Ideasi Gerakan
Memandang KAMMI, Setelah BerKAMMI; Sebuah Kontemplasi Tentang Transformasi
Memandang
KAMMI, Setelah BerKAMMI; Sebuah Kontemplasi Tentang Transformasi
M. Sadli Umasangaji
(Founder Celoteh Ide)
Gagasan
ini hanyalah riak-riak dalam sebuah euforia Milad KAMMI yang 21 tahun.
Riak-riak ini menjadi kontemplasi karena anak-anak muda yang pertama memandang
KAMMI, dimana daurah marhalah 1 menjadi ranah awal masuk, ia akan bertanya;
“Mengapa ‘anak muda’ bisa berkeinginan masuk KAMMI?”
Setelah itu, setelah ia mengikuti perjalanan setelah
daurah, dan ia mengenal berbagai kegiatan di KAMMI, maka ia bertanya,
“Bagaimana kami akan berproses di KAMMI?” Termasuk pertanyaan kepada KAMMI
sendiri; “Apakah KAMMI perlu bertransformasi?” . Setelah ia berproses di KAMMI
bertahun-tahun, masuk pengurus yang berjenjang, dari komisariat, daerah dan
seterusnya dan tiba masa ketika ia bertanya; “Bagaimana ia setelah berproses di
KAMMI?”.
Hidup adalah masa karya, tulis Anis Matta. Setiap kita
diberi rentang waktu, yang kemudian kita sebut umur, untuk berkarya. Harga
hidup kita, di mata kebenaran, ditentukan oleh kualitas karya kita. Maka
sesungguhnya waktu yang berhak diklaim sebagai umur kita adalah sebatas waktu
yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu, ia bukan milik kita.
Waktu adalah kehidupan. Sebagaimana ungkapan Hasan
al-Banna. Waktu adalah kehidupan adalah bentuk sanggah terhadap pandangan
materialistis bahwa waktu adalah emas, waktu adalah uang. Pandangan bahwa waktu
adalah emas hanya benar bagi orang-orang materialis yang biasa mengukur segala-galanya
dengan benda. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, dimana waktu jauh lebih
berharga ketimbang emas dan permata-permata lainnya. Sebab, hilangnya emas
masih mungkin dicarikan gantinya, tapi luputnya waktu tidak mungkin tergantikan
lagi. Pada hakikatnya waktu adalah kehidupan itu sendiri. Bukankah kehidupan
manusia hanya rentang waktu yang ia lalui sejak lahir hingga usai?
Kemudian masing-masing kita akan bertanya; berapakah
luas wilayah ruang dan waktu yang diberikan sejarah kepada setiap kita, untuk
dimaknai, dihidupkan, lalu diabadikan? Ada satu kaidah yang ditulis oleh banyak
ulama, salah satunya adalah syaikh Muhammad al-Ghazali (Matta, 2014), beliau
mengatakan anta maa kaifa tufakkir,
anda akan menjadi seperti apa yang anda pikirkan. Dengan kata lain setiap
realitas yang terjadi di alam kenyataan, sebelumnya merupakan realitas di alam
pemikiran. Sebaliknya realitas yang tidak pernah ada di alam pemikiran maka
tidak akan pernah pula menjadi realitas di alam nyata. Oleh karena itu kita ini
dituntun, digerakkan dan diwarnai oleh cara berpikir kita.
Tentang
Identitas Kolektif; Sebuah Kompleksitas
Dalam sebuah identitas akan
terjadi dialektika. Dialektika muncul karena ada kontradiksi-kontradiksi
sehingga menjadi sebuah fenomena sosial. Menurut Marx, manusia menciptakan sejarah mereka sendiri, tetapi mereka
tidak menciptakannya sebagaimana yang mereka senangi; mereka tidak
menciptakannya dalam keadaan dimana mereka bisa memilih sendiri, tetapi dalam
keadaan yang secara langsung bertemu dari masa lalu. Tradisi dari semua
generasi yang telah meninggal, menghimpit seperti sebuah mimpi buruk dalam otak
kehidupan.
Analisis
dialektis bukanlah hubungan sebab akibat sederhana dan satu arah antar
bagian-bagian dunia sosial. Bagi pemikir dialektis, satu faktor mungkin memang
berpengaruh pada faktor lain, namun faktor lain juga akan berpengaruh pada
faktor pertama. Dari dialektika inilah yang menghasilkan identitas.
Ada
dua hal kiranya mendasari tentang identitas kolektif, Pertama, identitas
simbol, sebuah penampakan simbol sebagai sebuah gambaran identitas. Sesuatu
yang diidentikkan dengan atribut-atribut kelompok. Kedua, tentang identitas
pemikiran, sebuah artikulasi pemikiran yang kemudian menampakan sebagai
perwajahan identitas. Dalam dilema identitas kelompok ini ada penolakan dalam
penggunaan simbol sebagai untuk sekedar kenangan akan eksistensi identitas
kolektif dan ada pula penolakan atas integrasi pemikiran secara identitas
kolektif.
Dalam
konteks ini KAMMI turut serta ‘mungkin’ mengalami komplesitas tentang identitas
kolektif. Termasuk dalam dialektika patron yang secara tidak langsung
memberikan kompeksitas dalam permasalahan KAMMI. Kompleksitas patron ini pula
yang secara tidak langsung akan ‘sedikit’ menggerus pengkaderan KAMMI dalam tarbiyah
sebagai entitas kolektif juga. Walaupun secara tidak langsung juga kompleksitas
patron ini membuka sebuah dialektika dalam diaspora, jaringan, dan kepentingan.
Atau
KAMMI terjebak sebagai gagasan Yusuf Maulana sebagai gambaran entitas tarbiyah.
Dan saya mencoba mengelaborasi sebagai KAMMI. Sebatas sekelompk pengkaji
keislaman ‘puritan’? Atau sebatas orang-orang fanatik yang kadang menjengkelkan
lantaran sikapnya di media sosial? Atau sekumpulan orang intelek yang tekun
belajar menata hati? Atau sebatas sebuah entitas pendukung politik? Atau
sebatas anak muda yang kritik pada pemerintah sebagai oposisi? Pada tataran
ideal, KAMMI harusnya melampau itu semua. Menjadi sebuah entitas ril dari
akidah.
Dalam ‘kesadaran’ atau ‘sebagian’ kader KAMMI yang
menganggap sebagai identitas kolektif itulah yang menumbuhkan genealogi
Ikhwanul Muslimin dalam tubuh KAMMI. Atau kebutuhan akan identitas kolektif itu
terpatri dalam kebutuhan untuk membangun komunitas, harakah dan akidah dalam
waktu bersamaan. Sebagai gagasan Sayyid Qutbh, “Pembangunan masyarakat dan
harakah yang berakidah, dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan
harakah. Akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki
realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas ril dari
akidah”.
Identitas
kolektif juga sebenarnya bisa merujuk pada intelektual organiknya Gramsci. Para
‘intelektual organik’ menurutnya menunjuk pada para intelektual yang berfungsi
sebagai perumus dan artikulator dari ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan
kelas, terutama dikaitkan dengan ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan
kelas yang sedang tumbuh (kelas buruh). Dia berargumen bahwa semua kelompok
sosial yang memainkan peran ekonomi yang signifikan secara historis menciptakan
intelektual-intelektualnya sendiri untuk menjustifikasi peran tersebut: ‘Setiap
kelompok sosial terlahir dalam medan fungsinya yang pokok, dan bersamaan dengan
itu, secara organis melahirkan satu atau lebih strata kaum intelektualnya
sendiri yang akan menciptakan homogenitas dan kesadaran akan fungsi dalam diri
kelompok sosial tersebut, bukan hanya di medan ekonomi, namun juga di medan
sosial dan politik.
Yudi
Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa, memperluas gagasan Intelektual
Organik, sebagai kelompok-kelompok solidaritas kultural. Untuk menyebut
individu-individu intelektual sebagai perumus-ulang dan artikulator dari
ideologi-ideologi dan identitas-identitas
Kolektif. Namun berbeda dengan konsepsi Gramsci (yang mendasarkan istilah
tersebut dengan landasan kelas sosial), ‘intelektual organik’ akan dipertautkan
terutama dengan kelompok-kelompok solidaritas kultural (terkadang disebut
aliran). Dalam proses pergaulan dan
interrelasi sosial, setiap identitas bisa berubah dan bertransformasi. Maka,
‘organik’ dalam artian ini hanya sekadar untuk menunjukkan bahwa jenis
intelektual semacam ini merupakan bagian integral dari kekuatan-kekuatan
sosial.
Dari
itu semua tentang kompleksitas identitas kolektif KAMMI ini, seperti tulisan
Amien Rais tentang pandangan M. Natsir, “Jangan sampai kita saling menyalahkan.
Kalau ada teman kita memilih aktif di wadah lain tidak berarti bahwa mereka
tidak lagi berkhidmat pada Islam. Tetap saja mereka berkhidmat beda-beda. Yang
menarik bagi saya adalah jalan pikiran Pak Natsir; jika rumput kering saja
harus dimanfaatkan, apalagi teman-teman yang sekedar berbeda pendapat”. Pada
titik ini, identitas kolektif entah ia menjadi homogen sebagai kesadaran fungsi
atau menjadi heterogen karena dialektika identitas, yang terpenting melampaui
identitas itu sebatas kepada simbol, ia menjadi semacam sifat kemudian
mengkristal pada pemikiran. Tapi bila ada yang menganggap bahwa keharusan itu
terpatri pada aras kesadaran bahwa identitas harakah itu sebagai kekolektifan
kesadaran, maka itu juga lumrah.
Tentang
Pemikiran; Sebuah Transformasi
Menurut
Gramsci, “Tak ada organisasi tanpa pemikiran, dengan kata lain, tanpa
pengorganisir dan pemimpin, tanpa aspek teoretis dari kesatuan
teori-dan-praktik yang dalam kongkretnya terwujud dalam strata orang-orang yang
‘berspesialisasi’ dalam elaborasi konseptual dan filosofis”.
Muhammad
Natsir dalam ceramahnya ketika mahasiswa-mahasiswa tahun itu disibukkan dengan
isu deideologisasi, dan pentingnya program, “Ingat, ideologi dan program adalah
two sides of the same coin, dua sisi
dari satu mata uang yang sama. Karena manusia bukan robot, ia tidak mungkin
hidup hanya dengan ideologi tanpa program atau hanya dengan program tanpa
ideologi”.
Tentang
ini, Anis Matta pernah menuliskan tentang Kebangkitan Pemikiran. Kemudian
tentang ‘Aqliyatul Handasah
(Pemikiran Rekayasa). Dari pemikiran rekayasa bertujuan untuk memiliki
orientasi rekayasa masa depan yang lebih menyeluruh. Maksudnya adalah orang
sanggup mendiagnosa realitas umat secara tajam, menawarkan penyelesaian serta
penentuan prioritas ‘amal islami dalam sebuah kerangka pemikiran peradaban.
Kemudian muncul Seni Merekayasa Akal-Akal Baru (‘Fannu Shina’atul ‘Uqul). Kebangkitan pemikiran merupakan fase
yang berfungsi memberi kontribusi konseptual pada proses aplikasi Islam secara
kaffah dalam konteks kehidupan modern. Kita perlu memperluas wawasan konseptual
kita tentang makna tarbiyah, sekaligus mencoba sumber-sumber pengayaan dalam
menangani seni merekayasa akal-akal baru Muslim yang memadukan dimensi
orisinalitas dan kekontemporeran.
Kemudian
kita patut berhenti sejenak dan bertanya seperti tulisan Anis Matta tentang
Al-Badailul Islamiyah; “Benarkah Islam mampu memberi yang lebih baik bagi
dunia? Mampukah kaum Muslim merealisasikan Islam dalam dunia nyata?”.
Pertanyaan itu tentu dengan mudah dapat dijawab ya. Tapi, ternyata pertanyaan
itu diletakkan dalam satu bingkai; Mampukah Islam memimpin umat manusia, memberi
sesuatu yang lebih baik, tanpa harus menghancurkan capaian-capaian pengetahuan
dan teknologi barat?
Pada
tahap keyakinan, tulis Anis Matta, bingkai itupun barangkali dapat dijawab
sederhana; bisa. Tapi, secara internal, pertanyaan itu tampaknya tidak bisa
terlalu disederhanakan. Sebab, disini, pertanyaan tidak secara an sich ditujukan kepada keyakinan.
Tapi, kepada kemampuan mengkritalisasikan keyakinan-keyakinan itu dalam bentuk
format-format pemikiran, sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, teknologi,
hubungan antar bangsa dan sebagainya. Olehnya itu, dalam gagasan lain, Anis
Matta menyebutkan tentang Pemikir Strategis. Dan menegaskan; kalau dakwah ini
merupakan proyek peradaban, sesungguhnya dakwahlah yang lebih membutuhkan
kehadiran kelompok pemikir strategis. Tentang seni untuk bagaimana memanfaatkan
berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan tertentu.
Kemudian
ada tentang syarat-syarat pemikiran adalah cara berpikir, mindset atau
paradigma tertentu yang perlu dimiliki, diantaranya paradigma engineering,
paradigma penaklukan, paradigma eksperimental, dan paradigma inovasi. Pertama,
paradigma arsitek adalah paradigma merekayasa atau mendesain segala sesuatu di
bumi sesuai dengan fungsi kita sebagai khalifah. Paradigma arsitek sebagai asas
dasar pembentukkan konseptual atau bisa jadi adalah gerakan perekayasaan ulang.
Kedua, paradigma penalukkan menekankan kepada manusia
bahwa seluruh yang ada di bumi dalam ruang dan waktu telah ditaklukkan oleh
Allah SWT untuk dimanfaatkan oleh manusia. Paradigma penalukkan untuk membantu
kita memahami tantangan yang kita hadapi pada saat menerjemahkan wahyu ke dalam
realita. Ketiga, paradigma eksperimental yakni paradigma untuk senantiasa
belajar dari pengalaman empiris di masa-masa sebelumnya. Sebentuk kesadaran
seorang Muslim untuk belajar dengan cara memadukan pengetahuan teoritis dengan
pengalaman langsung dirinya maupun orang-orang terdahulu. Keempat, paradigma
inovasi, yakni gabungan antara norma yang kita yakini dan pengalaman yang kita
alami. Dari ini akan memunculkan apa yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai
Pengetahuan Ketiga.
Tentang
pemikiran ini, ada satu kesadaran yang patut ditumbuhkan bagi KAMMI, selain
tentang pemikiran, kita meyakini bahwa satu kaidah bahwa pada saat sebuah
peradaban sedang naik, maka sesungguhnya peradaban tersebut sedang dikendalikan
oleh ruh. Sementara ketika peradaban berjalan mendatar maka yang
mengendalikannya adalah rasio (akal) dan ketika peradaban sedang menukik turun,
maka berarti ia sedang dikendalikan oleh syahwat. Peradaban dalam grafik naik
berarti juga memperlihatkan rasio perbandingan antara sumber daya dan
produktivitas. Pada saat kita dikendalikan oleh ruh maka produktivitas kita pun
jauh lebih besar dari sumber daya yang kita miliki. Sedangkan grafik mendatar
menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya berbanding lurus dengan
produktivitas kita atau dengan kata lain berimbang. Sementara grafik menurun,
memperlihatkan gambaran bahwa produktivitas kita jauh lebih rendah dari ketersediaan
sumber daya yang ada.
Maka
transformasi KAMMI sudah barang tentu berakar pada ruh dan pemikiran. Kemudian
membentuk pemikiran rekayasa, pemikir strategis, dan paradigma eksperimental
dan pengetahuan ketiga untuk menjawab tantangan konsep Islam alternatif
(al-Badailul Islamiyah).
Sepenuhnya
Indonesia
Memang membingungkan bahwa
KAMMI selalu berganti konsep dalam hampir setiap periodisasi kepengurusan.
Kemudian terjamah dalam bentuk jargon dan sekarang lebih disebut tagline. Dimulai dari Oposisi Kebatilan
kemudian Muslim Negarawan kemudian Jayakan Indonesia 2045, dan sekarang
Sepenuhnya Indonesia. Ada pula serpihan-serpihan tagline semisal KAMMI Untuk
Indonesia, dan Sipil Keummatan. Satu yang pasti, label ini hanya terbatas
kepada lebal begitu saja tanpa ada terjemahan konsepsi yang lebih lengkap
terkait ini. Muslim Negarawan lebih berbentuk konsepsi, dan ada rumusannya.
Begitu juga dengan Jayakan Indonesia 2045 ada platformnya, dan ini sebenarnya
langkah strategis KAMMI sebagai kontribusi untuk Indonesia. Ada visi kebangsaan
dan tahapan-tahapan jangka pendek dan menengah. Ada internalisasi nilai-nilai
pancasila untuk langkah strategis KAMMI. Dan terdiri atas beragam pandangan
dengan berbagai bidang pendidikan, sosial, politik, pemerintahan, kesehatan,
pertahanan, keamanan, ketahanan pangan, sumber daya alam dan energi. Kemudian
semua termaktub dalam GBHO KAMMI, platform itu menjadi platform KAMMI.
Sayangnya platform yang baik ini, masih jarang menjadi diskursus di internal
kader-kader KAMMI sendiri. KAMMI sendiri sudah mencetuskan berbagai lokus
kompetensi harusnya ini semua dapat dielaborasi, dari Sastra, Pangan dan Gizi,
Kesehatan, Pendidikan dan lainnya dan tentu terbalut dalam kesadaran paradigma
gerakan KAMMI; dakwah tauhid, intelektual profetik, sosial independen, politik
ekstra parlementer.
Kemudian
muncul Sepenuhnya Indonesia, yang disebut sebagai bagian dari Ijtihad
Melanjutkan Transformasi Gerakan. Memang Sepenuhnya Indonesia perlu
diterjemahkan lebih lanjut oleh teman-teman Pengurus Pusat. Konteks sebagai
apa. Apa sebagai kelanjutan Platform KAMMI Jayakan Indonesia? Atau terbatas
kepada ganti kepengurusan, ganti label.
Tentang
Sepenuhnya Indonesia, sebenarnya terdengar menarik, seakan membawa identitas
baru bagi KAMMI, tapi terlihat gagap memang karena tanpa diterjemahkan membuat
orang akan berpikir apakah KAMMI belum mengIndonesia? Kalau sudah, apa yang
kurang sehingga tag line ini perlu
dimunculkan?
Sebenarnya
secara gagasan, KAMMI Untuk Indonesia, pernah dicetuskan oleh beberapa teman-teman
KAMMI yang jejak masih ada dalam jejak digital. Bernama Manifesto KAMMI Untuk
Indonesia. Sebenarnya cukup baik, dengan gambaran wacana yang terdiri dari pertama,
KAMMI dan Semangat KeIndonesiaan, kedua, Sejarah Perjuangan Indonesia, yang
coba di elaborasi dari gerakan kepemudaan Islam sebelum kemerdekaan, ketiga,
Permasalahan Bangsa Indonesia, keempat, Posisi KAMMI dan Apa yang Akan KAMMI
Lakukan.
Setidaknya
dari itu Sepenuhnya Indonesia, saya berpikir ada tiga hal; pertama, tentang
Kesadaran (Nasionalisme), tentang Gagasan (dalam pengkaderan), dan tentang kontribusi.
Pertama, tentang kesadaran (nasionalisme), saya kira semua kader KAMMI, lahir,
tumbuh, dan besar di semua desa, kampung, daerah di Indonesia, dengan secara
tidak langsung kesadaran-kesadaran nasionalisme terpatri dalam setiap kader
KAMMI. Misalkan dalam konteks tertentu KAMMI cenderung membawa gagasan Ikhwanul
Muslimin adalah hal yang lumrah dalam pengkaderan, semisal gerakan Kiri yang
membawa gagasan Marx, dan para beragam pemikir Marxis, gagasan Gramsci, Albert
Camus atau teman-teman lain yang membawa gagasan Ali Shariati, atau Murtadah
Mutahhari, atau Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer dan lain. Kesemua gagasan itu
tepat akan dielaborasikan dalam gagasan Keindonesiaan. Dalam mendefinisikan
perkataan nasionalisme, Stanley Benn (dalam Madjid, 2013), menyebutkan paling
tidak lima hal; (1) semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam
patriotisme), (2) dalam aplikasinya kepada politik, “nasionalisme” menunjuk
kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya
jika kepentingan bangsa sendiri itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain,
(3) sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa dan
karena itu, (4) doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa untuk
dipertahankan, (5) nasionalisme adalah suatu teori politik, atau teori
antropologi, yang menekankan bahwa umat manusia, secara alami, terbagi-bagi
menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali
suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu.
Tentang
gagasan (dalam pengkaderan), apa internalisasi Sepenuhnya Indonesia dalam
konteks ini, saya berpikir terlepas dari identitas kolektif KAMMI, perlu adanya
kebiasaan mengkaji gagasan pesan-pesan Keislaman tokoh Islam di Indonesia atau
Intelegensia Muslim di Indonesia. Di dalam Manhaj KAMMI misalkan buku referensi
di daurah sudah terisi buku semisal Kuntowijoyo, dan di dalam Mantuba misalkan
sudah Api Sejarah Indonesia dan lainnya. Belum lagi kebiasaan kader dalam
membaca gagasan tokoh-tokoh Islam Indonesia. Mungkin sedikit menggerus dominasi
bacaan tentang Ikhwanul Muslimin dan tokohnya, tapi secara esensi saya kira
tidak. Ini akan menjadi kekolektifan gagasan KAMMI sebagai Sepenuhnya
Indonesia. Atau sebaliknya kader-kader dan orang-orang yang pernah terbina
dalam pengkaderan KAMMI perlu membubuhkan karya tentang tokoh-tokoh Islam
Indonesia serta gagasan-gagasannya. Dulu ada yang menulis tentang Agus Salim;
The Old Man, ada juga buku Jalan Hidup Para Pejuang, ada juga senior yang
menulis tentang Buya Hamka. Buya Hamka sendiri pernah menuliskan tentang
Ikhwanul Muslimin. Natsir membincang Ikhwanul Safa dan lainnya dalam Islam dan
Akal Merdeka. Mungkin buku sejenisnya ini perlu diproduksi oleh kader-kader KAMMI
kembali dan lagi.
Tentang
kontribusi. Tentu kontribusi KAMMI seperti dalam Platform KAMMI butuh waktu
lama dalam merealisasikannya. Setidaknya dalam Manifesto KAMMI Untuk Indonesia
adalah gambaran output berdasarkan paradigma. Pertama, Sebagai gerakan dakwah tauhid, KAMMI akan mencetak para
pendakwah dan pengkaji-pengkaji agama yang mampu mencerahkan dan membebaskan
umat dari masalahnya saat ini. Kedua, Sebagai
gerakan intelektual profetik, KAMMI
akan mencetak para pemikir, sastrawan, novelis, penulis, dan ilmuwan yang ulung,
yang memiliki semangat perubahan dan dipandu oleh moralitas agama. Ketiga, Sebagai gerakan sosial
independen, KAMMI
akan mencetak aktivis sosial, advokat, dan agen-agen pemberdayaan yang mampu
memecahkan persoalan riil rakyat serta memberdayakan mereka menjadi masyarakat
yang mandiri. Keempat, KAMMI akan mencetak politikus, demonstran, ahli-ahli
hukum serta ahli-ahli politik yang mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat
tanpa harus terikat pada kepentingan politik apapun.
Apa
yang terbayang dari tentang kontribusi yang outputnya terpatri dalam paradigma
KAMMI itu; akumulasi gerakan. Akumulasi gerakan antara kader KAMMI dan
orang-orang yang pernah membersamai KAMMI. Akumulasi inilah yang akhirnya
membentuk lapisan KAMMI sebagai kontribusi untuk Indonesia. Lapisan inilah yang
harusnya menjadi Identitas Kolektif KAMMI. Lapisan ini pula yang harusnya
menyongsong dalam membentuk pemikiran rekayasa, pemikir strategis, dan paradigma
eksperimental dan pengetahuan ketiga untuk menjawab tantangan konsep Islam alternatif
(al-Badailul Islamiyah). Tapi apakah akumulasi gerakan akan sekedar imajinasi?
Tentu kita sendiri sebagai orang yang pernah membersamai KAMMI-lah yang patut
menjawab.
Dengan
kesadaran akan bahwa kaum Muslim membutuhkan; “Pembangunan masyarakat dan
harakah yang berakidah, dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan
harakah. Akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki
realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas ril dari
akidah”.
Posting Komentar
1 Komentar
"Selamat siang Bos 😃
BalasHapusMohon maaf mengganggu bos ,
apa kabar nih bos kami dari Agen365
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Silahkan di add contact kami ya bos :)
Line : agen365
WA : +85587781483
Wechat : agen365
terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"