Orang-Orang Sederhana
Orang-Orang Sederhana - 1 - Perjalanan, Harus Dihadang
Orang-Orang Sederhana
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
(Founder Celoteh Ide)
1
Perjalanan, Harus Dihadang
Embun-embun masih terasa menemani
daun. Langit pagi masih samar-samar menutupi mentari pagi yang keluar memenuhi
tugasnya dari Tuhan untuk menerangi bumi. Memang benarlah firman Tuhan, “Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. Bukankah Tuhan pula telah
menasbihkan bahwa “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan dan
tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya)”.
Seseorang bergerak cepat seakan-akan
waktu telah menyayatnya. Karena waktu adalah ritme kehidupan. Lelaki muda ini
bergegas terselimuti dengan pikiran dalam kenangan-kenangan lampau. Masa lalu
menyelimuti bagai awan di langit.
Lelaki muda ini akan kembali pada
desa kenangan yang telah ia tinggal selama lima tahun lalu, tanpa kembali dalam
senja waktu sedikitpun. Hari ini adalah waktunya ia kembali. Jarak tempuh
menuju desa itu ia lalui jalur darat, ia tempuh naik speed boat selama 1 jam,
ditunggunya di terminal mobil penumpang untuk ke desa W, desa kelahirannya,
tempat tinggal Pak Hamid ayahnya tercinta.
Nama lelaki muda ini adalah Gifar.
Lima tahun yang lalu, ia menempuh pendidikannya dengan penuh duka, tekad dari
orang-orang sederhana. Ia terus terbayang dalam lamunannya. Selama perjalanan
kembali ini. Dalam lamunannya sambil didengarlah lagu Sisir Tanah – Lagu Hidup.
Kita akan selalu butuh tanah
Kita akan selalu butuh air
Kita akan selalu butuh udara
Jadi teruslah merawat
Jika kau masih cinta kawan dan
saudara
Jika kau masih cinta kampung
halamanmu
Jika kau cinta jiwa raga yang
merdeka
Tetap saling melindungi
Dan harus berani, harus berani
Jika orang-orang serakah datang
Harus dihadang
Harus berani, harus berani
Jika orang-orang itu menyakiti
Harus bersatu menghadapi
Sedihmu adalah sedihku juga
Sakitmu sakitku sakit kita manusia
Bahagiaku takkan lengkap tanpa bahagiamu
Bahagiakanlah kehidupan
Lamunan ini dan lagu itu membawa
pada cerita kawannya sesama aktivis pergerakan dulu semasa mahasiswa. Ismu
namanya. Berasal dari desa B. Desa yang menjadi taman surga tambang di
kabupaten mereka tinggal.
Teringat saat pertama berkenalan.
“Ismu”, katanya. Gifar tersenyum dan berkata “Gifar”. Saling berjabat tanganlah
mereka.
“Desa W, Kabupaten HT”, Gifar
menjelaskan negeri kelahirannya. Begitu mereka biasa berkata, kabupaten dengan
sebutan negeri. Mereka pertama kali menginjakkan kaki di Jazirah al-Mulk.
“Wah, saya juga dari Kabupaten HT,
Desa B”, Ismu berujar.
Beberapa tahun setelah bergabung
dalam sebuah gerakan mahasiswa, mereka mengobrol tentang realitas taman surga
para penambang serakah. Dan ini sering menjadi cerita gerakan perlawanan bagi
kawan-kawan seperjuangan mereka lain. Terutama terkait isu-isu kapitalisme
perusahan tambang.
Ismu memulai, “Saya lahir dan
dibesarkan di desa B, Kecamatan M, Kabupaten HT. Tempat bermacam-macam
perusahaan tambang mendaratkan ekskavator dan bulldozer. Dicukur habislah
pulau-pulau kecil kami. Gunung dan tanjung yang ada disini tak terelakkan
pula”.
Disela itu Gifar merasakan hal yang
sama dengan apa yang Ismu sampaikan. Ayahnya Pak Hamid banyak sekali bercerita
tentang cerita yang sama di desanya, dan ketika beranjak remaja ia mulai
sedikit menyaksikan dan merasakan hal-hal yang demikian. Rasa yang demikian itu
tumbuh dalam orang-orang sederhana ini.
“Saya tak bisa menarik diri dari
keterlibatan emosional dengan krisis sosial-ekologi di desa saya”
Ismu kembali menjelaskan apa yang ia
rasakan dan alami, “Posisi kami bisa bersifat ganda, sebagai korban dan
terpaksa terjun sebagai ‘pelaku’. Yang kemudian mereka menyebutkan apa yang
mereka lakukan sebagai upaya pembangunan. Pemajuan ekonomi masyarakat desa.
Seiring berjalannya waktu, semua akar persoalan tak henti-hentinya melilit
kebebasan kami. Saya dengan iba mulai tak sudi pada kata pembangunan”.
“Nasib kami disini mirip budak yang
terjajah. Kemerdekaan yang fana itu melilit kami bagai tak ada jeda dalam
jeritan leher kami sebagai tanda bahwa kami boleh bernapas lega. Ruang hidup
kami dicukur habis, direnggut, tanah kami dipindahkan ke tempat lain, tak kami
sebut dicuri karena itu terlalu kasar, dan air kami tercemar”.
Gifar
masih dalam lamunannya. Lagu berganti, Bebal – Sisir Tanah.
Ada, tak ada manusia mestinya
Pohon-pohon itu tetap tumbuh
Ada tak ada manusia mestinya
Terumbu karang itu tetap utuh
Lamunan
pada diskusi dengan Ismu terbawa dengan suasana dari lagu-lagu yang ia dengar.
“Lebih dari itu, perlahan-lahan
sejarah akan tergilas oleh penanda-penanda baru yang tak kami kenal
sebelumnya”, Ismu menghela nafas dalam-dalam.
Kemudian Gifar dalam diskusi itu
berkata, “Dengan alasan kabupaten baru, ruang investasi harus dibuka. Muncullah
wajah-wajah serakah dengan seribu dalih ekonomi”
“Setelah pulau kecil di depan desa B
ditangani perusahaan serakah bermerek nasional yang khusus merambah tambang
(nikel) bercokol disana. Yang dikerjakan sebuah perusahan lain. Tak butuh waktu
lama berdatanganlah pula rupa macam-macam perusahaan tambang”
“Perubahan sosial terbentuk dengan
sendirinya pada masyarakat desa. Mereka menyusuri hutan, gunung, dan tanjung
dengan kelompok-kelompok kecil. Tujuan sederhana dalam watak kapitalis kecil;
mengkapling tanah”.
“Ratusan bahkan miliaran rupiah
menjadi impian dari perubahan watak ini. Setelah perusahaan-perusahaan tambang
membayar lahan mereka itu maka uang berlembar-lembar terkantongi dalam
saku-saku kapitalis kecil yang diterima dari serakah kapitalis besar.
Beralihlah kepemilikan hutan dan kebun ke tangan kapitalis besar”.
“Tak sungkan-sungkan, pemerintahan
yang baru mekar ini memberi kuasa penambangan dalam jumlah besar. Dengan area
yang luas itu, gunung yang kokoh di pesisir B hingga penghabisan kecamatan M,
kini menjadi area tambang”.
“Bukan hanya gunung, dan hutan.
Pulau-pulau kecil dialihfungsikan menjadi tempat pengambilan hasil tambang.
Pinggiran-pinggiran pantai, menjadi ramai dengan warga-warga dadakan hasil
dibuka besar-besaran untuk pekerja tambang. Maka beberapa puluh kapal akan
menyertai pinggiran pantai itu pula, untuk diekspor. Berjejerlah itu kapal di
laut teduh Desa MP”.
Ismu dengan mengigit bibir, “Bila
malam teluk kecil desa MP ini bak kota mengapung”.
“Pulau dilanda watak kapitalisme
baru dalam keindahan palsu”
Ismu menghela napasnya sejenak dan
kembali melanjutkan.
“Kampanye pembebasan lahan dengan
iming-iming ganti rugi lahan membuat daya tarik seperti magnet yang kuat. Para
petani kelapa, para nelayan termakan iming-iming itu. Ditinggalkanlah mata
pencaharian mereka. Desa MP sebelum adanya perusahaan tambang, bisa dikatakan
sebagai lumbung ikan terutama ikan teri”.
“Ditambah lagi diberikannya harapan
bahwa akan dibuka lapangan kerja dengan delapan puluh persen orang asli
Kabupaten H dan dua puluh persen dari luar kabupaten”, Ismu melanjutkan.
Dipandangnya kawan-kawan dalam
diskusi itu, “Dan semuanya fana. Sirna! Semua janji-jani kesejahteraan dan
jaminan pekerjaan tak menjadi nyata, masih ada tangan-tangan kuasa yang bermain
didalamnya. Penuh keserakahan”.
Ismu mengenang, ketika itu, ia
melanjutkan, “Sebenarnya ada seseorang yang dengan keras mengajak para warga
lain untuk menolak”. Suara-suara napasnya terdengar, “Hanya saja, kami tidak
terlalu menanggapi serius, ditambah sebagian warga terbuai dan terus
mengkapling tanah untuk barter dengan uang milyaran”.
“Saya berusaha memungut cerita
tentang datangnya perusahaan Tambang ini, di desa B Kecamatan M. Kini telah
dibangun Pabrik FN, Perusahaan Nasional A. Dengan itu, saya yakin betul bahwa
alam pikiran warga desa telah dijangkit racun tanah merah dengan mantra
kemajuan yang mereka baca”
“Orang-orang tambang ini bukan hanya
melakukan pengeboran tanah. Ketika interaksi dengan masyarakat telah dekat dengan
warga desa. Memang pemuda-pemuda desa dibuai dengan iming-iming pekerjaan.
Menjadi donatur segala macam acara. Terlebih-lebih ada segelintir yang nakal,
dibuatlah pesta-pesta kampung. Diberikan angan-angan bahwa desa bisa jadi
seperti di kota, jembatan layang, mall, tempat hiburan malam”, Ismu berhenti
sebentar. Begitulah yang kami dengar.
Sebagian
dari mereka baru tersadar bahwa kini justru mereka mulai terpisah dengan
kehidupan semula. Tanah, air, udara mulai berjarak dengan mereka. Hutan dan
sebagian kebun jadi lahan tambang. Perairan yang dulu biru bening kini kuning
kecoklatan. Nelayan ikan teri yang masih melakukan aktivitasnya kadang menjadi
mengeluh. Sebelum ada perusahaan tambang, bisa mencapai hasil beberapa ton ikan
teri, sekarang tinggal beberapa kilogram saja.
Warga telah terbuai dengan untaian
indah sebuah kata; pembangunan. Kerusakan lingkungan yang terlihat tak juga
menyentil masyarakat sebagai penghuni tanah dan pemilik air. Ruang hidup
tercerabut dari tangan mereka sendiri. Sebelumnya mereka bisa bertahan hidup
dengan sector riil walaupun pemerintah minim pemberdayaan akan itu. Sementara
itu logika pertumbuhan ekonomi yang dikerjakan perusahaan nasional ini, maka
perusahaan memeras habis-habisan tenaga, keahlian dan waktu para pekerja tambang.
Karyawan pada akhirnya lebih memilih kerja daripada ibadah.
Gifar tersenyum kecut, mengenang
kata Ismu tentang kabupaten yang tempat mereka dilahirkan ini, “Selamat datang
di negeri dengan investasi triliunan rupiah yang krisis air bersih, listirk,
jaringan komunikasi dan kebudayaan”. Ia tertawa sendiri. Pikirannya melayang
pada Lagu Hidup – Sisir Tanah;
Kita akan selalu butuh tanah
Kita akan selalu butuh air
Kita akan selalu butuh udara
Sekali lagi, ia tersenyum kecut
sendiri dalam perjalanan di atas mobil yang ia naik ini. Perjalanan sementara
tiba di jalanan Wilayah Kecamatan W, desa yang lebih dikenal dengan sebutan
desa S. Perjalanan menuju kembali tanah kelahirannya.
Posting Komentar
0 Komentar