Bumi Manusia


Bumi Manusia

Judul                           : Bumi Manusia
Penulis                        : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                      : Lentera Dipantara
Tahun                         : Januari, 2011
Cetakan                      : 17
Pembuat Resensi      : M. Sadli Umasangaji






            Dalam novel ini bercerita tentang Minke, seorang anak muda Jawa yang rasional, karena terpelajarnya menolak adat yang tak berlogika. Minke menyukai sesuatu yang bergerak pada modernisasi. Tapi tentu Minke adalah seorang Pribumi yang bergelar Raden Mas karena ayahnya yang sebagai Bupati B. Minke juga seorang pelajar HBS. Gaya penulisan novel ini lebih mirip dengan penulisan catatan harian. Dan novel ini memang adaptasi dari catatan harian.
            “Aku lebih mempercayai ilmu pengetahuan, akal. Setidak-tidaknya padanya ada kepastian-kepastian yang bisa dipegang”. Tanda rasional Minke terhadap jaman modern waktu itu dan pada ilmu pengetahuan. Minke kemudian mengenal Annelies dan Nyai Ontosoroh. Melalui Robbert Suurhorf yang mengajaknya ke Boerderij Buitenzorg. Annelies Mellema seorang Indo yang lebih senang menjadi seperti Pribumi, seperti ibunya Nyai Ontosoroh. Berbeda dengan Robert Mellema yang Indo bergaya Eropa. Sedangkan Nyai Ontosoroh adalah Pribumi yang mampu menempatkan diri seperti terpelajar Eropa.
            Dalam sebuah percakapan antara Nyai (Mama) dengan Minke, kemudian Nyai berkata pelan: “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya”. Sebuah kalimat yang selalu ku tempatkan sebagai mottoku. Sebuah kalimat dari Nyai Ontosoroh pada Minke yang menjelaskan tentang akvititas berdagangnya.
            Ada tokoh juga di dalam novel ini, Jean Marrais, seorang pelukis yang berteman dengan Minke. Dalam kunjungan Minke ke Boerderij Buitenzorg. Tentang pendapat umu terhadap keluarga nyai-nyai dan khususnya pada keluarga Nyai Ontosoroh. Jean Marrais, memberikan pandangan pada Minke, “Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke, seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.
            “Kau pemuda terpelajar. Sepatutnya mulai belajar mengerti”, kata Jean Marrais.
            Sejak itu, Minke semakin dekat dengan keluarga Nyai Ontosoroh dan dekat juga dengan Annelies. Sehingga Minke pun berlaku sebagai pencatat. “Aku akan pelajari keluarga aneh dan seram ini. Dan bakal ku tulis”, kata Minke.
            Dan Nyai juga berkata pada Minke, “Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat difahami daripada sang Manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap hari bertambah saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang ini. Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kiranya katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana, biar penglihatannya begitu sederhana, biar penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput”. Kenangan Nyai Ontosoroh pada masa lampaunya kemudian pernikahannya dengan Tuan Mellema.
            Dalam novel ini ada juga Darsam, pelayan setia Nyai Ontosoroh, Madura, dan penjaga dengan golok. Dan Bunda, ibunya Minke, Jawa tulen, bunda yang selalu mengkhawatirkan Minke dengan kasih sayang dan lemah lembut dalam Jawanya. Minke terlalu dan akan selalu lugu di depan bunda.
            Tapi Minke dengan keinginan sebagai manusia bebas tetap teguh, “Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak perintah, tidak memerintah, Bunda”.
            Kemudian di pertengahan novel ada juga Keluarga Tuan Assiten Residen Herbert de la Croix, seorang liberalis, kalau dapat dikata demikian. Dengan anaknya Sarah dan Mirriam. Yang kemudian mengenalkan tentang assosiasi. Dan Mirriam yang menjadi teman korespodensinya Minke.
            Kemudian Minke yang menikahi Annelies.Dan permasalahan Robert Mallema dan menguaknya masalah-masalah lain. Yang di depan hukum, Pribumi tak dianggap, dan tak berkeadilan sebagaimana hukum untuk Eropa (Belanda).
            Ada juga Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda, di HBS. Dan sebuah kata yang kusuka yang dikatakan Magda Peters, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastar, kalian tinggal hewan yang pandai”.
            Magda Peters yang juga seorang liberal. “Dia orang liberal fanatik, berlebih-lebihan. Dia termasuk golongan yang sibuk dengan Hindai untuk Hindia”. “Dia menganggap Hindia sama dengan Nederland. Itu ciri orang liberal fanatik di Hindia ini”.
            Dan Minke semakin rutin menulis di koran Hindia. Dari awal menulis cerpen tentang Nyai Ontosoroh. Hingga berbagai permasalahan yang dihadapi Minke, Annelies dan Nyai Ontosoroh.
            Hindia yang tak boleh memprotes di depan hukum. “”Persoalanya tetap Eropa terhadap pribumi, Minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan Pribumi sambil menyakiti secara sadis.
            Diakhir cerita novel Bumi Manusia, Minke dan Nyai Ontosoroh perlawanan terhadap Pengadilan tentang akan dibawanya Annelies ke Belanda dan pengambil alih harta Tuan Herman Mellema oleh Ir. Maurits Mellema.
            “Kita kalah, Ma”, bisik Minke
            “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”
            Novel ini adalah bentuk realisme sosialis. Perlawanan terhadap ketidakadilan.
           
           

Posting Komentar

0 Komentar