuk saya sendiri”
“Siapa pemilik rumah itu,” tanya
Bung S sambil melihat dan menunjuk ke arah rumah itu.
“Itu rumah saya, gan. Kecil tapi
milik saya sendiri”
Kemudian Bung S mendekam, “Di saat
itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai
semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti ia! Semenjak itu kunamakan
rakyatku Marhaen.”
Dan kemudian Gifar dengan
bahan-bahan bacaan menyadari tentang Marhaenisme dibagi menjadi tiga objek
pembahasan yaitu kaum Marhaen, kaum Marhaenis, dan Ideologi Marhaenisme itu
sendiri. Kaum Marhaen artinya adalah kaum yang tertindas oleh sistem dan kaum
Marhaenis adalah kaum yang memiliki empati, perhatian, dan ingin memperjuangkan
untuk membebaskan kaum Marhaen tersebut. Ideologi Marhaenisme sendiri adalah
Ideologi Pembebasan kaum Marhaen atau Ideologi pembebasan terhadap mereka yang
tertindas oleh sistem.
Posting Komentar
0 Komentar