Sang Kiai dan Ideologi Ikhwan



Sang Kiai dan Ideologi Ikhwan
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)

(pngtree)



            Dalam beberapa waktu akhir ini berbagai opini menggambarkan tentang Sang Kiai, ya Gubernur kita, Pemimpin Maluku Utara. Mulai dari masalah birokrasi, pergantian (reshuffle) di tingkat pimpinan birokrasi, gambaran beliau sebagai seorang ulama, dan terlebih masalah hubungan dengan pihak asing.
            Penulis tertarik untuk melihat peran gubernur dari sisi ideologi. Mungkin tak lepas dari pusaran kekuasaan sebagai “turbulensi moral” karena pusaran yang didominasi berbagai kepentingan, antara kepentingan kekuasaan, kepentingan swasta, dan kepentingan publik. Tak tentu tak terlepas pula yang menarik dilihat kepentingan ideologi Sang Kiai. Entah dapat dibenarkan atau tidak.

Dakwah Menegara
            Sebagaimana kita ketahui bahwa Sang Kiai diusung salah satu dari “Partai Dakwah”, Partai Keadilan Sejahtera. Dan Sang Kiai pula adalah salah satu kader terbaik partai itu pula, “teladan dalam partai”. Maka bisa diasumsikan bahwa secara ideologi, Sang Kiai akan bergerak ke arah itu.
            Partai Keadilan Sejahtera adalah Partai Da'wah yang bertujuan mewujudkan masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridlai Allah Subhanahu Wata'ala, dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan tersebut diusahakanlah hal-hal sebagai berikut : Membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk kezaliman,  Membina masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Islami,  Mempersiapkan bangsa Indonesia agar mampu menjawab berbagai problema dan tuntutan masa mendatang, Membangun sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam serta Membangun negara Indonesia baru yang adil, sejahtera dan berwibawa.
            Dalam pandangan PKS, Masyarakat Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara. Pengertian genuin dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang merealisasikan Ukhuwwah Islamiyyah (ikatan keislaman), Ukhuwwah Wathaniyyah (ikatan kebangsaan) dan Ukhuwwah Basyariyyah (ikatan kemanusiaan), dalam bingkai NKRI.
            Tapi dunia politik penuh dengan warna. Tempat orang-orang cerdas (dan juga licik) saling bertarung, berdebat, dan memamerkan “otot-otot” pengetahuan dan ambisi. Dunia politik mempunyai satu sisi yang sangat dinamis dan menjadi semakin dinamis di alam demokrasi: dunia gagasan, dunia ide-ide, dunia wacana.
Ketika kita memasuki dunia politik dan mencoba memikul beban batu dakwah, di hadapan kita terbentang sebua persoalan: seberapa kuat daya tahan ideologi dan mental kita di dunia rumit iitu? Begitulah tulis Anis Matta (2002) dalam Menikmati Demokrasi.
Itulah masalah kita. Kita ingin mengembalikan kekuasaan ke tempat sebenarnya. Tetapi dengan segala realitas, ia menjadi dua kemungkinan yang saling berselisih, kita bisa “membersihkan” atau kita yang “ternodai”.

Paradigma Birokrasi?
            Kesuksesan kontrol kekuasaan atau perilaku sosial dan politik masyarakat tercermin dari kuatnya peran birokrasi. Saat itu, masyarakat tidak mendapat tempat sebagai subjek politik, sebab sumber kekuasaan politik dan kepemimpinan politik ada dalam perangkat negara sendiri dijabat oleh para pejabat birokrasi.
            Dalam pandangan Imam Hasan al-Banna menuliskan beberapa aspek, pertama aspek politik, hukum, dan administrasi serta ekonomi, diantaranya yang penulis mengganggap “relevan dengan realitas”, membangkitkan semangat keislaman di kantor-kantor pemerintah, sehingga seluruh pegawai merasa bertanggung jawab terhadap ajaran agamanya, mengontrol perilaku pribadi para pegawai dan tidak memisahkan antara aspek pribadi dan pekerjaan, menghapus suap dam komisi, serta hanya bertumpu pada kehidupan sesuai dengan hal-hal yang diperbolehkan undang-undang, melindungi masyarakat dan penindasan perusahaan-perusahaan yang monopoli memberlakukan aturan yang ketat dan memberikan manfaat yang logis bagi masyarakat, menggalakan proyek-proyek perekonomian dan memperbanyak jumlahnya, membuka lapangan pekerjaan bagi warga negara yang menganggur dan mengambil alih kekayaan yang dikuasai asing untuk kepentingan nasional, merampingkan pegawai khususnya yang jumlahnya banyak, mencukupkan pada tugas-tugas pokok, dan membagi kerja kepada para pegawai secara adil dan cermat.
            Syaikh DR. Yusuf Qardhawi menuliskan bahwa masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya yang murni, dan tradisinya yang kokoh, sebagaimana mereka membela tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaan agar tidak dirampok, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan.

Dilema atau Refleksi?
            Bisakah orang-orang masjid bermain politik? Bisakah mereka mempertahankan kesalihan di tengah kegalauan moral perpolitikan? Mungkinkah kebersihan moral dan ketaatan kepada Tuhan, sesuatu yang berada di lubuk diri orang seorang, sesuatu yang bisa membentuk pribadi seseorang, menyelesaikan berbagai krisis di dunia birokrasi?
            Beginilah kiranya pandangan Goenawan Mohamad, “Di sebuah negeri yang berulang kali menyaksikan dusta dan patgulipat, memang mudah tumbuh hasrat umum untuk membuat yang moral menjadi politis dan yang politis menjadi moral. Ada keyakinan bahwa jika keteguhan moral dan takwa seseorang disebarluaskan menjadi sebuah mufakat, maka sebuah komunitas akan berubah jadi baik. Tapi benarkah demikian?”. Ungkapan Goenawan Mohamad, bahkan ia melanjutkan “saya tidak yakin”.
            Olehnya itu Sayyid Qutbh (1994) dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam, menuliskan politik pemerintahan berbasis Islam dibangun atas asas, keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dengan rakyat.
            Keadilan penguasa merupakan keadilan mutlak yang tidak akan miring keputusannya karena terpengaruh oleh perasaan cinta maupun benci, yang tidak dapat berubah kaidahnya karena adanya suka dan tidak suka, suatu keadilan yang tidak terpengaruh oleh hubungan kerabat antara berbagai individu dan tidak pula oleh perasaan benci antar suku. Disini setiap individu menikmati keadilan yang sama, tidak ada diskriminasi antara mereka yang muncul karena nasab dan kekayaan, karena uang dan pangkat.
            Terakhir mengutip yang dituliskan Imam Hasan al-Banna, “Terkadang prinsip yang benar dituangkan dengan kalimat multitafsir dan rancu, sehingga terbuka kemungkinan dipermainkan. Disamping itu, sebuah teks yang jelas untuk sebuah prinsip yang benar masih memungkinan diterapkan sesuai dengan hawa nafsu dan syahwat, sehingga hilanglah nilai manfaatnya”.Atau “Jika jiwa manusia lurus dan jernih, maka apa saja yang muncul darinya akan shalih dan indah. Mereka berkata bahwa keadilan itu sesungguhnya bukan terletak pada teks perundang-undangan, akan tetapi terletak pada jiwa sang hakim. Mungkin anda membawa undang-undang yang sempurna dan adil pada seorang hakim yang terkuasai nafsu dan mempunyai tujuan terselubung, maka ia akan menerapkan undang-undang itu secara zhalim; tiada keadilan bersamanya. Atau, mungkin anda membawa undang-undang yang kurang sempurna dan zhalim pada seorang hakim yang mulia, adil dan jauh dari hawa nafsu dan ambisi tertentu, maka ia akan menerapkannya secara mulia dan adil, sehingga dalam keputusan-keputusannya terkandung berbagai kebaikan, kebajikan, rahmat, dan keadilan”. Mungkin sebagai asas dalam birokrasi ideologi.

Posting Komentar

0 Komentar