Demokrasi, Orang Muda dan Media Massa


Demokrasi, Orang Muda dan Media Massa
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)

(png tree)




Pembicaraan terkait demokrasi memang akan cenderung untuk berbicara secara general, nasional ataupun global. Karena demokrasi merupakan sistem tatanan negara, bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara.
Alam demokrasi memungkinkan peran dan partisipasi rakyat yang lebih besar dalam lingkup kekuasaan. Kekuasaan adalah amanah berdasarkan kebebasan dan kedaulatan rakyat yang diembankan di atas pundak para pengelola negara.
Tulisan ini adalah bagian dari wacana lanjutan ketika penulis menghadiri agenda “Dialog Politik Orang Muda”. Dengan pembicara Bapak Saiful Ruray, Bapak Husen Alting, Ibu Irene Yusiana Roba Putri, dan Pembanding, Bapak Muhammad Syadri. Dengan Tema “Menimbang Masa Depan Demokrasi di Maluku Utara”. Dan judul tulisan inipun, berkaitan erat sub tema yang waktu itu dibawakan oleh para pembicara.
Dibalik nilai dan cita-cita demokrasi, realisasi kondisi ideal tersebut seringkali membentur kerasnya dinding-dinding kekuasaan. Potensi monopoli disertai fasilitas dan legitimasi kekuatan seringkali dipakai sebagai tameng untuk menepis tujuan mulia demokrasi. Akibatnya, kekuasaan semakin lekat dengan tipikal hegemonik yang sulit untuk dibendung oleh rakyat sekalipun. Tipikal kekuasaan yang hegemonik inilah yang menjadi ancaman bagi terwujudnya pemerintah demokratis. Sebab ia mampu mendikte negara dan masyararakat yang memiliki kepentingan tertentu serta mendistorsi partisipasi menjadi partisipasi yang semu. Secara umum, hegemoni tersebut tidak lepas dari akibat pergulatan berbagai kepentingan yang bernuansa ekonomi dan politik.
Salah satu nilai ideal demokrasi yang mampu membius penganutnya adalah peran dan partisipasi rakyat yang sangat dijunjung tinggi. Kondisi ini memungkinkan otoritarianisme kekuasaan terkikis lewat kewajibannya mempertanggungjawabkan kekuasaan di hadapan rakyat. Lembaga kekuasaan yang diwakili oleh negara bukan lembaga sakral yang tak tersentuh publik. Lembaga tersebut adalah rangkaian dari kerelaan individu dan publik untuk menyerahkan kedaulatan mereka diatur oleh negara, sehingga pada hakikatnya yang memerintah adalah rakyat.
Kondisi inilah tak lepas peran media dan orang muda di dalamnya. Fungsi media dalam komunikasi politik, memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang terjadi, mendidik masyarakat mengenai signifikasi dan arti terhadap fakta yang ada, menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah, membuat publikasi terhadap pemerintah dan intitusi politik. Dimana media berperan sebagai pula pengawasan dalam menciptakan good govermance. Media massa dan sistem politik demokratis, pertama watch, media harus memonitor semua aktivitas dan berani mengungkapkan penyalahgunaan. Kedua, information and debate. Media massa mesti mampu memberikan saluran komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Ketiga voice of the people. Inipun terskema dalam political actor, media, and people.
Kondisi demokrasi sedemikian juga melahirkan para politisi muda yang bebas untuk mengikuti pemilihan legislatif dari berbagai daerah pemilihan baik dalam perwakilan untuk DPRD maupun DPR-RI. Politisi muda ini juga akan menarik perhatian untuk pemilih muda karena mungkin pemilih terbanyak adalah usia muda. Selain kaitannya konteks “orang muda” adalah tak terlepas dengan organisasi kepemudaan yang semakin bebas berekspresi dalam era demokrasi ini. Organisasi kepemudaan juga sebagai tempat pendidikan politik yang banyak melahirkan politisi muda.
Di balik kilasan harapan yang besar, realitas demokrasi seringkali mengandung paradoks pada dirinya sendiri. Terlepas dari kenyataan bahwa proses demokrasi membutuhkan kerelaan yang tulus dan pengorbanan tak sedikit, efek sosial dan politik yang harus diemban dari sebuah proses menuju demokrasi tidak sedikit memunculkan kejenuhan sebagai bagian sejarah panjang otoritarianisme.
Kenyataan itulah yang mengemuka pada saat ini. Seringkali pertanyaan ironis menyapa, dimana demokrasi saat harga-harga kebutuhan pokok yang terkait dengan hajat dasar hidup, sulit terjangkau? Apakah demokrasi yang menghasilkan pemisahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menitip wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif dan ekskutif yang lebih asyik mempersoalkan nasib kepentingan sendiri?
Asumsi lain adalah dalam masyarakat modern, sulit merepresentasikan kehendak masyarakat yang sesungguhnya. Konteksnya dengan mediapun seringkali kehendak tersebut dimanipulasi dan diselewengkan oleh media atau kepentingan kekuasaan. Pertama banyaknya informasi bukan berarti informasi yang lebih baik, kedua teknologi bisa mengurangi makna demokrasi, ketiga technology can serve the powerfull. Akan hal ini maka yang sering dipertanyakan adalah keindependenan media dan keberpihakan media. Dan hal ini adalah realitas di alam transisi demokrasi.
Transisi demokrasi juga erat kaitannya dengan organisasi-organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Organisasi-organisasi ini harus mampu memegang teguh konsistensi ruang gerak mereka dan visi mulianya sehingga tidak mudah terombang-ambing hegemoni kekuasaan. Sebab dari sinilah kita bisa mengukur sejauh mana organisasi tersebut bergerak sebagai wujud partisipasi politik untuk memperkuat dirinya atau sekedar bagian dan mobilisasi kepentingan politik tertentu. Ataupun dengan visi yang mulia ataukah berlandaskan pada kesekuleran (kecintaan pada dunia yang fana).
Gagasan demokrasi begitu ideal sebagai tipikal hidup berbangsa dan bernegara. Begitu ideal hingga terkadang sulit dipraktikkan pada tataran ril. Gagasan itupun seringkali hanya menjadi konsumsi politik demi meraup suara rakyat. Namun di balik itu, nafsu terhadap kekuasaan dan praktik politik yang menempatkan kekuasaan sebagai tujuan, masih sangat kental dibandingkan nilai ideal demokrasi yang memikul tanggung jawab moral pada rakyat.
Menyadari hal ini sulit diwujudkan di balik ragam kepentingan manusia. Karena itu gagasan demokrasi hendaknya memiliki landasan rasionalitas, moralitas, dan etika yang kuat. Konteks moralitas cenderung didefinisikan secara abstrak, maka penulis mencoba mengutip pendapat Hasan Al-Bana “Aku memperhatikan perilaku orang banyak, aku bergaul dengan mereka dan aku melihat berbagai peristiwa. Kemudian aku keluar dari kondisi ini dengan keyakinan yang kuat bahwa kebahagian yang dicari oleh semua manusia berasal dari jiwa dan hati mereka. Kebahagian itu tidak akan datang dari luar hati mereka. Hati yang hidup dan selalu berhubungan dengan Allah adalah sumber kebahagiaan”. Inilah yang penulis anggap sebagai bagian dari moralitas.
Demokrasi bukan sekedar nilai ideal yang berlangsung dalam relung filosofi dan berkutat pada atas kesadaran, namun juga praktik sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Karena itu, demokrasi harus menghasilkan masyarakat politik. Karena demokrasi tidak sekedar dijadikan sebagai cita-cita ideal tapi juga instrumen untuk meraih cita-cita ideal kehidupan bernegara.

Posting Komentar

0 Komentar