Perspektif
Menuju Paradigma Masyarakat Otentik
Menuju Paradigma
Masyarakat Otentik
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
“Dan
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Q.S. Al-Araf :7:96)
Menurut Huntington, Amerika, Uni Eropa,
Rusia, Cina, Jepang, India, Brasil, Afrika Selatan dan negera-negara Islam
seperti Iran, Arab Saudi, juga Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk meredusir
konflik yang terjadi pada peradaban mereka sendiri dan menengahi konflik antar
kelompok yang ada.
Selama beberapa dekade terakhir,
tiga kecenderungan utama telah terjadi di dunia. Pertama, barangkali yang
paling mendasar, perkembangan ekonomi dan globalisasi ekonomi, kedua,
meningkatnya kesadaran identitas etnis, kultural, dan agama, ketiga, terjadi
transisi dari rezim yang otoritarian ke bentuk sistem politik demokrasi pada
banyak negara di seluruh dunia. (Huntington dalam Harefa, 2008).
Pergeseran paradigma yang mengubah
pemahaman mengenai siapakah yang layak disebut pemimpin. Sebab ketika
kepemimpinan tidak lagi dipahami sebagai sebuah kedudukan atau jabatan, tetapi
sebuah pekerjaan, tanggung jawab, serta peran maka orang-orang memegang jabatan
tinggi seperti manajer dan eksekutif puncak di sebuah perusahaan (juga pejabat
negara, presiden, raja) belum tentu layak disebut pemimpin. Sebaliknya,
orang-orang yang tidak memiliki jabatan tetapi melakukan pekerjaan dan
menunjukkan tanggung jawab serta memainkan peran sebagai pemimpin adalah
pemimpin sejati. Dalam pengertian yang terakhir ini dapat mencakup para
seniman, sastrawan, filosof, intelektual, pemuka agama (ulama, ustad, kiai),
atau karyawan biasa yang tidak memiliki bawahan secara formal.
Anis Matta menuliskan pahlawan
bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan
persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke
langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dalam
sunyi yang panjang sampai waktu mereka habis.
Mereka tidak harus dicatat dalam
buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan
kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang
berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi
orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja jadi sebuah gunung,
karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.
Beberapa pernyataan ini penulis
tuliskan sebagai gambaran peralihan paradigma untuk menuju masyarakat otentik. Perlunya
kesadaran identitas etnis, kultural, dan agama dalam masyarakat serta terjadi
pergeseran paradigma mengenai kepemimpinan yang lebih didefenisikan sebagai
orang biasa yang melakukan pekerjaan besar dengan memaksimalkan seluruh
kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilinganya
dalam sunyi yang panjang hingga waktu mereka usai. Masyarakat otentik bagi
penulis diisi oleh tiga aktor yaitu pembelajar di tingkat dasar, pemimpin di
tingkat menengah, dan manusia guru di tingkat atas (Harefa, 2008).
Manusia sebagai makhluk yang berproses
atau belajar memanusiakan dirinya yang menempatkan dirinya dalam suatu hubungan
dengan yang menciptakannya, Sang Pencipta. Dan masyarakat adalah
kumpulan-kumpulan manusia. Masyarakat otentik merupakan individu-individu yang
terdiri dari pembelajar, pemimpin dan titik akhirnya manusia guru yang merasa
bertanggung jawab kepada Sang Pencipta. “Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku” (Adz-Zariyat: 51: 56).
Pembelajar di tingkat dasar. Bila
seorang anak manusia menolak tugas, tanggung jawab, dan panggilan untuk menjadi
dirinya sendiri, maka ia telah kehilangan fondasi untuk menjadi manusiawi.
Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi
(humanis). Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui
pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat pernah kita lakukan
sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita
dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita
untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan (Peter
Senge dalam Harefa, 2008). Pembelajar menjadi landasan utama dalam masyarakat
otentik dan pembelajar adalah masyarakat atau individu-individu itu sendiri
dalam masyarakat otentik.
Pemimpin di tingkat menengah.
Pemimpin dan kepemimpinan selalu berurusan dengan soal efektivitas, mengurus
manusia, memberdayakan dan memerdekakan potensi orang secara manusiawi. Bila
seorang anak manusia menolak tugas, tanggung jawab dan panggilan untuk menjadi
pemimpin sejati, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih
manusiawi dan menciptakan masyarakat pembelajar. Jelas bahwa pemimpin adalah
landasan kedua dalam proses menuju paradigma masyarakat otentik. Kepemimpinan
adalah pemberdayaan sekelompok orang atau masyarakat agar berhasil mencapai
suatu sasaran bersama. Dalam melakukan hal itu, pemimpin harus menyentuh
seluruh potensi masyarakat.
Manusia guru di tingkat atas. Mereka
ini pada dasarnya adalah segelintir orang yang selalu berusaha mengingatkan
umat manusia dimanapun, kapan pun, dan dari latar belakang yang bagaimanapun,
akan kehidupan yang akan datang. Baik ucapan maupun tindakan mereka
mencerminkan suatu hidup yang nyaris sempurna atau bahkan sempurna dalam arti
sepenuhnya diarahkan oleh hati nurani yang bersih, penalaran yang sehat, dan
kehendak yang tunduk pada hukum-hukum Allah (Tuhan). Tugas dan panggilan tertinggi
seorang anak manusia adalah manusia guru. Ia bertanggung jawab untuk
menciptakan suatu masyarakat pembelajar yang melahirkan pemimpin-pemimpin baru
bagi sebuah bangsa, bagi bangsa-bangsa dan bagi umat manusia di masa depan.
Perjuangan mereka secara langsung maupun tidak, selalu melahirkan dan
menumbuhkembangkan pengharapan masyarakat tentang kemungkinan terciptanya
masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan.
Tentunya kita berharap pemimpin kita
(presiden, gubernur, bupati) adalah pemimpin yang memerdekakan orang untuk
melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan cara yang paling efektif
dan semanusiawi mungkin sehingga tumbuh pengharapan masyarakat tentang
kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan.
Dan kita sebagai rakyat yang menjadi lebih manusiawi dan memperluas kapasitas
untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan.
Akhirnya masyarakat otentik
menempatkan masyarakat yang memiliki rasa tanggung jawab kepada Sang Ilahi yang
didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk
moral-spiritual, makhluk sosial-emosional, makhluk yang berhukum pada
kebenaran, dan makhluk ekonomi-politik. Mengutip taujih Ustad Hilmi Aminuddin,
maka masyarakat otentik adalah masyarakat yang bertanggung jawab kepada
keIslaman (agama), bertanggung jawab kepada dakwah (menyeru kepada kebaikan),
bertanggung jawab kepada nasional, bertanggung jawab kepada Internasional,
bertanggung jawab atas kemanusiaan dengan menempatkan jiwa persatuan, semangat
bermusyawarah, menghargai pluralitas (tetapi bukan pluralisme), bersikap
moderat, semangat hidup berbangsa dan bernegara.
Posting Komentar
0 Komentar