Seks Bebas; Akar HIV Aids, Solusi Konstruktif


Seks Bebas; Akar HIV Aids, Solusi Konstruktif
M. Sadli Umasangaji
(Founder Ruang Gizi – Gizisme)




“…Tidaklah tampak perzinaan pada suatu kaum sehingga mereka berani terang-terangan melakukannya, melainkan akan menyebar di tengah mereka penyakit tha’un dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang telah lalu…” (HR. Ibnu Majah)

            Acquired Immunodeficiency syndrome (Aids) pertama kali dikenal tahun 1981 dan disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada dua dekade selanjutnya, Aids tumbuh menjadi penyebab utama kedua beban penyakit di seluruh dunia dan menjadi penyebab utama kematian di Afrika. Penularan HIV Aids dapat terjadi secara seksual, parenteral (penerima darah atau produk darah, penyalah guna obat suntik). (Mandal, 2006).
Data Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa jumlah orang yang terinfeksi HIV Aids di Indonesia hingga Maret 2013 mencapai 103.759 orang, jumlah pengidap AIDS 43.347 orang, jumlah kematian karena HIV Aids mencapai 8.288 orang. Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan bahwa pengidap HIV Aids tertinggi ada di kelompok usia 20-29 tahun. Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa 71% penularan HIV Aids berasal dari perilaku seks bebas yang terindikasi ODHA (orang dengan HIV Aids), 18,7% berasal dari infeksi jarum suntik narkoba atau bekas ODHA, dan sisanya adalah dari penularan Ibu yang terindikasi HIV Aids kepada bayinya (Soetopo, 2013).
Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda menentukan karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. 01 Desember adalah Hari Memperingati Hari Aids Se-Dunia. Memperingati Hari Aids Se-Dunia adalah salah satu kontekstual untuk perenungan terhadap moralitas. Karena sejauh ini berdasarkan data di atas terkait usia rentan HIV Aids adalah 20-29 tahun dan penularan HIV Aids berasal dari perilaku seks bebas dan menyimpang (seperti heteroseksual dan biseksual yang beresiko). Maka persoalan HIV Aids harus menyentuh persoalan yang lebih mendalam dan hakiki, yaitu persoalan  nilai-nilai kehidupan (morality) dan gaya hidup (life style).
Lifestyle atau gaya hidup diasumsikan sebagai gambaran dari dunia modern atau yang biasa disebut modernitas.  Kajian Michael Foucault pada masyarakat Eropa sebelum abad ke-18 menunjukan bahwa seks diungkapkan tanpa ragu. Perilaku vulgar, jorok, tidak santun, dan sangat bebas. Tetapi waktu Ratu Viktoria (1837-1900) berkuasa di Inggris budaya ini di direpresi dan fenomena ini kemudian menyebar ke wilayah Eropa lain. Insure class menarik masalah seksualitas diposisikan sejajar dengan gaya hidup lain seperti berpakaian, musik, selera makan dan gaya bahasa. Fungsi rekreasi hubungan seksual diangkat kepermukaan disejajarkan dengan fungsi prokreasi, melanjutkan keturunan, bahkan fungsi rekreasi dalam seksual sangat dikedepankan. Golongan sosial yang menjadi bagian insure class adalah remaja sehingga banyak sekali yang menerima sekaligus penyumbang aktif yang meragamkan gaya hidup ini (Mansur, Nur Eda, 2013).
Memperhatikan pola dan gaya hidup pemuda saat ini, sungguh telah berada dalam kualitas moral yang sangat memprihatinkan karena mulai terpengaruh dengan wilayah Eropa seperti yang dijelaskan dari beberapa perkembangan sexual lifestyle di atas. Norma-norma budaya dan agama diabaikan begitu saja sampai batas yang sangat akut, demi sekedar mendapatkan predikat “generasi modern” atau anak gaul. Artinya siapa pun yang terjun dalam dunia pacaran berarti menyiapkan diri terjun ke dunia “seks pranikah” atau ”seks bebas” (Mansur, Nur Eda, 2013).
Kita seharusnya mencoba memandang bahwa HIV Aids bukan hanyalah penyakit medis belaka. Akan tetapi bila kita mengubah paradigma terhadap akar masalahnya maka HIV Aids adalah bagian dari yang disebabkan oleh penyakit masyarakat. Maka perlu dipandang dari berbagai aspek, berupa aspek kesehatan, aspek sosial, aspek budaya, aspek teknologi informasi, aspek pendidikan dan aspek hukum. Maka dalam hal ini penulis mencoba mengurai solusi konstruktif dari sisi preventif, promotif, dan kuratif.
            Tindakan preventif dan promotif. Tindakan ini perlu benar-benar ditopang oleh pemerintah dalam bentuk apapun. Tindakan ini pula harusnya berlangsung dalam rentan waktu yang lama dengan bentuk kesadaran apapun. Pertama, mencoba membentuk sebuah gerakan sosial yang memberikan sosialisasi kepada tatanan masyarakat, dan dimulai pada tatanan masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Keluarga diposisikan sebagai pelopor dalam mencegah HIV Aids.
            Kedua, karena pemuda cenderung dapat menjadi salah satu kelompok rentan dari penyakit ini. Maka perlu dilibatkan peran pemuda dalam hal ini. Dengan membentuk sebuah gerakan sosial yang bernama Pemuda Peduli HIV Aids. Dalam hal ini pula dapat melibatkan berbagai peran Organisasi Kepemudaan untuk menjadi salah satu pelopor dalam mencegah HIV Aids dengan segala pembinaannya.
            Ketiga, dari sisi aspek teknologi informasi. Perlu ada iklan sebagai bentuk sosialisasi dan adanya keterbukaan penderita terhadap keadaannya serta memberanikan diri untuk melaporkan terhadap dinas terkait, komisi terkait, dan ataupun kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaungi masalah ini. Iklan juga harus dioptimalkan sebagai bentuk anti diskriminasi terhadap penderita HIV Aids.
            Keempat, dari aspek budaya, perlu adanya pengembalian kearifan lokal. Penanaman kembali nilai-nilai budaya yang melahirkan rasa malu terhadap perbuatan penyakit masyarakat. Era kekinian yang terjadi adalah degradasi budaya malu sehingga penyakit masyarakat ini menjadi hal yang biasa bagi pelaku bukan lagi hal yang tabu. Kebudayaan seharusnya menciptakan orang-orang yang lebih berbudaya.
            Kelima, aspek sosial, perlu adanya sebuah penanaman sanksi sosial terhadap pelakunya sebagai bentuk efek jera dan penguatan peningkatan nilai-nilai kebudayaan yang lebih berbudaya. Keenam, penguatan serta pengevaluasian terhadap peraturan daerah (perda) terkait ini. Pemerintah berperan penting dalam hal ini sebagai penguatan terhadap aspek-aspek lainnya.
            Tindakan kuratif. Tindakan ini harus bersifat masif, sistematis, dan memerlukan rentan waktu yang cukup lama. Kita pahami dan menyadari bahwa HIV Aids sulit untuk didata dan bersifat seperti gunung es. Olehnya itu perlu adanya penguatan pendataan terhadap penderita HIV Aids. Dengan membuat surveilans yang lebih masif. Setelahnya perlu adanya jaminan yang menjamin keterbukaan penderita baik melalui iklan atau sosialisasi yang bersifat grass root sehingga tidak ada perasaan diskriminasi dari penderita.
            Kemudian berlanjut ke tindakan penanganan penyakitnya perlu adanya jaminan pengobatan terhadap kesehatan penderita baik dari sisi obatnya, dietnya, dan segalanya terkait pengobatan. Setahu penulis bahwa sudah ada jaminan pengobatan terhadap penderita dari Kementerian Kesehatan (Era Ibu Nafsiah Mboi). Tapi pertanyaannya adalah apakah ini bisa masif hingga ke daerah-daerah dan dinas kesehatan di daerah. Penulis juga mendengar telah ada jaminan pekerjaan (untuk tidak diskriminasi) terhadap penderita dari Kementerian Ketenagakerjaan (Era Muhaimin Iskandar). Penguatan jaminan dari pemerintah terhadap penderita yang akan menjadi salah satu solusi kuratifnya.
            Akhirnya kalau semua hal di atas ini telah dicanangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah maka langkah berikutnya adalah tetap penguatan surveilans, pengevaluasian terhadap semua yang dicanangkan, dan pengevaluasian terhadap keoptimalan kerja-kerjanya. Terakhir mengutip apa yang disampaikan oleh Dr. Anis Byarwati, M.Si, “Tidak ada hal yang instan untuk mengatasi sebuah persoalan besar, perlu proses dan kerja keras. Ayo keluarga Indonesia, bentengi diri dari narkoba dan HIV/AIDS, sayangi keluarga Anda, berikan segenap cinta untuk mereka. Dari keluarga kuat akan lahir masyarakat kuat yang tak mudah diserang godaan dan guncangan, karena keluarga adalah batu bata pembentukan masyarakat”.

Posting Komentar

0 Komentar