Perspektif
Perkawinan Antara Demokrasi dan Islam
Perkawinan
Antara Demokrasi dan Islam
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. (Q.S As-Syuura 42: 38)
Ide tulisan ini lahir ketika penulis
mendengar materi yang dipaparkan oleh Bapak Yanuardi Syukur terkait “Mungkinkah
Masyarakat Islam Tercipta di Indonesia (Dalam Alam Demokrasi)?” dan materi dari
Bapak Aji Deni terkait “Demokrasi dalam Pandangan Islam” di Pra Daurah Marhalah
II KAMMI Kota Ternate (1-2 Februari 2014 kemarin). Bahkan judul tulisan ini
diambil dari apa yang dikatakan oleh Bapak Aji Deni, “kita harus mengawinkan
Islam dengan demokrasi”.
Dalam awal materi yang
disampaikan oleh Bapak Aji Deni, beliau
mengutip tentang dua hal terkait Islam dan demokrasi. Pertama menurut
Huntington, Islam tidak relevan dengan demokrasi. Dan kedua menurut pemikir
asal Pakistan mengatakan Islam tidak bertentangan dengan demokrasi.
Pelanjutan dari tulisan ini, penulis
mengutip beberapa pemikiran Fahri Hamzah (yang merupakan Ketua Umum KAMMI
Pertama) dalam bukunya “Negara, Pasar, dan Rakyat”. Wacana Islam dan demokrasi
muncul ketika perdebatan tentang eksistensi Islam dalam tradisi politik
mengemuka. Gagasan demokrasi memasuki ranah tata pemerintahan dunia Islam yang
menghendaki terealisasinya corak demokratis dari sebuah pemerintahan.
Bagi Hefner (dalam Fahri Hamzah, 2010)
menyatakan bahwa membedah wacana Islam dan demokrasi tentu saja tidak bisa
lepas dari panggung pergulatan politik, negara, kekuasaan, dan pemerintahan di
satu sisi, serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam, pada
sisi yang lain. Islam yang dimaksudkan bukanlah sebuah basis nilai dan ajaran
yang sama dan tunggal. Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi
para pemeluknya. Justru karena Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari
ekspresi para pemeluknya, maka Islam pun sudah pasti berwajah banyak. Jika
Islam berwajah banyak, maka ekspresi politik Islampun menjadi beragam. Islam
kadang sejalan dengan demokrasi, tapi kadang juga berseberangan. Hefner sendiri
punya keyakinan bahwa jika dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana demokrasi
bukanlah kontruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks masyarakat
Barat, namun juga Islam.
Gagasan demokrasi begitu ideal
sebagai tipikal hidup berbangsa dan bernegara. Begitu ideal hingga terkadang
sulit dipraktikkan pada tataran ril. Di satu sisi, demokrasi adalah dilema.
Olehnya itu menurut Rawls (dalam Fahri Hamzah, 2010), menyadari hal ini sulit
untuk diwujudkan di balik ragam kepentingan manusia. Karena itu gagasan demokrasi hendaknya
memiliki landasan rasionalitas, moralitas dan etika yang kuat. Hal yang sama
teringat ketika Bapak Aji Deni kemarin katakan “seberapa besar ketenaran
politikus ketika sholatnya terbengkalai”.
Demokrasi sejalan dengan ide
modernisasi yang menuntut adanya perubahan di segala bidang kehidupan. Tradisi
Islam bukanlah warisan yang kaku yang hanya mempertahankan corak klasiknya.
Demokrasi adalah saran yang baik untuk menggulirkan cita-cita kemasyrakatan
Islam. Demokrasi bisa dipakai untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dan bukan
sebagai tujuan itu sendiri. Secara historis, menurut Robert N Bellah (dalam
Fahri Hamzah, 2010), kontekstualisasi kehidupan masyarakat Madinah di bawah
pimpinan Nabi Muhammad SAW merupakan contoh penerapan demokrasi di alam modern.
Apa yang disebut Bellah terkait dengan konteks muamallah yang dijalankan
Rasulullah yang menekankan pada nilai-nilai keislaman, seperti kemanusiaan dan
keadilan universal yang terwujud dalam kehidupan sosial dan masyarakat yang
tidak hanya dihuni umat Islam.
Eksistensi perkawinan
antara nilai-nilai keislaman dan demokrasi terciptanya masyarakat madani.
Dengan bahasa keIndonesiaannya adalah Masyarakat Sipil. Dalam pemaparan materi
Bapak Yanuardi Syukur menguraikan dengan terciptanya free public sphere (ruang publik yang bebas), demokratisasi, toleransi, pluralisme, terciptanya Keadilan Sosial (Social Justice), terciptanya
partisipasi sosial, tegaknya supremasi hukum.
Menurut Anwar Ibrahim
mendefinisikan masyarakat sipil yang diidentikkan dengan masyarakat madani
adalah masyarakat yang bermoral dan menjamin keseimbangan antara kebebasan
individu dan stabilitas masyarakat. Sistem sosial yang cakap dan seksama serta
pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan
individu menjadi keterdugaan serta ketulusan sebagai sistemnya.
Islam sebagai cita-cita
adalah pemerintahan yang accountable.
Dalam hal ini menjadi hal yang wajar secara esensial bagi sistem
partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada
rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat
Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam
tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu,
khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai
representasif pemimpin dan representasi umat Islam sekaligus.
Pada akhirnya penulis
tetap berasumsi bahwa seorang Muslim harus matang secara spiritual baru
melangkah kepada tataran ideologi. Dan ideologi itu bisa dipakai demokrasi
sebagai pilihan praktis untuk dikawinkan dengan nilai-nilai Islam. Karena bagi
penulis mengutip pemikiran Fahri Hamzah, “Aku tidak percaya negara Agama karena
Agama tidak perlu negara”. Nilai dan peran negara dan pemerintahan dalam Islam bersifat
instrumental, bukan sebagai tujuan itu sendiri. Tujuan hidup umat Islam
bukanlah untuk mendirikan negara, tetapi menuju kepada Allah SWT dan kembali
kepada-Nya. Masalah etis atau prinsip-prinsip hubungan sesama manusia dalam
suatu negara diharapkan dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan, bukan lewat
simbolisasi keagamaan. Inilah yang bagi penulis “matang secara spiritual baru
melangkah kepada tataran ideologi”, dan ketidakpercayaan pada negara Agama.
Akan tetapi nilai-nilai keagamaan harusnya terpatri dalam negara tanpa harus
menamakan negara Agama. Meski tidak secara formal mengadakan pemisahan peran,
namun agama bisa menjadi inspirator bagi aturan-aturan kenegaraan. Wallahu a’lam bishawab. Jazakumullah Khairan
Katsir.
Posting Komentar
0 Komentar