Perspektif
Native Democracy
Native Democracy
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
“Ketika kita
hidup untuk kepentingan pribadi, hidup ini tampak sangat pendek dan kerdil. Ia
bermula saat kita mengerti dan berakhir bersama berakhirnya usia kita yang
terbatas. Tapi apabila kita hidup untuk orang lain, yakni hidup untuk
(memperjuangkan) sebuah fikrah, maka kehidupan ini terasa panjang dan memiliki
makna yang dalam. Ia bermula bersama mulanya kehidupan manusia dan membentang
beberapa masa setelah kita berpisah dengan permukaan bumi” (Sayyid Quthb)
Demokrasi bisa saja terjebak sekedar
pada ajang prosedural dimana masyarakat hanya berkutat pada hiruk-pikuk imbas
kebijakan alam demokrasi, mulai dari terbukanya akses demokrasi langsung lewat
pemilihan umum langsung, ataupun penyebaran dan akses infromasi yang lebih
merata di ruang publik serta sikap kritis lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
menganalisa setiap tindakan-tindakan pemerintah.
Imagine
native democracy,
menempatkan hubungan antara masyarakat, media, negara, partai politik, dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam konteks transisi demokrasi, yang
tergambar dalam realitas masyarakat adalah kepragmatisan masyarakat. Bisa kita
sebut kepragmatisan masyarakat ini terjadi karena kepragmatisan partai politik
dan politisi itu sendiri. Di satu sisi bisa kita katakan pula efek dari
transisi rezim mencampuri di dalamnya.
Kepragmatisan masyarakat ini bisa berupa
berbagai hal bahkan kepada konteks yang menganggap politik tidak mempengaruhi
hal-hal signifikan secara individu, timbulnya keinginan diberi uang untuk
partisipasi dalam politik (mencoblos), apatis dengan politik, dan seterusnya.
Partai politik dan politisi pun
berlaku demikian, tidak adanya fit and
proper test terhadap calon legislatif yang diusung yang merata dari pusat
hingga ke daerah, tidak menunjukkan kualitas kinerja yang baik sebagai nilai
jual, tidak memiliki ideologi yang kental dalam berpolitik yang menjadi jalur
partai politik, mayoritas mengandalkan tokoh bukan platform partai.
Media pula turut mengambil peran didalamnya,
bisa kita lihat dalam beberapa pemberitaan media nasional khususnya media televisi
dalam beberapa waktu yang lalu mempengaruhi elektabiltas partai politik dan
tokoh calon pemimpin kini. Maka disana media memainkan peran pencitraan
terhadap tokoh-tokoh partai. Sehingga muncul tokoh-tokoh yang dicitrakan media
‘secara tidak merata’ itu menghasilkan tokoh-tokoh dengan gaya blusukan,
sederhana, apa adanya, hanya tokoh-tokoh itu yang disorot media menghasilkan
pencitraan, disisi lain segilintir politisi dan pengamat mengatakan tokoh-tokoh
itu tidak punya gagasan tapi elektabilitasnya tinggi. Anehnya disatu sisi yang
lain partainya dengan tokoh seperti ini malah menurut beberapa hasil survei
termasuk dalam beberapa partai terkorup di Indonesia. Inilah kesalahan
mengandalkan tokoh bukan platform partai.
Transisi demokrasi memang cenderung
berkutat kepada “orang brengsek memilih orang brengsek, orang baik memilih
orang brengsek, orang brengsek memilih orang baik, dan orang baik memilih orang
baik”. Pemaknaan ini berlaku umum seperti halnya bisa dianalogikan secara
seorang pemabuk dan seorang ustad. Dalam demokrasi pula suara seorang pemabuk
sama dengan suara seorang ustad.
Akan hal ini imagine native democracy, untuk menjadikan transisi demokrasi hanya
berkutat kepada “orang brengsek memilih orang baik, dan orang baik memilih
orang baik” maka perlu ada peran kaderisasi partai politik, bisa dikatakan
hanya segelintir partai yang memiliki kaderisasi partai terhadap kadernya,
dengan bahasa lain imagine native
democracy seharusnya menghasilkan partai kader.
Hal ini dalam konteks masyarakat maka
masyarakat perlu terbentuknya masyarakat yang berlandaskan pada rasionalitas,
moralitas dan etika yang kuat. Dan menyadari seperti kata-kata Ali bin Abi
Thalib ketika dikritik oleh rakyatnya, “Mengapa kepemimpinanmu tidak sama
dengan kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan. Ali pun
menjawab ketika kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan,
aku adalah bagian dari rakyatnya, dan sekarang aku adalah pemimpinnya dan
kalian adalah rakyatnya”. Ini menunjukkan bahwa pemimpin adalah cerminan dari
rakyatnya. Bila kita adalah rakyat yang memilih pemimpin dan wakil rakyat karena
citra dan kepragmatisan kita maka itulah cerminan pemimpin dan wakil rakyat
kita. Beberapa pengamat berpandangan calon-calon pemimpin dan calon legislatif
miskin narasi dan gagasan, jangan-jangan itulah cerminan kita sebagai rakyat.
Hal ini juga karena menunjukkan sebuah peralihan pada
era reformasi dimana perhatian kita dari politik dan ekonomi kepada masyarakat.
Beralih dari politik sebagai panglima, ekonomi sebagai panglima dan saatnya
menuju masyarakat sebagai panglima.
Pada konteks ini, maka Imagine native democracy merupakan
generasi baru, generasi yang sejak lahir hanya mengenal demokrasi. Native democracy juga adalah entitas
masyarakat yang lahir di
akhir era order baru, dan dibesarkan di era reformasi, mayoritas berkutat
dengan demokrasi, mayoritas usia muda dengan usia produktif (45 tahun
ke bawah), mayoritas orang muda, umumnya hanya kenal satu bendera, yaitu merah
putih saja. Bahkan
pada pemilih pemula adalah mereka yang lahir pada rentang 1992-1997.
Pergulatan mencari sistem tidak pernah
berujung dengan pilihan benar-salah, tetapi akan berhenti sementara pada suatu
titik dimana kita menemukan kesesuaian dan kecocokan. Sistem itu sendiri akan
terus mengalami penyesuaian dan penyempurnaan. Ledakan demokrasi harus menuju
kepada demokrasi substansial. Terutama pada perubahan-perubahan ide-ide dan
nilai-nilai yang kemudian membentuk budaya baru dari masyarakat Indonesia. Hal
ini juga menghasilkan toleransi dalam politik yang merupakan bagian dari
pemahaman kesadaran tentang kemungkinan semua pihak untuk bersaing sesuai
kualitas dan kapasitas individualnya.
Anis Matta mengistilahkan hal ini dengan
bagian dari “Gelombang Ketiga”, walaupun gelombang ketiga itu sendiri lebih
luas dari wacana imagine native democracy.
Model masyarakat baru dalam “Gelombang Ketiga” adalah masyarakat yang religius,
berpengetahuan, dan sejahtera. Agama memberi orientasi dan moral sementara
pengetahuan menjadi pemberdaya. Kesejahteraan merupakan hasil dari pengetahuan
menjadi faktor katalis agar masyarakat makin berkualitas hidupnya termasuk soal
spiritual.
Imagine
native democracy, masyarakat
menjadi aktor utama yang mengimbangi peran negara. Dan membutuhkan pemimpin dan
wakil rakyat yang mengandalkan gagasan, memiliki kemampuan persuasif, dan
kemampuan koordinasi. Dengan menyatukan agama, pengetahuan dan kesejahteraan,
Indonesia diharapkan akan menjadi bangsa yang religius, lebih berpengetahuan, tetapi
sejahtera. Agama akan memberikan basis orientasi dan basis moral, pengetahuan
memberikan basis kompetensi dan basis produktivitas, dan kesejahteraan sebagai cita-cita
Indonesia.
Minimal, masyarakat yang menjadi aktor
utama dan berkata mengutip kata-kata Anis Matta “Tidak! Kaulah pahlawan yang ku rindu itu. Dan beratus jiwa di negeri
sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata:
jadilah pahlawan itu”. Imagine native
democracy, masyarakat jadilah pahlawan itu.
Posting Komentar
0 Komentar