Menggugat Keadilan Sosial dalam Reformasi 2.0
Di
tengah kepemimpinan yang mendramatisasi citra diri itu, orang-orang menjerit
karena harga-harga selangit, naiklah bahan-bahan sembako dan kebutuhan
sehari-hari, naiklah bahan bakar minyak dalam diam di tengah malam, naiklah
tarif dasar listrik, merambat kemana-mana tenaga asing, pengangguran menjadi
derita anak bangsa yang mulai mencari kerja. Maka ada orang yang menyebutnya
sebagai tuna visi nan kefakiran empati. Beban hidup rakyat yang makin berat.
Ketika harga cabai naik, minta untuk ditanam, harga listrik naik minta hidup
irit, harga beras naik, minta untuk ditawar. Sama seperti orde baru, rakyat
harus makan belalang. Dan di tengah-tengah itu pula mulai orang-orang
membicarakan reformasi jilid 2.0. Seperti dalam Jiwa-Jiwa Mati, adanya akal
licik pegawai yang ambisius guna memperoleh keuntungan dari hasil manipulasi
dan korupsi. Kemudian menyayat borok nafsu tamak manusia serakah.
Memang
berjalan menuju ke dekade ketiga reformasi ini, kran kebebasan semakin
terlihat. Tapi di masa-masa ini pula kegaduhan dalam politik merembes untuk
menutupi kran kebebasan dengan dalih-dalih pandangan pemilik kekuasaan.
Organisasi Masyarakat yang berlawanan ideologi dibrendel aktivitasnya. Bukankah
kebebasan berpendapat adalah bagian dari gagasan reformasi?
Memang
orang-orang sudah bebas untuk memilih saat berlangsungnya pemilihan umum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadirnya reformasi menghidupkan
demokrasi. Tapi yang lebih penting adalah demokrasi substansial. Dan harus
dikatakan bahwa ujung dari demokrasi substansial adalah keadilan sosial.
Jalan Reformasi; Sebuah Ide
Demokrasi
Pemilu
secara langsung, media massa, organisasi kemasyarakatan yang kritis hanya imbas
dari berkah demokrasi dan bagian dari demokrasi prosedural serta bukanlah
hakikat demokrasi itu sendiri. Selama nilai-nilai kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternate), belum berimbas pada
kesejahteraan rakyat, selama itu pula demokrasi pemanis bibir. Demokrasi
prosedural dan substansial harus berjalan beriringan, karena demokrasi bukan
sekedar nilai ideal yang berlangsung dalam relung filosofis dan berkutat pada
aras kesadaran, namun juga praktik sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
Beberapa
aspek permasalahan demokrasi kini, pertama, pandangan politik itu kotor. Dalam
hal ini orang (umumnya masyarakat) berpandangan politik dinilai hanya semata
berpikir tentang kekuasaan. Sinisme politik. Politik berbanding lurus dengan
kemajuan demokratis. Hari-hari ini demokrasi mengedepankan oligarki kekuasaan.
Kedua, politik membutuhkan kekuasaan. Bentuk perwakilan representatif terkadang
tidak merasa terwakili. Representasi masih berhenti pada cita-cita belum pada
tataran realitas. Adanya dominasi kaum pemilik modal, orang-orang seperti ini
sangat dominan dalam pemilihan. Ketiga, partisipasi langsung, ini yang membuat
representasi masih dalam tataran cita-cita. Keempat, ada upaya pembatasan
berorganisasi atau berkelompok. Kelima, munculnya aktor-aktor yang terintegrasi
dalam sistem.
Maka
pada titik inilah kita akan bertanya dengan ironis, dimana reformasi dan
demokrasi saat harga-harga kebutuhan pokok yang terkait hajat dasar hidup,
sulit terjangkau? Dimana demokrasi, kalau banyak titipan asing dalam
undang-undang kita? Bahkan bebas dalam segala hal hingga kebebasan tak
bertanggungjawab.
Ada
dua agenda reformasi menurut Amien Rais dulu, pertama, jangka pendek, dan
kedua, jangka panjang. Salah satu tugas bersama yang perlu diperhatikan dengan
sungguh adalah bagaimana supaya kita dapat keluar dari situasi krisis dan
gejolak ekonomi dengan selamat. Supaya krisis dan perubahan yang sedang
berlangsung tak mengarah pada kemerosotan politik dan ekonomi lebih jauh, kita
memerlukan serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan
personal-persoalan jangka pendek dimaksudkan untuk mengelola dan mengatasi
krisis yang sedang terjadi, sedangkan kebijakan dan tindakan jangka panjang
dimaksudkan sebagai usaha memantapkan kehadiran dan posisi Indonesia. Agenda
reformasi jangka panjang menurut Amien Rais ada 4, pertama, pendidikan, kedua,
teknologi, ketiga, politik, dan keempat demokrasi.
Yang penting bagi kita ialah berbuat
dan bertanggung jawab. Salah satu sikap seorang demokratis adalah tidak
melakukan teror mental terhadap orang yang mau besikap lain. Membiarkan orang
lain menentukan sikap dengan perasaan bebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan isi
hatinya sendiri merupakan pencerminan sikap seorang demokratis.
Terkait
dengan upaya menciptakan ruang politik yang bebas dominasi maka pilihannya ada
pada individu. Ruang bebas politik terhampar maka pilihannya yang pada dasarnya
jika manusia kembali pada kondisi alamiahnya, maka ia memilih untuk bebas.
Dengan demikian bahwa aktivitas dalam masyarakat politik merupakan aktivitas
antara manusia-manusia dengan ciri dan karakter yang berbeda satu sama lain.
Idealnya, aktivitas politik merupakan aktivitas bebas tekanan . Segala bentuk dominasi, penggunaan
kekerasan, paksaan, monopoli harus disingkirkan dari arena politik. Ruang
publik harus inklusif, egaliter dan bebas tekanan.
Maka
demikian, yang dilakukan sepatutnya adalah perjuangan ideologi bukan perang
ideologi. Sebagaimana pandangan Muhammad Hatta dalam Demokrasi Kita,
menyebutkan perjuangan ideologi. Perjuangan ideologi antar kelompok-kelompok
politik jangan diartikan dengan perang ideologi. Tiap-tiap kelompok akan
mempropagandakan ideologinya kepada rakyat, tetapi dalam propaganda itu
hendaklah dijaga tertib sopan dan bersikap sebagai seorang kesatria. Betapapun
juga bedanya paham dan pendirian, pada tujuan yang terpenting semuanya sama.
Jalan
politiknya sebagaimana gagasan Amien Rais dalam Hubungan antara Politik dan
Dakwah, menjelaskan tentang High Politics, dengan ciri-ciri minimal
diantaranya, amanah, masuliyyah (pertanggungjawaban), prinsip ukhuwah
(persatuan), maka sangat kondusif bagi pelaksanaan amar maruf dan nahi munkar.
Barangkali inilah antara lain yang dimaksud oleh Q.S al-Hajj : 22 : 41, “Yaitu orang-orang yang jika Kami beri
kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan menyuruh
berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali
segala urusan”.
Timbullah pertanyaan, “Apakah corak
yang boleh diberikan kepada bentuk pemerintah Islam? Teokrasikah atau
demokrasi? Teokrasi tidak mau
dipasangkan sebab dihambat oleh pengakuan Allah sendiri dalam al-Qur’an bahwa
manusia adalah khalifah-Nya di bumi. Manusia dan kemanusiaan, bukan beberapa
orang saja. Bukankah pemerintahan teokrasi itu, tersebut dalam sejarah, yaitu
pengakuan orang banyak bahwa raja atau pendeta adalah wakil Allah untuk
memerintah orang banyak di bumi. Dengan demikian, pemerintahannya dipandang suci
dan tidak boleh dibantah dan tidak boleh disentuh senggah?
Demokrasi yang cepat masuk ke dalam
pikiran kita sekarang ini, yang menjalar dari peradaban Eropa barat, memisahkan
agama dari Negara, tidak pula dapat dipasangkan. Sebab dalam keyakinan Islam, kita
mengatur Negara bersama-sama atas kehendak Allah. Kita angkat pemerintahan,
kepala Negara, dengan nama Raja, Khalifah, Sultan, Malik dan lain-lain, adalah
atas kehendak kita sendiri dan daulatnya dari kita. Dia diakui Allah memegang
Negara dan diberi batas-batas syarat tertentu dalam al-Qur’an dan hadits adalah
karena kita mengangkatnya.
Hamka kemudian memberi nama dalam
sebuah gagasannya dengan “Demokrasi Takwa”. Ia juga menuliskan seorang ahli
pikir Islam di Pakistan member nama yang modern yang menggabung dua variable
teokrasi dan demokrasi, menjadi teodemokrasi. Hamka melanjutkan “Tentang
menyusun pemerintahan, bagaimana yang praktis, asal saja tidak menghambat
kemerdekaan masyarakat, lalu dikumpulkan kepada orang-seorang, seperti
diktator-proletar Rusia sekarang ini dalam praktik, atau beberapa orang dengan
kekuasaan uangnya memegang kekang masyarakat dan memperkuda-kudanya, lalu
memberi nama itulah demokrasi, seperti Amerika sekarang. Tentang susunan mana
yang lebih baik, umat Islam dengan keizinan agamanya pun turut bersama isi
dunia mencari mana yang lebih sempurna”. Maka kembali pada pemaknaan bersama,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kita semua telah mengetahui
kedudukan cita-cita pada kehidupan bernegara.
Keadilan Sosial dan Berpihak pada
Kaum Miskin
Agenda
Reformasi yang dijelaskan Amien Rais, penanganan jangka pendek adalah
penanganan krisis ekonomi. Tapi pada realitas kini, kita sama-sama sadari bahwa
nilai tukar dollar terhadap rupiah semakin menjerit. Agenda reformasi jangka
panjang menurut Amien Rais ada 4, pertama, pendidikan, kedua, teknologi,
ketiga, politik, dan keempat demokrasi.
Pendidikan
sebagai ranah dalam pengembangan sumber daya manusia. Manusia-manusia Indonesia
dengan memenuhi berpendidikan tinggi akan menjadi basis sosial kelas menengah
yang rasional. Tapi realitas kini, di Indonesia Timur berbanding terbalik
dengan Daerah Indonesia Barat. Dan sikap Jawanisasi dalam pembangunan dan
budaya cenderung dominan dalam Indonesia termasuk orang-orang yang berpendidikan
tentu lebih dominan di daerah Jawa ketimbang daerah Timur Nusantara.
Ketimpangan pendidikan jelas terjadi. Pemerataan pendidikan patut menjadi
keseriusan bersama. Dalam sebuah pandangan, bila dari 10 kasus hampir diatas
setengah sebagaian kasus penderita gizi buruk disertai dengan pendidikan orang
tua yang dibawah SMA. Dan pekerjaannya kalau tidak petani, ya nelayan. Petani
yang tidak punya lahan, dan tidak memiliki modal. Dengan demikian keseluruhan
agenda reformasi harus berujung kepada keadilan sosial. Kalau terlalu kiri bila
menyebut sama rasa sama rata dalam sebuah ukuran persatuan.
Jumlah
penduduk miskin di Indonesia tercatat terus meningkat pada 2015. Berdasarkan
data Tim Nasional Percepatan Kemiskinan, jumlah penduduk miskin terus meningkat
pada 2015 yakni sebesar 11,13 persen atau sebanyak 28,51 juta orang. Sedangkan
pada 2014 jumlah penduduk miskin sebesar 10,96 persen atau 27,73 juta orang.
Naiknya harga beras pun disebutkan memberikan kontribusi yang besar terhadap
penurunan daya beli masyarakat miskin. Kondisi ini kemudian menyebabkan
kemiskinan meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah
penduduk miskin Indonesia sebanyak 28,51 juta jiwa atau 11.13 persen dari total
penduduk sampai September 2015.
Tentang
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kita semua telah mengetahui
kedudukan cita-cita pada kehidupan bernegara. Ia merupakan sumber tujuan
sebenarnya Republik yang merdeka ini, dan merupakan sumber semangat bagi mereka
yang hendak berdharma kepada rakyat. Sosialisme dapat dianggap sebagai suatu
cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh
pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Keadilan sosial itulah, jika
ditilik dari sudut susunan Pancasila, yang merupakan tujuan kita bernegara.
(Madjid, 2013)
Dalam
Islam dan Sosialisme, Tjokroaminoto menguraikan Pengertian Sosialisme,
‘sosialisme’ awalnya dari perkataan bahasa latin ‘socius’, makna dalam bahasa
melayu sebagai teman, dan bisa jadi sebagai ‘kita’. Sosialisme menghendaki cara
hidup “satu buat semua dan semua buat satu”, yaitu suatu cara hidup yang hendak
mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan
kita satu sama lain. Segala teori (sosialisme) ini juga mempunyai maksud akan
memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya. Agar
supaya mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, yaitu
dengan memerangi sebab-sebab menimbulkan kemiskinan.
“Menyediakan
ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai ekonomi yang merata dalam
semua segi yang menunjang kehidupan, merupakan cara yang paling ampuh untuk
mewujudkan keseimbangan dan keadilan sosial, serta mewujudkan keadilan dalam
setiap segi kemanusiaan” (Qutbh, 1994).
Dengan demikian, sebagaimana gagasan
Asghar Ali Enggineer, tantangan kemiskinan harus diatasi dengan membangun
struktur sosial yang bebas dari eksplotasi penindasan dan konsentrasi kekayaan
pada segilintir tangan. Dalam struktur sosial yang seperti ini terdapat nilai
kebenaran yang lain, yaitu keadilan di bidang sosial, ekonomi, hukum, dan
politik. Keadilan dan keseimbangan ekonomi ini diperlukan karena demikian
berarti kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, dan seterusnya dapat
terpenuhi, sehingga kecenderungan gaya hidup boros dapat ditekan.
Kemudian kita dapat mengeksplor
dalam apa yang menjadi agenda gerakan Islam Kiri? Hassan Hanafi menyatakan
setidaknya ada beberapa tantangan yang dihadapi; (1) Kebebasan universal
melawan penindasan, dominasi, dan kediktatoran dari dalam, (2) Keadilan sosial
menghadapi kesenjangan lebar antara kaum miskin dan kaya, (3) Persatuan
menghadapi keterpecahbelahan dan diaspora, (4) Pertumbuhan melawan
keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan budaya, (5) Mobilisasi kekuatan
massa melawan apatisme.
Kita dapat memulai dengan kesadaran,
pendataan secara baik dalam birokrasi untuk pengentasan kemiskinan, keseriusan
program pemerintah yang pro kaum miskin, membuka ruang kerja sebagai upaya
peningkatan ekonomi, membuat sistem yang melawan oligarki kekayaan pada
segilintir orang, memilih pemimpin yang membela kaum tertindas, sistem jaminan
sosial yang tanpa membayar bulanan, membentuk sistem kesadaran masyarakat
bersama, melawan sikap koruptif. Dalam Jejak Langkah, Pramoedya menuliskan,
“Penderitaan yang sedalam-dalamnya; penderitaan yang berlipat-berpilin dengan
kemiskinan, dengan ketiadadayaan”.
Nurcholish Madjid (2013), menyatakan
tentang prinsip-prinsip dalam agama Islam dengan kaitan semangat sosialisme.
(1) seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhan-lah pemilik
mutlak segala yang ada, (2) benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan (dengan
sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia (kekayaan sebagai amanah),
(3) penerima amanah harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan ‘kemauan’
Sang Pemberi Amanah (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan menurut jalan Allah.
(4) kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanah Allah itu (yaitu
mengumpulkan kekayaan) harus didapatkan dengan cara bersih dan jujur (halal).
(5) setiap tahun, harta yang halal itu dibersihkan dengan zakat. (6) penerima
amanah harta tidak berhak mengunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya,
melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung rasa
keadilan umum. (7) orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam harta
orang-orang kaya. (8) dalam skeadaan tertentu, kaum miskin berhak merebut hak
mereka dari orang-orang kaya, jika kedua ingkar. (9) kejahatan tertinggi
terhadap kemanusiaan ialah penumpukan kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi sosial.
(10) cara memperoleh kekayaan yang paling jahat adalah riba. (11) manusia tidak
akan memperoleh kebajikan sebelum menyosialisasikan harta yang dicintainya.
Bukankah al-Qur’an telah
menasbihkan, “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas
di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan
mereka orang-orang yang mewarisi” (Q.S. Al-Qasas : 28 : 05).
Kontemplasi Bersama
Dalam
kontemplasi bersama ini mari kita mulai dengan pandangan dan kita juga sama-sama
tahu bahwa tokoh-tokoh dan aktivis-aktivis yang berdarah-darah saat mewujudnya
reformasi, kini telah masuk dalam posisi strategis tapi apakah memperbaiki hak
kebutuhan hidup kaum miskin? Minimal meminimalisir kemiskinan. Atau hanya kran
kebebasan yang terbuka dan para aktivis dan tokoh itu makin gendut dalam
kekayaan? Maka kita dengan kesadaran akan bertanya seperti yang tulis Pramoedya
dalam Jejak Langkah, “bertanya pada diri sendiri: apakah telah kau berikan pada
kehidupan ini, hei, kau manusia terpelajar?”. Atau kata Pramoedya dalam Bumi
Manusia, “Semakin
tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus
semakin mengenal batas”.
Kemudian
kita berjalan dalam mengulas ide Hamka menambahkan dalam Peraturan Harta dalam
Islam, “Cobalah gambarkan rupa masyarakat jika ajaran seperti ini berlaku dalam
masyarakat. Ekonomi berpadu dengan budi. Dilarang yang kaya berbuat suka hati
dengan hartanya untuk pelesir, minum dan bertaruh lomba kuda dan lain-lain.
Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bagian hartanya untuk membantu yang
miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak masyarakat. Kalau ini terjadi,
pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang, pelepasan dendam
yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya dan miskin terlalu
miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali halus yang
menghubungkan, tali bakti kepada Allah dalam masyarakat”. Mungkin ini hanya
sekedar imajinasi dalam Reformasi 2.0?
Bahan Bacaan:
Engineer,
Asghar Ali, 2009. Islam dan Teologi Pembebasan. Cetakan V. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Hamka,
2016. Keadilan Sosial dalam Islam. Cetakan Kedua. Gema Insani. Jakarta.
Hatta,
Muhammad, 2014. Demokrasi Kita. Cetakan Keempat. Sega Arsy. Bandung.
Madjid,
Nurcholish, 2013. Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan. Bagian Islam dan
Cita-Cita Keadilan Sosial (Halaman 123). Cetakan I Edisi Baru. Penerbit Mizan.
Bandung.
Prasetyo, Eko, 2014. Islam Kiri:
Jalan Menuju Revolusi Sosial. Cetakan Ketiga. Resist Book. Jogjakarta.
Qutbh,
Sayyid. 1994. al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam (Keadilan Sosial dalam
Islam). Cetakan II. Penerbit Pustaka. Bandung.
Rais, M. Amien, 2004. Hubungan
Antara Politik dan Dakwah. Penerbit Mujahid Press. Bandung.
Tjokroaminoto, HOS, 2010. Islam dan
Sosialisme. Cetakan Kedua. Sega Arsy. Bandung.
Toer, Pramoedya Ananta, 2011. Bumi
Manusia. Cetakan Ketujuh Belas. Lentera Dipantara. Jakarta Timur.
Toer,
Pramoedya Ananta, 2012. Jejak Langkah. Cetakan Kesembilan. Lentera Dipantara.
Jakarta Timur.
Posting Komentar
0 Komentar