Keimanan yang Kiri


Keimanan yang Kiri
M. Sadli Umasangaji









            Bahasa keimanan yang kiri, saya temui dalam gagasan Islam Kiri; Jalan Menuju Revolusi Sosial karya Eko Prasetyo. Keimanan sebagai sesuatu dihunjam dalam hati, ditegaskan melalui lisan, dan kemudian tergerak oleh perilaku. Saya kemudian membayangkan bahwa kiri ditempatkan sebagai sebuah perasaan yang paling halus ketika melihat realitas sosial, mengiba melihat kemiskinan, melawan melihat penindasan, menangis melihat penderitaan, ringkih melihat kelaparan.
Kemudian dari “keimanan yang kiri” ini, kita bertanya mengapa demikian? Sebuah keimanan yang beranjak dari pergulatannya atas semua problem sosial untuk dipecahkan mengikuti sabda Illahi. Mengapa harus kiri? Karena ada peninggalan Marx, menurut Louis Althusser (dalam Prasetyo, Eko, 2014), yang tampaknya bisa dijadikan ‘alat bantu’ analisis; pertama, Marx meneumukan konsep cara produksi dalam sejarah dan secara khusus cara produksi kapitalis (nilai lebih, nilai tukar, komoditas) yang selama ini mengambil peranan dalam membentuk tatanan sosial.
Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali, pertama dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan itu anti kemapanan, apakah itu kemapanan religious maupun politik. Ketiga, teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologis.
Pada titik ini pulalah bahwa Islam harus ditempatkan pada posisi yang berpihak pada kelompok yang tertindas bukan kelompok yang menindas. Sebagaimana tulis Asghar Ali, bahwa Agama harus menjadi sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk merubah keadaan mereka, dan menjadi kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan dirinya secara berarti dengan memahami aspek-aspek spiritual yang tinggi dari realitas ini.

Fakta Sejarah: Sebuah Perjalanan Nabi
            Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat itu di dalam maupun di luar Arab. Agama tidak boleh hanya berhenti sampai pada urusan akhirat, namun juga tidak boleh semata-mata berurusan dengan masalah duniawi, agama harus dapat menjaga relevansinya. Sayang sekarang ini teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak memiliki ruh untuk menyentuh kepentingan kaum tertindas dan kaum miskin.
            Asghar Ali Engineer (2009) menguraikan tentang perjalanan Nabi. Nabi Muhammad pula adalah pembebas bagi seluruh umat manusia dengan cara membebaskan golongan masyarakat lemah. Pada masa Arab di zaman dakwah Nabi, kondisi ekonomi tidak kurang suramnya. Kesengsaraan golongan masyarakat lemah tidak terlukiskan lagi. Struktur ekonomi kesukuan mengalami keruntuhan, kemudian datanglah oligarki perdagangan. Akibatnya, anak-anak yatim, janda-janda dan orang-orang miskin luar biasa menderita. Juga budak laki-laki dan perempuan tak terhitung jumlahnya. Maka nabi kita adalah Sang Pembebas. Nabi Muhammad SAW juga berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas, fakir, miskin dan orang-orang bodoh.
            Semasa Nabi masih hidup dan beberapa dekade sesudahnya, Islam menjadi kekuatan yang revolusioner. Dimana bahwa Nabi sebagai utusan Allah menggulirkan tantangan yang membahayakan saudagar-saudagar kaya di Mekkah. Saudagar-saudagar ini berasal dari suku yang berkuasa di Mekkah, yaitu suku Quraisy. Mereka menyombongkan diri dan mabuk dengan kekuasaan. Mereka melanggar norma-norma kesukuan dan betul-betul tidak menghargai fakir miskin. Orang-orang miskin dan tertindas di Mekkah inilah, termasuk para budak, yang pertama-tama mengikuti Nabi Muhammad ketika beliau mulai menyebarkan ajaran suci Islam.
Pada masa Jahiliyah para pedagang mulai menumpuk-numpuk harta dengan mengabaikan norma-norma kesukuan. Budaya merkantilis lalu menebarkan bayangannya hingga menutupi budaya kesukuan. Fakir, miskin, dan anak-anak yatim tidak dihiraukan lagi, sehingga mulai timbul ketegangan sosial. Diantara golongan masyarakat lemah ini tumbuh rasa tidak senang kepada orang-orang kaya. Nabi merasa sangat sedih melihat kondisi masyarakat yang seperti ini.
Dalam bukunya, Asghar Ali Engineer menuliskan, Al-Qur’an tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di antara orang-orang kaya saja. Al-Qur’an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri di pihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas.

Sebuah Narasi Kesadaran
            Pada asasnya ini adalah narasi. Sebagaimana gagasan Murtadha Muthahhari, “Gerakan sosial haruslah bertumpu pada gerakan pemikiran dan kultural atau ia akan terjerumus dalam perangkap gerakan yang memiliki landasan budaya dan luluh di dalamnya sehingga berubah arah tanpa bisa dicegah”. Disisi lain Gramsci meneguhkan, “Tak ada organisasi tanpa pemikiran, dengan kata lain, tanpa pengorganisir dan pemimpin, tanpa aspek teoretis dari kesatuan teori-dan-praktik yang dalam kongkretnya terwujud dalam strata orang-orang yang ‘berspesialisasi’ dalam elaborasi konseptual dan filosofis”.
            Marx mengatakan agama itu candu bagi masyarakat. Harus dipahai bahwa pernyataan ini bukan semata-mata menyalahkan agama, seperti yang disangka banyak orang. Marx menganggap agama sebagai candu dalam pengertian bahwa selain tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, agama justru digunakan untuk melanggengkan kemapanan. Jika agama ingin dijadikan sebagai alat perubahan, maka harus menjadi senjata ampuh bagi kelompok masyarakat yang dieksploitasi.
            Pada umumnya untuk menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiom-idiom yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi bukannya memperkaya kehidupan spiritual dan budaya masyarakat. Sesungguhnya Marxisme yang seperti ini tidak memakai idiom Marxis yang asli yang berakar pada etos budaya setempat. Marxisme yang seperti itu merupakan ideologi kelas menengah sedangkan kaum buruh dan petani dilekatkan pada Marxisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi yang terbatas dan mereka dijauhkan dari semangat budaya dan spiritualnya sendiri. Tidak mengherankan jika Marxisme tetap kalah menarik dibandingkan dengan fundamentalisme, konservatisme, dan kelompok-kelompok reaksioner, karena yang terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini kebutuhan spiritual ini sama kuatnya dan sama mendesaknya dengan kebutuhan ekonomi. (Engineer, 2009).
            Qutbh melakukan kritikan kepada Marxis, “Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Apabila komunisme memandang manusia dari segi kebutuhan materialnya belaka, dan bahkan memandang alam semesta ini dengan kacamata materialisme, maka Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah antara kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan kehidupan dengan kacamata integral yang tidak terpisah-pisah”.
            Oleh karena itu, kaum Marxis perlu mengembangkan sebuah pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang menyeluruh yang berakar pada etos masyarakat setempat. Marxisme juga tidak bisa mengesampingkan agama, apalagi mencampakkanya. Marxisme sangat perlu memikirkan masalah ini secara mendalam. Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan membuangnya merupakan pendekatan yang sunguh-sungguh dangkal. Harus diingat bahwa agama adalah instrumen yang penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideologi yang revolusioner. (Engineer, 2009).
            Dalam pembacaan ‘kiri’, gagasan kebudayaan dalam Islam, yang menjadi inti revolusi, tak lain akan mendorong kesadaran progresif yang akan membongkar segala bentuk kepalsuan dari kapitalisme. Selain itu, sumbangan Marxisme sangat penting untuk dipakai oleh gerakan Islam karena memberi pelajaran berharga untuk melakukan sistematisasi terhadap fakta maupun gejala-gejala sosial yang tumbuh.
            Pada asumsinya kita akan menggunakan pendapat gerakan Mujahidin Khalq, kami mengatakan ‘tidak’ untuk filosofi Marxis terutama ateisme. Akan tetapi, kami mengatakan ‘ya’ untuk pemikiran sosial Marxis, khususnya analisisnya tentang feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme.
            Revolusi sosial mungkin jawaban yang tidak sempurna, tetapi melalui jalur inilah, agama mengambil bentuk keberpihakan yang jelas. Untuk apa harus menggunakan Islam Kiri? Pertama-tama karena kategori ‘kiri’ akan mendorong ummat untuk belajar lebih banyak mengenai materialism historis yang bisa dijadikan alat analisis persoalan yang sekarang sedang dialami, yang kedua, kiri adalah kategori yang akan mengembalikan ‘iman’ dalam perseteruannya dengan para penindas. ‘Iman’ akan dihadapkan dengan kezaliman maupun kekuasaan otoriter yang kini menjadi ‘tuhan’ baru. (Prasetyo, 2014).
            Sayyid Qutbh menuliskan, “Akan tetapi apabila persamaan itu disandarkan atas kebebasan jiwa yang dalam, sebagaimana halnya penyandarannya atas syariat dan pelaksanaannya, maka segi ini akan menjadi penopang paling kuat baik dalam lapisan orang-orang yang memliki kemampuan kuat maupun yang lemah. Ia berusaha meningkatkan yang lemah, dan membuat yang kuat bersikap tawadhu (tidak sombong). Persamaan itu akan bertemu dalam jiwa pada keyakinan terhadap Allah, dalam kesatuan ummat dan kerjasamanya, bahkan dalam kesatuan peri kemanusiaan dan jaminannya. Inilah yang menjadi tujuan Islam ketika ia memberikan kebebasan jiwa secara mutlak dan penuh”.
            Atau kiritk yang dilakukan oleh Abu Dzar. Bahkan walau baru namanya saja yang terdengar, bagaikan terbang ke setiap wilayah Islam, dan menimbulkan rasa takut dan ngeri di hati pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang. Sebab, semboyan yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan yang selalu diingat oleh jiwa dari dirinya bagai sebuah lagu perjuangan, ialah kalimat; “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, yang menyeterikan kening dan pinggang mereka pada hari kiamat”.
            Abu Dzar melepaskan pandangan menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumunan. Dilihatnya kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Kemudian, pandangannya beralih ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana. Tampak olehnya gedung-gedung dan kemewahan yang berlebihan. Ia pun menyeru kepada orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya, “Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, mengapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya?”
            Abu Dzar mengajarkan kepada orang-orang itu bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan gigi-gigi sisir. Artinya mereka semua berserikat dalam rezeki bahwa tidak ada kelebihan seseorang daripada orang lain kecuali karena ketakwaan dan bahwa pemimpin serta pembesar dari suatu golongan harus menjadi orang pertama yang menderita kelaparan sebelum rakyatnya dan yang paling belakangan menikmati kekenyangan setelah mereka. (Khalid, 2012).
            Roy Murtadho, pencetus ide-ide Islam Progresif dari kalangan Nahdhatul Ulama Muda kemudian membagi gagasan, “Bahkan lebih dari itu, kesadaran historis umat Islam mesti berhenti untuk secara terus menerus membicarakan Barat dan mengoposisikannya dengan kebudayaan Islam. Dan mulai memikirkan agenda politik rakyat dari berbagai identitas etnis dan agama dalam menumbangkan kapitalisme. Maka di tengah kekosongan gagasan dan gerakan Islam yang memberi alternatif pada agenda politik rakyat inilah, Islam Progresif seharusnya mampu memberi sumbangsih bagi gerakan rakyat di dua level sekaligus, yakni pandangan keagamaan yang terbuka dan berpihak, serta menjadi bagian dari pembangunan prasyarat-prasyarat material menumbangkan kapitalisme. Sebab berbeda dengan Kiri Islam Hanafi yang hanya berhenti sebatas gerakan intelektual, Islam Progresif adalah sebuah proyeksi Islam untuk aksi, yakni sebuah praksis pembebasan. Dengan demikian, Islam Progresif harus mulai merumuskan agenda aksi kaum muslim dan rakyat luas menghadapi mesin kapitalisme yang beroperasi melalui berbagai paket kebijakan ekonomi”
            Akhirnya, apapun namanya, semua harusnya terakumulasi pada pandangan bahwa keimanan yang kiri bertumpu pada harapan Teologi Qur’ani dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan. Al-Quran juga menegaskan janji Allah; “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” (Q.S Al-Qashash : 28 :5).

Posting Komentar

0 Komentar