Radikalisme; Pemikiran, Fisik atau Pemanfaatan?



Radikalisme; Pemikiran, Fisik atau Pemanfaatan?
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)









            Akhir-akhir ini kata radikalisme marak dibicarakan. Begitu pula dengan terorisme. Terorisme  dianggap sebagai kejahatan  terhadap  kemanusiaan  dan  peradaban  serta merupakan  salah satu  ancaman  serius terhadap  kedaulatan  Negara. Selain itu  terorisme  juga dianggap sebagai  kejahatan  yang  bersifat  internasional  yang menimbulkan  bahaya  terhadap  keamanan,  perdamaian,  dan  merugikan kesejahteraan  masyarakat.
            Di lain sisi terkadang, radikalisme diidentikkan dengan masalah terorisme. Dalam konteks ini akhirnya tuduhan pelaku teror kepada seseorang sering ditujukan kepada mereka yang dianggap radikal. Padahal, secara konseptual hal tersebut masih berada dalam perdebatan (Umar, 2010). Radikal  adalah (sesuatu)  yang  bersifat  mendasar atau  ‘hingga  ke  akar-akarnya’. Predikat  ini  bisa  dikenakan  pada pemikiran  atau  paham  tertentu, sehingga  muncul  istilah  ‘pemikiran yang radikal’ dan bisa pula ‘gerakan’. Berdasarkan itu, radikalisme  diartikan  dengan  paham  atau aliran keras yang menginginkan perubahan atau  pembaruan sosial  dan  politik dengan cara keras atau drastis dan sikap ekstrem suatu aliran politik. Radikalisme  agama  berarti tindakan-tindakan  ekstrim  yang dilakukan  oleh  seseorang  atau sekelompok orang yang cenderung menimbulkan  kekerasan  dengan mengatasnamakan agama (Damyanti, 2003).
            Secara  garis  besar  gerakan  radikalisme  disebabkan  oleh faktor ideologi dan faktor non-ideologi seperti ekonomi, dendam, sakit hati, ketidakpercayaan dan lain sebagainya. Faktor ideologi sangat  sulit  diberantas  dalam  jangka  pendek  dan  memerlukan perencanaan  yang  matang  karena  berkaitan  dengan  keyakinan yang sudah dipegang dan emosi keagamaan yang kuat. Faktor ini hanya bisa diberantas permanen melalui pintu masuk pendidikan (soft  treatment)  dengan  cara  melakukan  deradikalisasi  secara evolutif yang melibatkan semua elemen. Pendekatan keamanan (security  treatment)  hanya  bisa  dilakukan  sementara  untuk mencegah  dampak  serius  yang  ditimbulkan  sesaat.  Sementara faktor kedua lebih mudah untuk diatasi, suatu contoh radikalisme yang disebabkan oleh faktor kemiskinan cara mengatasinya adalah dengan membuat mereka hidup lebih layak dan sejahtera (Saifudin, 2011)

Kekuatan atau Pemikiran
Proses manusia menerapkan nilai-nilai agama di dalam ruang dan waktunya bukan proses yang sekali jadi, melainkan membutuhkan waktu yang panjang. Pertama-tama dibutuhkan waktu untuk memahami konten panduan tersebut secara benar dan setelah memahaminya dibutuhkan pula waktu untuk memahami cara mengimplementasikannya sesuai dengan ruang dan waktu. Selanjutnya, pada saat pengimplementasiannya, dibutuhkan juga pemahaman tentang realitas ketika konten itu diterapkan dan setelah dipahami realitas pada saat melaksanakannya, mungkin ditemui fakta baru tentang keterbatasan-keterbatasan sebagai manusia. Di saat itulah disadari bahwa mungkin ada pemahaman yang salah tentang konten panduan tersebut, atau bisa juga benar cara memahaminya tetapi salah cara menerapkannya. Atau boleh jadi benar cara memahaminya dan benar juga cara mengimplementasikannya, tetapi konteks ruang dan waktunya tidak sesuai (Matta, 2014).
Imam Hasan Al-Banna menuliskan bahwa peringkat pertama kekuatan adalah kekuatan akidah dan iman, kemudian kesatuan dan persaudaraan, lalu kekuatan fisik dan senjata. Sebuah jamaah tidak bisa dikatakan kuat sebelum memiliki cakupan dari seluruh kekuatan tersebut. Manakala sebuah jamaah mempergunakan kekuatan fisik dan senjata, padahal ikatannya masih berserakan, sistemnya masih kacau, akidahnya masih lemah, dan cahayanya imannya padam, maka kesudahan akhirnya adalah kehancuran dan kebinasaan.
Syekh Said Hawwa (2014) menuliskan oleh karena itu ketika membicarakan tentang sarana, Imam Hasan Al-Banna berkata, kekuatan bukan satu-satunya sarana. Dakwah yang benar sesungguhnya berbicara kepada ruh, berbisik kepada hati, dan mengetuk pintu jiwa yang terkunci. Adalah mustahil ia tertanam dengan tongkat atau tercapai tujuannya dengan ketajaman kata-kata dan tombak. Akan tetapi sarana yang dipergunakan untuk memantapkan setiap dakwah dan mengokohkan diketahui oleh mereka yang cermat memahami sejarah. Ringkasnya ada dalam dua kata: iman dan amal, kasih sayang dan persaudaraan.
Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat dibandingkan kata fundamentalisme karena fundamentalime sendiri memiliki makna yang banyak penafsiran. Mengingat juga banyak kelompok Islam yang menyatakan bahwa tindakan terorisme bukan bagian dari Islam. Karena Islam mengajarkan tentang perlindungan hak, jiwa, kehormatan rakyat serta keamanan dan kedamaian hidup. Dengan  demikian,  fundamentalisme  dapat diartikan  sebagai   paham  yang  berusaha   memperjuangkan  atau menerapkan apa yang dianggap mendasar.

Radikal atau Dibaliknya Pemanfaatan
Bisakah kita menyebut tindakan-tindakan entah karena faktor konflik etnis, atau konflik agama, atau persoalan ekonomi, politik, aturan negara, ideologi atau diskriminasi lain sebagai tindakan teror dan perbuatan radikal? Semisal tindakan konflik yang terjadi di Rohingya, Uighur (China), tindakan kekejaman Israel kepada Palestina, konflik Suriah, dan lain termasuk juga ISIS.
Terlalu rumit memang. Pertama, bisa jadi ada kelompok tertentu (‘garis keras’) yang ikhlas namun buta. Kedua, dimanfaatkan oleh kelompok tertentu yang memiliki kekuatan dan kepentingan serta kekuasaan untuk kepentingan tertentu. Jadi semuanya punya benang untuk memiliki relevansi.
        Atau hal lain semisal pengalihan isu. Atau sebaliknya pemanfaatan yang kekerasan yang diciptakan sebagai penciptaan citra. Mengingat banyak sekali faktor yang bermain di balik itu semua. Pernahkah kita mendengar tentang seorang kelompok ‘garis keras’ yang tiba-tiba didanai oleh politisi negeri, atau sebagaimana cerita tentang tiba-tiba mereka mendapatkan senjata secara tiba-tiba. Kemungkinan ini bisa adanya. Entah benar atau salah. Atau semacam rekayasa atau konspirasi yang secara sengaja diciptakan untuk konfilk yang mengerucutkan kepada salah satu kelompok yang lain. Entah agama atau lainnya.
            Mengingat pula terjadi revisi undang-undang dengan berbagai poin yang ada. Ada tujuh poin penting yang direvisi. Pertama, jangka waktu penahanan ditambah enam bulan menjadi sepuluh bulan. Kedua, penuntutan dan pengusutan terorisme tak hanya kepada korporasi. Ketiga, perluasaan tindak pidana terorisme. Keempat, pencaputan paspor bagi warga negara atau organisasi-organisasi yang melakukan teror. Kelima, pengawasan terhadap pelaku teror selama enam bulan. Keenam, program deradikalisasi untuk memberantas terorisme untuk menetralisir paham radikal. Ketujuh, rehabilitasi yang bersifat holistik dan komprehensif bagi narapidana teroris.
            Bisakah nanti segala sesuatu akan dikerucutkan kepada suatu kelompok entah sebagai tindakan praduga? Semisal berbagai kelompok beraliran agama yang terkesan ‘radikal’ dalam pemikiran. Atau kegiatan yang ternyata ‘dianggap’ sebagai perbuatan teror padahal sebetulnya bukan.
            Yang menjadi tantangan bersama adalah perbuatan kekerasan yang harus ditantang. Bahwa setiap tindakan teror merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Atau sebaliknya mungkinkah kekerasan ternyata diciptakan untuk tatanan dunia baru? Seluruh agama yang ada tidak ada satu pun yang mengajarkan soal terorisme. Dan Islam pun memang tidak kenal dengan terorisme serta mengutuk kekerasan. Dan bisa jadi pemuda-pemuda masjid menggerakkan pemuda lain untuk bersama-sama mencegah aksi terorisme dan kekerasan. Wallahu’alam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar