Menggugat Keadilan Sosial dalam Reformasi 2.0

 

Menggugat Keadilan Sosial dalam Reformasi 2.0
M. Sadli Umasangaji




png tree




 

Di tengah kepemimpinan yang mendramatisasi citra diri itu, orang-orang menjerit karena harga-harga selangit, naiklah bahan-bahan sembako dan kebutuhan sehari-hari, naiklah bahan bakar minyak dalam diam di tengah malam, naiklah tarif dasar listrik, merambat kemana-mana tenaga asing, pengangguran menjadi derita anak bangsa yang mulai mencari kerja. Maka ada orang yang menyebutnya sebagai tuna visi nan kefakiran empati. Beban hidup rakyat yang makin berat. Ketika harga cabai naik, minta untuk ditanam, harga listrik naik minta hidup irit, harga beras naik, minta untuk ditawar. Sama seperti orde baru, rakyat harus makan belalang. Dan di tengah-tengah itu pula mulai orang-orang membicarakan reformasi jilid 2.0. Seperti dalam Jiwa-Jiwa Mati, adanya akal licik pegawai yang ambisius guna memperoleh keuntungan dari hasil manipulasi dan korupsi. Kemudian menyayat borok nafsu tamak manusia serakah.

Memang berjalan menuju ke dekade ketiga reformasi ini, kran kebebasan semakin terlihat. Tapi di masa-masa ini pula kegaduhan dalam politik merembes untuk menutupi kran kebebasan dengan dalih-dalih pandangan pemilik kekuasaan. Organisasi Masyarakat yang berlawanan ideologi dibrendel aktivitasnya. Bukankah kebebasan berpendapat adalah bagian dari gagasan reformasi?

Memang orang-orang sudah bebas untuk memilih saat berlangsungnya pemilihan umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadirnya reformasi menghidupkan demokrasi. Tapi yang lebih penting adalah demokrasi substansial. Dan harus dikatakan bahwa ujung dari demokrasi substansial adalah keadilan sosial.

 

Jalan Reformasi; Sebuah Ide Demokrasi

Pemilu secara langsung, media massa, organisasi kemasyarakatan yang kritis hanya imbas dari berkah demokrasi dan bagian dari demokrasi prosedural serta bukanlah hakikat demokrasi itu sendiri. Selama nilai-nilai kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternate), belum berimbas pada kesejahteraan rakyat, selama itu pula demokrasi pemanis bibir. Demokrasi prosedural dan substansial harus berjalan beriringan, karena demokrasi bukan sekedar nilai ideal yang berlangsung dalam relung filosofis dan berkutat pada aras kesadaran, namun juga praktik sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Beberapa aspek permasalahan demokrasi kini, pertama, pandangan politik itu kotor. Dalam hal ini orang (umumnya masyarakat) berpandangan politik dinilai hanya semata berpikir tentang kekuasaan. Sinisme politik. Politik berbanding lurus dengan kemajuan demokratis. Hari-hari ini demokrasi mengedepankan oligarki kekuasaan. Kedua, politik membutuhkan kekuasaan. Bentuk perwakilan representatif terkadang tidak merasa terwakili. Representasi masih berhenti pada cita-cita belum pada tataran realitas. Adanya dominasi kaum pemilik modal, orang-orang seperti ini sangat dominan dalam pemilihan. Ketiga, partisipasi langsung, ini yang membuat representasi masih dalam tataran cita-cita. Keempat, ada upaya pembatasan berorganisasi atau berkelompok. Kelima, munculnya aktor-aktor yang terintegrasi dalam sistem.

Maka pada titik inilah kita akan bertanya dengan ironis, dimana reformasi dan demokrasi saat harga-harga kebutuhan pokok yang terkait hajat dasar hidup, sulit terjangkau? Dimana demokrasi, kalau banyak titipan asing dalam undang-undang kita? Bahkan bebas dalam segala hal hingga kebebasan tak bertanggungjawab.

Ada dua agenda reformasi menurut Amien Rais dulu, pertama, jangka pendek, dan kedua, jangka panjang. Salah satu tugas bersama yang perlu diperhatikan dengan sungguh adalah bagaimana supaya kita dapat keluar dari situasi krisis dan gejolak ekonomi dengan selamat. Supaya krisis dan perubahan yang sedang berlangsung tak mengarah pada kemerosotan politik dan ekonomi lebih jauh, kita memerlukan serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan personal-persoalan jangka pendek dimaksudkan untuk mengelola dan mengatasi krisis yang sedang terjadi, sedangkan kebijakan dan tindakan jangka panjang dimaksudkan sebagai usaha memantapkan kehadiran dan posisi Indonesia. Agenda reformasi jangka panjang menurut Amien Rais ada 4, pertama, pendidikan, kedua, teknologi, ketiga, politik, dan keempat demokrasi.

            Yang penting bagi kita ialah berbuat dan bertanggung jawab. Salah satu sikap seorang demokratis adalah tidak melakukan teror mental terhadap orang yang mau besikap lain. Membiarkan orang lain menentukan sikap dengan perasaan bebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan isi hatinya sendiri merupakan pencerminan sikap seorang demokratis.

Terkait dengan upaya menciptakan ruang politik yang bebas dominasi maka pilihannya ada pada individu. Ruang bebas politik terhampar maka pilihannya yang pada dasarnya jika manusia kembali pada kondisi alamiahnya, maka ia memilih untuk bebas. Dengan demikian bahwa aktivitas dalam masyarakat politik merupakan aktivitas antara manusia-manusia dengan ciri dan karakter yang berbeda satu sama lain. Idealnya, aktivitas politik merupakan aktivitas bebas tekanan           . Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan, monopoli harus disingkirkan dari arena politik. Ruang publik harus inklusif, egaliter dan bebas tekanan.

Maka demikian, yang dilakukan sepatutnya adalah perjuangan ideologi bukan perang ideologi. Sebagaimana pandangan Muhammad Hatta dalam Demokrasi Kita, menyebutkan perjuangan ideologi. Perjuangan ideologi antar kelompok-kelompok politik jangan diartikan dengan perang ideologi. Tiap-tiap kelompok akan mempropagandakan ideologinya kepada rakyat, tetapi dalam propaganda itu hendaklah dijaga tertib sopan dan bersikap sebagai seorang kesatria. Betapapun juga bedanya paham dan pendirian, pada tujuan yang terpenting semuanya sama.

Jalan politiknya sebagaimana gagasan Amien Rais dalam Hubungan antara Politik dan Dakwah, menjelaskan tentang High Politics, dengan ciri-ciri minimal diantaranya, amanah, masuliyyah (pertanggungjawaban), prinsip ukhuwah (persatuan), maka sangat kondusif bagi pelaksanaan amar maruf dan nahi munkar. Barangkali inilah antara lain yang dimaksud oleh Q.S al-Hajj : 22 : 41, “Yaitu orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.

            Timbullah pertanyaan, “Apakah corak yang boleh diberikan kepada bentuk pemerintah Islam? Teokrasikah atau demokrasi? Teokrasi  tidak mau dipasangkan sebab dihambat oleh pengakuan Allah sendiri dalam al-Qur’an bahwa manusia adalah khalifah-Nya di bumi. Manusia dan kemanusiaan, bukan beberapa orang saja. Bukankah pemerintahan teokrasi itu, tersebut dalam sejarah, yaitu pengakuan orang banyak bahwa raja atau pendeta adalah wakil Allah untuk memerintah orang banyak di bumi. Dengan demikian, pemerintahannya dipandang suci dan tidak boleh dibantah dan tidak boleh disentuh senggah?

            Demokrasi yang cepat masuk ke dalam pikiran kita sekarang ini, yang menjalar dari peradaban Eropa barat, memisahkan agama dari Negara, tidak pula dapat dipasangkan. Sebab dalam keyakinan Islam, kita mengatur Negara bersama-sama atas kehendak Allah. Kita angkat pemerintahan, kepala Negara, dengan nama Raja, Khalifah, Sultan, Malik dan lain-lain, adalah atas kehendak kita sendiri dan daulatnya dari kita. Dia diakui Allah memegang Negara dan diberi batas-batas syarat tertentu dalam al-Qur’an dan hadits adalah karena kita mengangkatnya.

            Hamka kemudian memberi nama dalam sebuah gagasannya dengan “Demokrasi Takwa”. Ia juga menuliskan seorang ahli pikir Islam di Pakistan member nama yang modern yang menggabung dua variable teokrasi dan demokrasi, menjadi teodemokrasi. Hamka melanjutkan “Tentang menyusun pemerintahan, bagaimana yang praktis, asal saja tidak menghambat kemerdekaan masyarakat, lalu dikumpulkan kepada orang-seorang, seperti diktator-proletar Rusia sekarang ini dalam praktik, atau beberapa orang dengan kekuasaan uangnya memegang kekang masyarakat dan memperkuda-kudanya, lalu memberi nama itulah demokrasi, seperti Amerika sekarang. Tentang susunan mana yang lebih baik, umat Islam dengan keizinan agamanya pun turut bersama isi dunia mencari mana yang lebih sempurna”. Maka kembali pada pemaknaan bersama, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kita semua telah mengetahui kedudukan cita-cita pada kehidupan bernegara.

 

Keadilan Sosial dan Berpihak pada Kaum Miskin

Agenda Reformasi yang dijelaskan Amien Rais, penanganan jangka pendek adalah penanganan krisis ekonomi. Tapi pada realitas kini, kita sama-sama sadari bahwa nilai tukar dollar terhadap rupiah semakin menjerit. Agenda reformasi jangka panjang menurut Amien Rais ada 4, pertama, pendidikan, kedua, teknologi, ketiga, politik, dan keempat demokrasi.

Pendidikan sebagai ranah dalam pengembangan sumber daya manusia. Manusia-manusia Indonesia dengan memenuhi berpendidikan tinggi akan menjadi basis sosial kelas menengah yang rasional. Tapi realitas kini, di Indonesia Timur berbanding terbalik dengan Daerah Indonesia Barat. Dan sikap Jawanisasi dalam pembangunan dan budaya cenderung dominan dalam Indonesia termasuk orang-orang yang berpendidikan tentu lebih dominan di daerah Jawa ketimbang daerah Timur Nusantara. Ketimpangan pendidikan jelas terjadi. Pemerataan pendidikan patut menjadi keseriusan bersama. Dalam sebuah pandangan, bila dari 10 kasus hampir diatas setengah sebagaian kasus penderita gizi buruk disertai dengan pendidikan orang tua yang dibawah SMA. Dan pekerjaannya kalau tidak petani, ya nelayan. Petani yang tidak punya lahan, dan tidak memiliki modal. Dengan demikian keseluruhan agenda reformasi harus berujung kepada keadilan sosial. Kalau terlalu kiri bila menyebut sama rasa sama rata dalam sebuah ukuran persatuan.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat terus meningkat pada 2015. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Kemiskinan, jumlah penduduk miskin terus meningkat pada 2015 yakni sebesar 11,13 persen atau sebanyak 28,51 juta orang. Sedangkan pada 2014 jumlah penduduk miskin sebesar 10,96 persen atau 27,73 juta orang. Naiknya harga beras pun disebutkan memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan daya beli masyarakat miskin. Kondisi ini kemudian menyebabkan kemiskinan meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 28,51 juta jiwa atau 11.13 persen dari total penduduk sampai September 2015.

Tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kita semua telah mengetahui kedudukan cita-cita pada kehidupan bernegara. Ia merupakan sumber tujuan sebenarnya Republik yang merdeka ini, dan merupakan sumber semangat bagi mereka yang hendak berdharma kepada rakyat. Sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Keadilan sosial itulah, jika ditilik dari sudut susunan Pancasila, yang merupakan tujuan kita bernegara. (Madjid, 2013)

Dalam Islam dan Sosialisme, Tjokroaminoto menguraikan Pengertian Sosialisme, ‘sosialisme’ awalnya dari perkataan bahasa latin ‘socius’, makna dalam bahasa melayu sebagai teman, dan bisa jadi sebagai ‘kita’. Sosialisme menghendaki cara hidup “satu buat semua dan semua buat satu”, yaitu suatu cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain. Segala teori (sosialisme) ini juga mempunyai maksud akan memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya. Agar supaya mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, yaitu dengan memerangi sebab-sebab menimbulkan kemiskinan.

“Menyediakan ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai ekonomi yang merata dalam semua segi yang menunjang kehidupan, merupakan cara yang paling ampuh untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan sosial, serta mewujudkan keadilan dalam setiap segi kemanusiaan” (Qutbh, 1994).

            Dengan demikian, sebagaimana gagasan Asghar Ali Enggineer, tantangan kemiskinan harus diatasi dengan membangun struktur sosial yang bebas dari eksplotasi penindasan dan konsentrasi kekayaan pada segilintir tangan. Dalam struktur sosial yang seperti ini terdapat nilai kebenaran yang lain, yaitu keadilan di bidang sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Keadilan dan keseimbangan ekonomi ini diperlukan karena demikian berarti kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, dan seterusnya dapat terpenuhi, sehingga kecenderungan gaya hidup boros dapat ditekan.

            Kemudian kita dapat mengeksplor dalam apa yang menjadi agenda gerakan Islam Kiri? Hassan Hanafi menyatakan setidaknya ada beberapa tantangan yang dihadapi; (1) Kebebasan universal melawan penindasan, dominasi, dan kediktatoran dari dalam, (2) Keadilan sosial menghadapi kesenjangan lebar antara kaum miskin dan kaya, (3) Persatuan menghadapi keterpecahbelahan dan diaspora, (4) Pertumbuhan melawan keterbelakangan sosial, ekonomi, politik dan budaya, (5) Mobilisasi kekuatan massa melawan apatisme.

            Kita dapat memulai dengan kesadaran, pendataan secara baik dalam birokrasi untuk pengentasan kemiskinan, keseriusan program pemerintah yang pro kaum miskin, membuka ruang kerja sebagai upaya peningkatan ekonomi, membuat sistem yang melawan oligarki kekayaan pada segilintir orang, memilih pemimpin yang membela kaum tertindas, sistem jaminan sosial yang tanpa membayar bulanan, membentuk sistem kesadaran masyarakat bersama, melawan sikap koruptif. Dalam Jejak Langkah, Pramoedya menuliskan, “Penderitaan yang sedalam-dalamnya; penderitaan yang berlipat-berpilin dengan kemiskinan, dengan ketiadadayaan”.

            Nurcholish Madjid (2013), menyatakan tentang prinsip-prinsip dalam agama Islam dengan kaitan semangat sosialisme. (1) seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhan-lah pemilik mutlak segala yang ada, (2) benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia (kekayaan sebagai amanah), (3) penerima amanah harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan ‘kemauan’ Sang Pemberi Amanah (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan menurut jalan Allah. (4) kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanah Allah itu (yaitu mengumpulkan kekayaan) harus didapatkan dengan cara bersih dan jujur (halal). (5) setiap tahun, harta yang halal itu dibersihkan dengan zakat. (6) penerima amanah harta tidak berhak mengunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya, melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung rasa keadilan umum. (7) orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam harta orang-orang kaya. (8) dalam skeadaan tertentu, kaum miskin berhak merebut hak mereka dari orang-orang kaya, jika kedua ingkar. (9) kejahatan tertinggi terhadap kemanusiaan ialah penumpukan kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi sosial. (10) cara memperoleh kekayaan yang paling jahat adalah riba. (11) manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum menyosialisasikan harta yang dicintainya.

            Bukankah al-Qur’an telah menasbihkan, “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi” (Q.S. Al-Qasas : 28 : 05).

 

Kontemplasi Bersama

Dalam kontemplasi bersama ini mari kita mulai dengan pandangan dan kita juga sama-sama tahu bahwa tokoh-tokoh dan aktivis-aktivis yang berdarah-darah saat mewujudnya reformasi, kini telah masuk dalam posisi strategis tapi apakah memperbaiki hak kebutuhan hidup kaum miskin? Minimal meminimalisir kemiskinan. Atau hanya kran kebebasan yang terbuka dan para aktivis dan tokoh itu makin gendut dalam kekayaan? Maka kita dengan kesadaran akan bertanya seperti yang tulis Pramoedya dalam Jejak Langkah, “bertanya pada diri sendiri: apakah telah kau berikan pada kehidupan ini, hei, kau manusia terpelajar?”. Atau kata Pramoedya dalam Bumi Manusia, “Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas”.

Kemudian kita berjalan dalam mengulas ide Hamka menambahkan dalam Peraturan Harta dalam Islam, “Cobalah gambarkan rupa masyarakat jika ajaran seperti ini berlaku dalam masyarakat. Ekonomi berpadu dengan budi. Dilarang yang kaya berbuat suka hati dengan hartanya untuk pelesir, minum dan bertaruh lomba kuda dan lain-lain. Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bagian hartanya untuk membantu yang miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak masyarakat. Kalau ini terjadi, pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang, pelepasan dendam yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya dan miskin terlalu miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali halus yang menghubungkan, tali bakti kepada Allah dalam masyarakat”. Mungkin ini hanya sekedar imajinasi dalam Reformasi 2.0?

 

Bahan Bacaan:

 

Engineer, Asghar Ali, 2009. Islam dan Teologi Pembebasan. Cetakan V. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Hamka, 2016. Keadilan Sosial dalam Islam. Cetakan Kedua. Gema Insani. Jakarta.

Hatta, Muhammad, 2014. Demokrasi Kita. Cetakan Keempat. Sega Arsy. Bandung.

Madjid, Nurcholish, 2013. Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan. Bagian Islam dan Cita-Cita Keadilan Sosial (Halaman 123). Cetakan I Edisi Baru. Penerbit Mizan. Bandung.    

            Prasetyo, Eko, 2014. Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial. Cetakan Ketiga. Resist Book. Jogjakarta.

Qutbh, Sayyid. 1994. al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam (Keadilan Sosial dalam Islam). Cetakan II. Penerbit Pustaka. Bandung.

            Rais, M. Amien, 2004. Hubungan Antara Politik dan Dakwah. Penerbit Mujahid Press. Bandung.

            Tjokroaminoto, HOS, 2010. Islam dan Sosialisme. Cetakan Kedua. Sega Arsy. Bandung.

            Toer, Pramoedya Ananta, 2011. Bumi Manusia. Cetakan Ketujuh Belas. Lentera Dipantara. Jakarta Timur.

Toer, Pramoedya Ananta, 2012. Jejak Langkah. Cetakan Kesembilan. Lentera Dipantara. Jakarta Timur.

Posting Komentar

0 Komentar