Sastra Gerakan
Pramoedya
Pramoedya
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide, Penikmat Novel Sosialis)
Bulan Februari adalah bulan
kelahiran Pram. Tepatnya beberapa minggu yang lalu, 6 Februari 1925. Bila nama
Pramoedya yang tersebut apa yang terkenang? Pramoedya Ananta Toer dianggap
sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia.
Pram, begitu dia akrab disapa, telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan
diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Seperti
kata-katanya dalam Bumi Manusia, “Selamanya tentang manusia, kehidupannya bukan
kematiannya. Ya, biarpun yang ditampilkan itu hewan, raksasa atau dewa atau
hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat dipahami daripada sang manusia. Itu
sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap hari bertambah
saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang ini. Suatu kali pernah terbaca olehku
tulisan yang kira-kiranya katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang
kelihatannya begitu sederhana, biar penglihatannya begitu sederhana, biar
penglihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau, perabaan mu lebih
peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis
kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput”. Mengenang
Pram adalah membaca sastra perlawanan.
Pram dan
Sastra Perlawanan
Karya sastra
merupakan cermin dari sebuah
realitas kehidupan sosial masyarakat. sastra menampilkan
gambaran kehidupan, dan kehidupan
itu sendiri adalah suatu
kenyataan sosial. Sebab itulah
sastra bisa mengandung
gagasan yang mungkin dimanfaatkan
untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan
peristiwa sosial tertentu
(Darmono, 2002 dalam Sulton, 2015). Seperti tulis Pram dalam Bumi Manusia, kata
Magda Peters, “Kalian boleh maju dalam
pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa
mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai”.
Paham realisme sosialis telah mengilhami Pram yang
sering kali melahirkan pemikiran yang kritis terhadap apa yang sedang terjadi
saat itu. Semangat terhadap perlawanan sistem kolonialisme dapat dirasakan
dalam karya-karya Pram. Karena dalam novel Pram, bukan hanya sekedar tulisan
fiksi semata. Namun karya-karya Pram juga lahir berdasarkan realitas yang ada.
Istilah Realisme Sosial
pertama kali muncul di Uni Soviet pada awal abad dua puluh dengan pelopornya
adalah Maxim Gorky. Selepas dari penjara (karena menantang pemerintah dalam
peristiwa “Minggu Berdarah”), Maxim Gorky menjadi salah satu pengelola penerbitan
koran Bolsjewik (Hidup Baru) yang langsung di bawah kendali Lenin. Di masa
itulah Lenin melihat bahwa pentingnya kekuatan kultural, terutama sastra, dalam
perjuangan menegakkan sosialisme. Pada saat itulah pula Lenin merumuskan
hubungan antara sastra dan politik: “Kegiatan
sastra harus jadi bagian daripada kepentingan umum kaum proletariat, menjadi
roda dan sekrup kesatuan besar mekanisme sosial-demokratik, yang digerakkan
oleh seluruh barisan depan kelas pekerja yang mempunyai kesadaran politik.
Kegiatan sastra harus menjadi unsur daripada garapan partai gabungan
sosial-demokratik yang terorganisasi dan terencana” (Toer, 2003 dalam
Suyatno, 2011).
Kemudian istilah ini baru diumumkan pada tahun 1934 di
hadapan Kongres I sastrawan Soviet di Moskwa, melalui ucapan Andrei
Zidanov:“Dalam pada itu kenyatan dan watak historik yang konkret dari lukisan
artistik mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan
pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja sastra dan kritik
sastra ini kita namakan metode realisme sosialis”.
Sastra sosialis Indonesia timbul dari orang-orang
Indonesia yang berjiwa sosialisme yang dilahirkan oleh perkembangan masyarakat
itu sendiri yang menderita keadilan sosial, mula-mula naluri bertahan terhadap
kematian yang disebabkan karena kezaliman social, dan kemudian pada ia atau
mereka yang mempunyai kegiatan atau rutin kreasi menyalurkannya ke dalam
cerita-cerita, yang pada pokoknya memperingatkan orang, bahwa kezaliman sosial
yang tengah berlaku tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi, kalau masyarakat
tidak hendak jadi binasa karenanya.
Pemberontak
dalam arti suatu penjungkirbalikan yang utuh. Ia bertindak di bawah (ancaman)
cambuk majikannya. Tiba-tiba ia berbalik dan menghadapi majikannya. Ia
menghadapi apa yang ia kehendaki atau senangi dan apa yang tidak. Tidak setiap
nilai memerlukan pemberontakkan, tetapi setiap tindakan pemberontakan secara
diam-diam meminta suatu nilai. (Camus, Albert, 2016).
Pemikiran Pram tentang realisme sosialis, sebenarnya
punya tujuan satu, yaitu untuk membangun masyarakat yang ideal. Masyarakat
tanpa penindasan, masyarakat yang merdeka. Dalam arti terpenuhinya hak-hak
sebagai manusia, seperti yang diharapkan oleh sosialisme. Yaitu manusia yang
sama rasa sama rata dan karsa (keinginan).
Pandangan sastra Pram
tentang realisme sosialis telah menjadi ketentuan bahwa pengarang harus belajar
dari rakyat. Banyak cara yang harus dan bisa ditempuh, terutama membaurkan diri
ke dalam gerakan massa, mengenal perasaan mereka, mengenal spontanitas dalam
menyatakan perasaan mereka, dan bersama mereka ikut mewujudkan apa yang harus
diharapkan oleh mereka.
Menurut Gramsci (2013), arti kaum
intelektual sebagai sebuah kelas independen yang terpisah dari kategori sosial
adalah sebuah mitos. Semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi kaum
intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara
menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi
sosial. Kaum intelektual dalam makna fungsional terbagi menjadi dua kelompok.
Pada kelompok pertama terdapat kaum intelektual profesional “tradisional”,
ilmuwan dan sebagainya, yang mempunyai posisi dalam celah masyarakat yang
mempunyai aura antarkelas tertentu, tetapi berasal dari hubungan kelas masa
silam dan sekarang serta melingkupi pembentukan berbagai kelas histori. Yang
kedua, terdapat kaum intelektual “organik”, unsur pemikir dan pengorganisasi
dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Kaum intelektual organik ini
dapat dengan mudah dibedakan melalui profesi mereka, yang mungkin menjadi
karakteristik pekerjaan kelas mereka, bukan melalui fungsi mereka dalam
mengarahkan gagasan aspirasi kelas organik mereka.
Akhirnya
membaca karya Pram adalah kenikmatan sendiri tanpa harus memandang stigma sinis
kepada pembacanya sebagai “komunis” atau “kiri”. Karena sejatinya Pram adalah
Maestro Sastra Indonesia. Seperti kata Pram dalam Bumi Manusia, “Kau
terpelajar. Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam
pikiran, apalagi dalam perbuatan”.
Penjara tak menghalangi Pram untuk berhenti berkarya.
Tidak. Tidak sejengkal pun pria tua ini berhenti menulis. Bagi pria tua ini,
menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua
akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar. Kenanglah
katanya dalam Bumi Manusia, “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya
sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri”.
Posting Komentar
0 Komentar