Perspektif
Kebebasan Jiwa
Kebebasan Jiwa
M. Sadli Umasangaji
(Demisioner PW KAMMI
Maluku Utara 2015-2017)
Dalam suatu
sebab, berita akhir-akhir ini menampilkan dimana beberapa pelarangan terhadap wanita
bercadar di kampus tertentu di Indonesia. Alasan tertentu adalah cadar identik dengan
gerakan radikal. Alasan lain, cadar bukanlah budaya Indonesia. Apakah dengan
demikian kita telah termakan dalam toleransi yang semu?
Bukankah
menurut Nurcholish Madjid menuliskan, berbicara tentang agama memerlukan suatu
sikap esktra hati-hati. Sebab, sekalipun agama merupakan persoalan sosial,
penghayatannya amat bersifat individual. Apa yang dipahami dan −apalagi−
dihayati sebagai agama oleh seseorang amat banyak bergantung pada keseluruhan
latar belakang dan kepribadiannya. Hal itu membuat agama senantiasa memiliki
perbedaan tekanan penghayatan dari satu orang ke orang lain dan membuat agama
menjadi bagian yang amat mendalam dari kepribadian atau privacy seseorang. Maka dari itu, agama senantiasa bersangkutan
dengan efek emosional.
Tiba-tiba
ada sebuah pandangan keagamaan seseorang yang secara individu mencoba
digeneralisir oleh sekelompok orang. Apalagi ini di kampus-kampus yang umum
secara nasional dipandang berbasis agama. Bukankah ini telah menjadi sebuah
eksploitasi dalam berwajah agama? Atau seperti ungkapan Hatta, “Saya kira
Negara tidak mestinya menjadi Negara pengeksploitasi manusia”. Bila Negara
tidak boleh demikian, apalagi kampus? Yang sudah tentu kampus adalah ruang
intelektual bagi yang bernaung didalamnya.
Kebebasan
jiwa mestinya menjadi nilai utama dalam urusan ini. Maka pemaknaan kepada
keadilan yang menyeluruh merupakan keadilan dalam maknanya sebagai sikap yang
fair dan berimbang kepada sesama manusia, melahirkan hal-hal lain yang
merupakan kelanjutan logis-nya. Yang amat penting dalam hal ini ialah adanya
pengakuan yang tulus, bahwa manusia dan pengelompokannya selalu beraneka ragam,
plural atau majemuk. Dengan kata lain, pandangan kemanusiaan yang adil itu
melahirkan kemantapan bagi prinsip pluralisme sosial, yang dijiwai oleh sikap
saling menghargai dalam hubungan antarpribadi dan kelompok anggota masyarakat
itu. Persatuan tidak mungkin terwujud tanpa adanya sikap saling menghargai ini.
(Madjid, 2013).
Bukankah
dengan pelarangan-pelarangan yang bisa jadi sebuah penindasan ini telah
menciderai sebuah gagasan apik dari Abdurrahman Wahid tentang Islamku, Islam
Anda, Islam Kitta?
Sebagaimana
ungkapan Gus Dur, pengembaraannya itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu
pihak pengalaman pribadi (Gus Dur) yang tidak akan pernah dirasakan atau
dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang
mengalami pengembaraan mereka sendiri. Kemudian Gus Dur menuliskan “Pengalaman
pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain”. Dengan
demikian apa yang menjadi landasan seorang melakukan pelarangan terhadap
keber-Islaman seseorang atas pilihan keber-Islamannya sendiri?
Dalam
tulisannya Abdurrahman Wahib, “Dari kenyataan itulah, penulis (Gus Dur) sampai
pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang
khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karena watak perorangan
seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui
orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan
juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh
keindahan semula dari pandangannya sendiri”.
“Dalam
perbedaan pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan
yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin
dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun
kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang
irrasional dapat ditawarkan kepada orang
lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu
diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal iirasional itu
benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata” (Wahid, 2006).
Bukankah
sebagaimana ungkapan Nurcholish Madjid, “Tidak seorangpun manusia berhak mengklaim
suatu kebenaran insasi sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat
tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan.
Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, setiap orang harus
bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan suatu kebenaran dari
orang lain. Dengan demikian, terjadilah proses kemajuan yang terus-menerus dari
kehidupan manusia, sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri, dan sejalan dengan
wataknya yang hanif”
“Oleh
karena itu seharusnya pula seorang Muslim adalah seorang yang paling tidak
bersedia untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran insani sebagai sesuatu yang
mutlak, sehingga menjadi reaksioner, menantang segala perubahan nilai-nilai
(kemanusiaan)”. (Madjid, 2013).
Bukankah
tanggal 08 Maret adalah Hari Wanita International? Mengapa wanita bercadar
harus dikekang oleh segelintir kelompok tertentu? Jangan sampai kita menemukan
sesuatu wacana seperti dalam opini Asghar Ali Enggineer yang terjadi di India
dimana ada yang mengira bahwa wanita Muslim tidak lebih dari binatang ternak
yang tidak boleh menikmati hak-haknya. Jangan sampai wanita-wanita bercadar
tidak diberikan kesempatan haknya di kampus-kampus berbasis agama itu.
Pada
akhirnya saya termenung dalam sebuah gagasan Gus Dur, tentang Islam Kita.
Pandangan seperti ini, tulis Gus Dur,
yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia
dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut,
sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum
muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita”, ini mencakup “Islamku” dan
“Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin
seluruhnya, dimanapun mereka berada. Kesulitan dalam merumuskan pandangan
“Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman
membentuk “Islamku” berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat
sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Disini, terdapat kecenderungan “Islam Kita”
yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala
sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan
tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi.
Posting Komentar
0 Komentar