Serpihan Berlabuh

Serial Serpihan Identitas

Serpihan Berlabuh
12








            Pada catatan kali ini, Usamah kembali menatap layar laptopnya. Kembali menggali apa yang akan ia renungkan, akan realitas yang ia lihat, atau mungkin tentang apa yang menjadi angan-angannya.
Partai yang berbasis radikal fundamentalis tujuannya mengubah sistem sebuah negara dengan menggunakan kekuatan atau kekerasan, untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan pada hukum Islam. Partai yang berbasis reformis fundamentalis hampir sama, tujuan akhir mereka adalah membangun sebuah negara berdasarkan hukum Islam. Bedanya, partai ini menerapkan kebijakan-kebijakan yang moderat dan menolak cara kekerasan. Mereka bersedia ikut pemilu untuk menggalang dukungan, dengan target memenangkan pemilu agar bisa melaksanakan agenda tersembunyi mereka. Sementara partai yang berbasis Islam liberal–partai semacam itu agak langka di Timur Tengah–berusaha menerapkan kebebasan beragama dalam lingkungan demokratis yang seluas-luasnya. Berbeda dengan dua katagori di atas, kelompok Islam liberal tujuannya bukan untuk membentuk negara Islam. Kelompok ini justru ingin membentuk sebuah negara berdasarkan konsep sekularisme.
AKP justru sukses "meliberalkan" beberapa kelompok radikal di Turki. Program-program resmi AKP dan ideologinya tidak jauh berbeda dengan platform banyak partai politik di Barat. AKP setia pada ‘demokratisasi’ dan konsep masyarakat sipil, aturan hukum, hak-hak kebebasan yang fundamental, dan kebijakan ekonomi liberal.
Program partai AKP tidak ada yang merujuk pada Islam atau Muslim, dan tak satu pun kebijakan partai yang memiliki wacana keislaman. Bahkan pemimpin partai, Recep Tayyeb Erdogan, yang dikenal dengan latar belakang keislamannya, sejauh ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang mengindikasikan agenda-agenda Islami partainya. Tapi oleh para analis Barat, partai ini tetap dipandang sebagai partai islamis.
Peristiwa kudeta di Turki pada bulan Februari 1997 yang berbuntut pada dibubarkannya Partai Fazilet yang dipimpin oleh tokoh Islamis Necmeddin Erbakan, menjadi cikal bakal lahirnya AKP. Ketika itu, dua tokoh Partai Fazilet, Recep Tayyep Erdogan dan Abdullah Gul menyatakan memisahkan diri dari gerakan Islam yang dipimpin Erbakan dan membentuk AKP pada 14 Agustus 2001.
Banyak spekulasi yang bermunculan atas pemisahan diri kedua tokoh dari partai Erbakan, salah satunya adalah, karena alasan ideologi. AKP memiliki akar yang kuat dalam gerakan-gerakan kelompok Islamis di Turki, termasuk Partai Kesejahteraan yang menjadi pelopor gerakan Islamisme di Turki.
Para pendiri AKP, termasuk ketua partainya, Recep Tayyeb Erdogan yang sekarang menjadi perdana menteri, banyak menimba ilmu dari Partai Kesejahteraan, yang secara eksplisit menyatakan sebagai partai Islam yang bersikap keras terhadap Barat, anti-Semit, antidemokrasi dan anti terhadap elemen-elemen sekularisme.
Erdogan dan teman-temannya belajar dari pengalaman partai tersebut, terutama saat partai dibubarkan, bahwa kelompok Islamis Turki sebaiknya membenahi diri mereka agar sukses. Pada saat yang tepat, Erdogan memciptakan kembali sebuah partai yang lebih pro-Amerika, pro-Uni Eropa, reformis sekaligus kapitalis.
Erdogan adalah murid Prof. Necmettin Erbakan. Erdogan hasil didikan langsung madrasah ‘Mili Gorus’ (sejenis varian lokal ‘Ikhwanul Muslimin’) yang didirikan Erbakan. Seiring pembubaran Partai Fezilet (Juni 2001, oleh Keputusan MK karena dianggap melanggar konstitusi sekuler Turki), keduanya (Erbakan-Erdogan) berpisah jalan karena perbedaan pendekatan politik.
Selaku golongan muda progresif, Erdogan tidak cocok dan mengkritik pendekatan kaku gurunya, Hoca Erbakan, hingga akhirnya Erdogan keluar mendirikan partai baru (AKP), bersama Abdullah Gul, sahabatnya, sementara Hoca (sang guru) mendirikan partai baru, Saadet Partisi.
Sejak itu, sang Hoca marah, tidak mau berkomunikasi dengan Erdogan. Hoca menyebutnya sebagai produk tarbiyah yang gagal. Dalam wawancaranya dengan Sharq Awsat, Erbakan mengatakan Erdogan mengambil semua ide Mili Gorus, kecuali platform politik. “Dia menyukai profit (keuntungan) ketimbang prophet (Nabi)”, sindirnya.
Berpisahnya Erdogan dari Erbakan, lahirnya AKP lepas dari Partai Refah dan Partai Fezilet, tercatat sebagai sebuah pendewasaan gerakan Islamis. Sebuah lompatan yang rasanya perlu ditulis dan dibahas secara khusus, terutama di aspek pengelolaan krisis yang matang dan terukur.
Erdogan, ketika ia melangkah pergi, dikenai sanksi atas sebuah pelanggaran yang tak bisa orang mengerti. Erbakan, dalam banyak kesempatan, menyebut Erdogan sebagai "produk gagal tarbiyah”.
“Dari disebut produk gagal tarbiyah, sindiran pada orientasi profit ketimbang prophet, dari bermula kelihatan sekuler, hingga kemudian terlihat kesan islamisasi”, Usamah merenung.

#

Berbeda dengan itu, berseyamlah kita pada pemikiran Ghannouchi. Ghannouchi menjalani hukuman penjara di negaranya beberapa kali ketika rejim diktator berkuasa, memaksanya menetap di Britain pada tahun 1987. Pada 2011 selepas regim Ben Ali digulingkan di Tunisia dalam satu revolusi yang dipanggil permulaan Arab Spring kerana merebak ke negara Arab lain, An-Nahdha mengambil peranan penting memulihkan demokrasi di Tunisia.
An-Nahdha merupakan partai politik terbesar di Tunisia. Awalnya An-Nahdha adalah parpol Islam yang menyatukan antara politik dan keagamaan. Melalui Muktamar ke-10 pada pertengahan Mei 2016, An-Nahdha mendeklarasikan sebagai partai politik yang terpisah dengan urusan keagamaan.
“Kami menuju perubahan menjadi partai politik dalam rangka memperbaiki hubungan dengan negara dan meninggalkan bidang dakwah”, kata Ghannouchi. Sementara Ketua Dewan Syura An-Nahdha, Fathi Eyadi, menyampaikan keinginan mengubah kemudi partai menjadi partai politik madani berasaskan demokrasi dengan tetap berpegang pada identitas Islam. Menurutnya, itu bukan berarti partai sedang berupaya menghapus keIslamannya dan seolah-olah menjadi sekuler, sebagaimana tudingan sebagian pengamat. Anggota Dewan Syura An-Nahdha lainnya, Zubair Al-Syuhudi, menyampaikan bahwa keputusan atas perubahan An-Nahdha menjadi partai politik sesuai dengan standar Undang-Undang Dasar Tunisia yang melarang partai mengadopsi platform ganda, sebagai partai sekaligus organisasi dakwah.
“Ide tersebut antara lain, menerima demokrasi dan nilai-nilainya sebagai sebagian daripada prinsip-prinsip yang Islami”, begitulah pemikiran Ghannouchi. Kita meninggalkan Islam politik dan memasuki Islam demokratik. Kita adalah demokrat yang tidak lagi mendakwa mewakili Islam politik.
“Hari ini, kita dapat memastikan yang ia tidak akan beralih kepada musim dingin fundamentalis ‘agama’ atau ‘sekular’ tetapi kepada musim semi demokrasi di mana kesemua punyai tempat”. Manakala ruang lingkup agama adalah kepatuhan dan kewajiban, politik adalah lingkungan pemikiran dan ijtihad. Bahwa masyarakat sipil merupakan konsep Islam dan bahwa agama memperkukuhkan masyarakat sipil sementara sekularisme, terutamanya model yang diimpor ke dunia Islam di bawah kedok modernisasi, melemahkannya.
Ghannouchi memperjuangkan ideal kebebasan dan negara madani (Daulah Madaniyyah) yang ditegakkan berasaskan konsensus dan ijtihad. Beliau menekankan prinsip musyawarah dalam pemerintahan. Aspirasi politik yang bersandar pada tradisi pemikiran Islam dan kerangka episemologinya yang menjunjung prinsip keadilan (al-‘adl), persamaan (musawah), perundingan (musyawarah), menjamin kebebasan (al-hurriyyah), dan memartabatkan hak dan kuasa rakyat (Al-sha‘b masdar al-sultah – rakyat sumber kedaulatan).
“Memisahkan agama dari politik. Itu adalah keberlanjutan, bukan sebuah peprisahan. Dalam kongres kami mengadopsi ide sebuah partai sipil jadi kami dapat membedakan antara apa yang suci dalam islam apa yang dapat diinterpretasikan secara bebas. Lahan politik tidaklah suci atau tak dapat berubah. Itu adab, manusia. Bebas untuk ijtihad ataupun pemikiran manusia yang bebas. Lebih dari 90 persen teks-teks islam terbuka untuk diinterpretasikan dan pembahasan. Kami menganggap beberapa teks sebagai tetap atau tak dapat diubah. Banyak muslim yang bingung akan dua jenis teks ini dan menganggap semua teks sebagai suci dan tak tersentuh dan hanya mampu membawa sebuah arti. Teks islam mengenai politik terbuka pada interpretasi, dan inilah bidang dimana kami sekarang bertindak. Kami menganggap diri kami sendiri muslim yang melaksanakan ajarannya. Kami percaya pada islam, bahwa islam datang ke dunia untuk membebaskan umat manusia, dan untuk mendefinisikan manusia bebas”, kata Ghannouchi dalam beberapa wawancara.
Anda harus membedakan antara sebuah institusi politik dengan relijius. Sebagai contoh, masjid tak boleh menjadi sebuah arena konfrontasi antar partai politik. Masjid harus menyatukan umat islam, bukan memecahnya. Kita harus menghindari propaganda politik apapun didalam masjid. Politik mendorong orang-orang untuk berkompetisi, untuk kekayaan, kekuasaan dan ini yang harus kita hindari”
“Ya. Kami akan menghentikan semua aktivitas dakwah didalam partai. Kami harus menjamin bahwa mereka yang mengajak masyarakat kepada islam (dakwah) menyatukan komunitas bukan memecahnya (dalam artian dia harus bukan orang parpol), karena agama adalah masalah persatuan, bukan sebuah alat untuk memecah masyarakat”
Kenapa kami harus bermain politik di masjid? Kami harus melakukan politik secara terbuka di partai. Kami tidak menyesatkan siapapun dengan menggunakan agama untuk alasan politik. Kami harus merespon kebutuhan masyarakat dan tidak menyesatkan mereka dengan emosi agama”
Kami tidak meninggalkan islam. Islam adalah acuan referensi kami. Itu adalah inspirasi, tapi kami tak meminta rakyat untuk memilih kami karena kami lebih relijius dari yang lain. Kami ingin menarik rakyat kepada gerakan kami terlepas dari relijiusitas mereka. Semua rakyat Tunisia dapat bergabung dengan partai kami, jika mereka menerima program kami dan program kami tidak murni berbasis pada agama. Itu berbasis pada pelayanan nyata pada rakyat, solusi nyata untuk memecahkan masalah harian mereka. Untuk menyediakan pendidikan, kesehatan yang layak dan menciptakan pekerjaan.
“Kami berada di tengah. Kami percaya pada sebuah ekonomi sosial untuk merekonsiliasi pasar bebas dengan keadilan sosial. Serupa dengan model Negara-negara Skandinavia”
“Ghannouchi sebagai Muslim Demokrat”, Usamah masih mencari data untuk beberapa catatannya. Kemudian sambil menyandarkan badannya di kursi yang ia duduk.
“An-Nahda adalah Ikhwanul Muslimin di Tunisia menganut haluan Islam demokrasi dan kemudian bertransformasi menjadi demokrasi Islam. Dari Islam Demokrasi menjadi Demokrasi Islam. Sementara Ikhwanul Muslimin di Mesir melalui FJP (Freedom Justice Party) baru memasuki tahap ‘Islam Demokrasi’, dimana menganggap demokrasi sebagai instrumen menuju kekuasaan. Dalam tahap pasca-Islamisme, demokrasi juga tujuan dalam aksiologi”, pikir Usamah.
“Sementara Demokrasi Islam, masyarakat madani berasaskan demokrasi dengan tetap berpegang pada identitas Islam. Menyatakan bahwa demokrasi bersanding lurus, dalam identitas Islam”, Usamah masih melanjutkan catatannya.

#

Pandangan berbeda juga tentu hadir dalam sosok Tariq Ramadhan, adalah seorang filsuf, penulis dan akademisi asal Swiss. Dia adalah cucu dari Imam Syahid Hasan Al Banna, Pendiri Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam yang dianggap punya pengaruh paling luas di dunia Islam. Tariq Ramadan adalah putra dari Said Ramadan dan Wafa Al-Bana, yang merupakan putri sulung dari Hassan al Banna. Masa kecil Tariq dilalui di pengasingan dengan begitu getir dan kesulitan ekonomi. Ayahnya meninggalkan Mesir karena tekanan Nasser pada tahun 1954 menuju Damaskus, lalu ke Lebanon, kemudian ke Eropa. Tadinya sang ayah memilih London, tapi kemudian akhirnya tiba di Swiss (1958) di mana masyarakat Muslimnya masih sangat sedikit.
Tariq merasakan langsung betapa berat tantangan yang dihadapi iman ayahnya di lingkungan Barat. Tiga tahun setelah bermukim di Swiss berdirilah Islamic Center, dibantu pemerintah Arab Saudi. Waktu itu sang ayah berhubungan baik dengan Mohammad Natsir.
Tahun 1970-an ketika Tariq memulai masa remaja, sang ayah mengalami masa yang berat, sendirian dan tak punya uang. Waktu itu Tariq mulai berpikir untuk kembali ke Mesir saja, sampai akhirnya dia berkesempatan pulang ke Mesir. Tujuan utama ke Mesir adalah meletakkan pondasi keislamannya tanpa sekolah formal. Tariq mempercepat masa belajar yang seharusnya 5 tahun jadi 2 tahun. Waktu itu, Tariq punya banyak guru untuk berbagai disiplin ilmu: ‘Ulumul Quran, Tafsir, Hadits, bahasa Arab, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain.
Tariq kembali ke Swiss untuk mempelajari Filsafat dan Sastra Prancis di tingkat Master dan gelar PhD dalam studi Arab dan Islam dari Universitas Jenewa. Ia juga menulis disertasi PhD pada Friedrich Nietzsche, yang berjudul Nietzsche sebagai Sejarawan Filsafat. Tariq kemudian belajar hukum Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kini, Tariq Ramadan adalah seorang Profesor Studi Islam Kontemporer di Universitas Oxford (Oriental Institute, St Antony College) dan juga mengajar di Fakultas Teologi Oxford
Tariq Ramadhan berkata bahwa gerakan Islam untuk bergerak membangun generasi baru yang bercirikan dua hal: iman yang kuat untuk mengarahkan pemikiran yang kritis dan pemikiran yang kritis untuk membangun iman yang kuat.
Ada beberapa wawancara pada Tariq Ramadhan;
Apakah nama kakek Anda berpengaruh pada cara para pemimpin Muslim itu menerima Anda?”
Tentu saya sangat dipengaruhi ayah, ibu, dan kakek saya. Dengan kerendahan hati saya sangat bangga akan hal ini. Saya sangat menghormati ayah dan kakek saya. Khususnya kakek saya, yang telah mengunjungi 17.000 desa dalam kurun waktu 20 tahun. Itu artinya dia tahu benar persoalan rakyat kebanyakan dan dia teladan yang sangat baik bagi saya. Ketika orang-orang bertanya kepadanya, ‘Kenapa Anda tidak menulis buku?’, Kakek saya menjawab, ‘Saya memang tidak menulis buku, tapi saya menulis (membina) rakyat’. Saya mengikutinya”.
Apa perbedaan antara Anda dengan kakek Anda?”
Dia berasal dari tradisi reformis (mujaddid), sebuah tradisi yang usianya sama dengan Islam itu sendiri. Ini tradisi saya. Yang saya lakukan bukan menirunya, melainkan menangkap logika perjalanannya. Banyak orang yang mengaku pengikut Hasan Al-Banna tidak benar-benar menjadi mujaddid, mereka semata-mata menjadi muqallidin mujaddidin (para pentaqlid mujaddid).
Kakek saya menghadapi budaya penjajahan Barat, sedangkan yang sekarang kita hadapi jauh lebih besar yaitu penjajahan budaya, globalisasi yang bergerak hampir tanpa batas dalam bentuk kebudayaan yang dominan. Sekularisasi merupakan definisi sempit globalisasi yang sangat merusak.
Hasan Al-Banna memerlukan organisasi yang kuat dengan hirarki yang sangat kokoh, saya tidak mengikuti yang ini. Beliau membawa jawaban-jawaban yang mengubah akhlaq dan etika masyarakat Mesir, saya tidak bekerja untuk masyarakat Mesir.
Beliau memberi jawaban mendasar bagi persoalan-persoalan di tahun 1940-an, sedangkan saya berada di tahun 2003. Bagi Al-Banna politik hanya salah satu jalan da’wah, tapi politik bisa menyebabkan kita enggan membuka dialog dengan orang lain. Padahal, betapa banyak orang yang ada diantara kita tapi tidak bersama kita, dan betapa banyak orang yang tidak ada diantara kita tetapi mereka bersama kita. Di dalam struktur organisasi hal itu banyak terjadi, saya mempromosikan kordinasi antar-jama’ah.
Saya mempelajari perilaku kakek saya, tindakan-tindakannya, dan saya sangat menghormatinya, termasuk menghormati aspek-aspek ruhiyahnya. Dia mendirikan 2000 sekolah selama umurnya yang singkat (kakek saya syahid dalam usia 42, saya sekarang 40) dan menghadapi penjajah dengan tangan dan pikirannya. Dia menghadapi secara terbuka dan heroik proyek Zionisme.
Saya mengagumi dan memilah-milah semuanya secara kritis. Kakek saya pernah berkata, satu-satunya manusia yang harus dicontoh dalam segala hal hanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari manusia selain Nabi, kita bisa mengambil sebagian, meninggalkan bagian yang lain”
Apakah menurut Anda ummat Islam masih membutuhkan organisasi seperti Al-Ikhwanul Muslimun, Hizbut Tahrir, atau lainnya?”
Semua organisasi memberi manfaat bagi ummat Islam dan perkembangan Islam. Semua memiliki visi yang saling melengkapi. Semua akan lebih bermanfaat jika mereka melakukan dialog antar jama’ah (intra-community dialogue). Dialog ini bahkan sangat berguna untuk mengatakan kepada Muslim sekular, bahwa mereka telah jauh dari tradisi Islam.
Kelompok Salafi juga bermanfaat. Saya tidak punya persoalan apapun dengan kelompok Salafi. Kadang kala kita tergelincir jauh dan lupa pada teks, Salafi dengan disiplin kuat akan mengingatkan agar Anda kembali ke jalur yang benar. Saya tidak akan pernah meremehkan mereka.
Tadi Anda menyebut budaya penjajahan dan penjajahan budaya oleh Barat. Apakah pendekatan Muslim Eropa yang Anda tawarkan sudah bisa menjinakkannya?
Kita masih dalam proses. Berada di Eropa dan Amerika sebagai Muslim berarti Anda berada di garis terdepan dalam perang melawan hawa nafsu. Tantangannya adalah bagaimana mempromosikan kebudayaan dan peradaban Islam. Kita belum sepenuhnya berhasil. Tidak semua yang berasal dari Arab itu Islamic, sebaliknya, tidak semua yang berasal dari Barat itu satanic.
Ketika Anda mengkampanyekan kebebasan (freedom) itu nilai Islami, tapi harus dibedakan antara freedom dan permisiveness (serba boleh). Kita mencoba memasukkan kebebasan sebagai agenda Islam sekaligus melindungi diri kita dari permisiveness. Rasionalitas itu Islami, tapi rasionalisasi ekstrem tidak Islami.
Selama 50 tahun orang menyebut dirinya “Muslim di Eropa”, saya mengubahnya jadi “Muslim Eropa”. Intinya, membangun diri kita sebagai Muslim yang kuat sambil menyeleksi nilai-nilai mana saja dari Barat yang memang sudah ada di dalam Islam sejak awal. Visi Islam yang kuat, itulah yang kita butuhkan di Eropa”.
Usamah membaringkan badannya, merenung tiga tokoh ini, kemudian menyampaikan pada Dawam dan Said. Dan termenung pada beberapa kalimat dari Tariq Ramadhan, “Generasi baru yang bercirikan dua hal: iman yang kuat untuk mengarahkan pemikiran yang kritis dan pemikiran yang kritis untuk membangun iman yang kuat”.
“Pada yang manakah kita akan berlabuh?”

Posting Komentar

0 Komentar