Sekedar Pengantar Politik Islam dan Barat


Sekedar Pengantar Politik Islam dan Barat
(M. Sadli Umasangaji)



(keterangan gambar: indoprogress.com)





Pendahuluan

Sejarah politik klasik telah mengisyaratkan bahwa kekuasaan lahir dari ketidakmungkinan individu mengatur diri sendiri akibat saratnya kepentingan yang berbenturan. Jika pemikiran politik modern menyadari bahwa kekuasaan dalam bentuk negara diperlukan untuk membina kehidupan individu, maka kondisi ideal negara adalah perpanjangan tangan kekuasaan rakyat. Akan tetapi, kondisi ideal tersebut senantiasa berbenturan dengan realitas politik yang terhampar di depan mata rakyat.

Hobbes menyatakan bahwa cita-cita hidup setiap manusia adalah untuk meraih kesejahteraan (commonwealth), di mana setiap manusia bisa hidup terjamin, lepas dari kesengsaraan perang. Manusia yang hidup atas prinsip justice, equity, modesty, mercy serta memperlakukan orang lain sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Negara tidak mewakili yang kuat, tetapi kepentingan umum. Negara menjalankan kekuasaannya atas dasar kepentingan umum. Saat itulah lahir political society (masyarakat politik), dimana kemerdekaan individu diserahkan kepada negara dalam sebuah masyarakat politik.

Hakikat kekuasaan tidak terlepas dari pembicaraan tentang otoritas. Hal itu tergambar sejak zaman Yunani Kuno, dimana istilah seperti kratos yang berarti kekuasaan dan arke yang berarti otoritas muncul dalam bahasa politik. Perbincangan tentang otoritas seringkali menyisakan persoalan dalam praktik. Mulai dari lingkung kecil hingga ranah yang lebih besar seperti negara.

Idealisme tentang kekuasaan pun berkembang dalam rentang waktu yang lama, hingga menuai momentum pemikiran filosofinya pasca Abad Pertengahan saat para pemikir politik dan filsuf seperti Machiavelli, Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J Rousseau (Hamzah, 2010).

Demikian bahwa orientasi politik akan menumbuhkan gagasan ideologi. Maka pemikiran politik tak terlepas dari gagasan ideologi. Ideologi-ideologi ini semisal liberalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme dan lainnya. Secara makro, dua ideologi semisal kapitalisme dan sosialisme menjadi gambaran utama. Selanjutnya bahwa setiap ideologi juga menimbulkan faksi dalam ideologinya sendiri.



Politik Barat

Politik barat kalau dilihat penjelasan umumnya tersirat jelas dari zaman Yunani Kuno hingga ideologi-ideologi dunia. Iqra Anugrah menuliskan thesis utama Wood cukup jelas dan gamblang, yaitu sejarah pemikiran politik Barat dari zaman Yunani Kuno hingga Abad Pertengahan, didominasi oleh dua ketegangan: pertama, ketegangan antara kelas yang menguasai kepemilikan aset terutama tanah vis-à-vis demos – yaitu rakyat banyak yang rata-rata berprofesi sebagai petani penggarap; dan kedua, bagaimana menjustifikasi kekuasaan negara yang absolutis plus ketimpangan politik, ekonomi, sosial dan legal yang dilembagakan berdasarkan dalil ‘kesetaraan manusia’ menurut hukum alam (natural law).

Tetapi satu gambaran pasti bahwa politik barat diidentikkan dengan liberalisme dan jalan tengah yakni demokrasi. Kebebasan yang diserukan Barat adalah kebebasan yang bersifat individual. Mereka berpendapat bahwa kebebasan individu tidak memiliki batas kecuali jika bertabrakan dengan kebebasan orang lain.

Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.

​Kapitalisme asalnya dari kata kapital, yang berarti modal. Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi dimana sektor industri perdagangan, dan alat-alat produksi dikontrol oleh pihak privat atau sektor swasta dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut. Paham kapitalisme lebih cenderung mengarah ke perekonomian daripada politik.



Politik Kiri

Kata kiri diidentikkan dengan sosialisme, komunisme dan komunitarianisme. Sosialisme atau sosialis adalah paham yang bertujuan membentuk negara kemakmuran dengan usaha kolektif yang produktif dan membatasi milik perseorangan. Sosialisme dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan dengan ideologi atau kelompok ideologi, sistem ekonomi, dan negara. Secara ringkas, Sosialisme adalah rasa perhatian, simpati dan empati antar individu kepada individu lainnya tanpa memandang status. Sistem ekonomi sosialisme sebenarnya cukup sederhana. Semua aspek ekonomi dianggap sebagai milik bersama, tapi bukan berarti harus dimiliki secara sepanuhnya secara bersama, semua aspek ekonomi boleh dimiliki secara pribadi masing-masing, dengan syarat boleh digunakan secara Sosialis, mirip dengan gotong-royong sebenarnya. Sejak abad ke-19, sosialisme telah berkembang ke banyak aliran yang berbeda, yaitu Anarkisme, Komunisme, Marhaenisme, Marxisme, dan Sindikalisme.

Marta Hecneker (2015), golongan kiri juga menjadi dewasa dalam hubungannya dengan gerakan-gerakan rakyat ketika mereka mengerti bahwa gerakan-gerakan rakyat ketika mereka mengerti bahwa gerakan-gerakan ini tidak boleh diperlakukan sebagai penyalur untuk keputusan-keputusan ‘partai’ tetapi harus memiliki otonomi yang semakin meningkat, sehingga mereka bisa mengembangkan agenda-agenda perjuangan mereka sendiri. Golongan kiri juga mulai mengerti bahwa perannya adalah mengkoordinasikan bermacam-macam agenda dan bukan menyusun satu agenda tunggal dari atas. Golongan kiri harus mengerti bahwa perannya adalah memberi orientasi, memfasilitasi, dan berjalan bersama, tetapi bukan menggantikan, gerakan-gerakan ini, dan bahwa sikap ‘vertikalis’ yang merusak inisiatif rakyat harus dilenyapkan. Sekarang dimengerti bahwa gerakan kiri harus belajar untuk mendengarkan, untuk membuat diagnosis yang tepat mengenai tahap-tahap pikiran rakyat, dan mendengar secara teliti solusi-solusi yang disampaikan oleh rakyat. Golongan kiri juga harus menyadari bahwa untuk membantu rakyat menjadi, dan merasa bahwa mereka adalah pelaku, golongan kiri harus meninggalkan gaya pemimpin militer vertikalis menuju pendidik rakyat, yang mampu untuk mengerahkan kekuatan semua kearifan yang telah dikumpulkan rakyat.

Yang menjadi pelopor adalah gerakan-gerakan rakyat. Gerakan-gerakan ini berkembang dalam konteks krisis legitimasi model neoliberal dan krisis yang dihadapi lembaga-lembaga politiknya. Gerakan-gerakan ini tumbuh dari dinamika perlawanan di komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi lokal mereka. Ini adalah gerakan yang sangat majemuk, dimana unsur-unsur teologi pembebasan, nasionalisme revolusioner, marxisme, indigenisme, dan anarkisme hidup berdampingan. Mengapa berbicara mengenai sosialisme? Kita bisa bertanya. Bagaimanapun, ‘sosialisme’ punya pengertian sampingan yang negatif sejak kejatuhan di Uni Soviet dan Negara-negara di Eropa Timur lainnya. (Harnecker, 2015).



Islam Sebagai Politik

Pemikiran soal Islam adalah sesuatu yang syumul telah menjadi kemutlakan bahwa Islam juga terlibat sebagai gerakan politik. Hal ini karena Islam mencakup semua dimensi kehidupan dengan syariat dan pengarahannya. Islam menata kehidupan manusia sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan sejak sebelum dilahirkan dan sesudah meninggal dunia. Kita melihat berbagai ketentuan Islam yang berkaitan dengan janin dan ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan manusia setelah meninggal dunia. Selain itu, Islam juga menata kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan kehidupan politik. (Qardhawi, 2013).

Yusuf Qardhawi juga menjelaskan bahwa sejatinya tidak ada Islam Politik, karena sesungguhnya Islam adalah politik juga. Bahkan ia mengatakan Kepribadian Muslim adalah Kepribadian Politikus. Qardhawi juga mengatakan Islam yang benar, pasti menggeluti masalah politik. Keintegralan Islam membuat Islam merupakan sikap yang jelas dan ketentuan yang tegas tentang berbagai persoalan yang dianggap persoalan politik yang mendasar.

Islam menempatkan bahwa keterlibatan dalam politik adalah kewajiban di pundak setiap Muslim yang disebut sebagai amar makruf dan nahi mungkar. Kepribadian Muslim, tulis Yusuf Qardhawi, seperti yang dibina oleh Islam dan ditempa oleh aqidah, ibadah, dan tarbiyah adalah kepribadian politikus, kecuali dia salah paham terhadap Islam dan salah pula menerapkannya. Kewajiban ini mungkin saja dilaksanakan dalam bentuk nasihat kepada penguasa dan kaum muslimin secara umum. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah yang mengatakan, “agama adalah nasihat”. Dan mungkin juga dalam bentuk saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. Kedua hal ini merupakan syarat utama untuk menghindari kerugian, baik di dunia maupun di akhirat. Kegiatan seorang Muslim dalam menata masalah umatnya sekarang dinamakan dengan kegiatan politik.



Pilihan Kita: Jalan Alternatif, Jalan Tengah atau High Politics

Dari segi teori, politik adalah suatu pengetahuan yang penting dan bergengsi, dan dari segi praktis, politik adalah suatu profesi yang terhormat dan bermanfaat. Sebab, politik berkaitan dengan penataan persoalan manusia sebaik mungkin (Qardhawi, 2013). Ibnu Qayyim dalam (Qardhawi, 2013), dengan mengutip Imam Abi Wafa bin Aqil al Hambali, “Politik adalah tindakan yang mendekatkan manusia kepada kebaikan dan menjauhkan dari kerusakan, selama tidak berlawanan dengan syariat”. Ibnu Qayyim kemudian mengatakan, “Politik yang adil tidak akan berlawanan dengan kemauan syariat, tapi serasi dengan berbagai ketentuannya, bahkan politik merupakan bagian darinya. Kami menamakannya ‘politik’ hanya karena mengikuti istilah kalian, padalah politik dasarnya adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya”.

Dalam buku lain, (Umat Islam Menyongsong Abad ke 21), Yusuf Qardhawi menuliskan, “Kita harus perjelas bagaimana sikap kita (umat Islam) menghadapi Barat? Bagaimana hubungan kita dengan mereka? Mungkinkah kita jalin hubungan saling kenal dan saling paham, atau harus dijalin hubungan permusuhan dan konflik?”. Yusuf Qardhawi kemudian menuliskan Islam adalah agama universal. Bagi Islam, tidak ada perbedaan antara Barat dan Timur. Ia adalah bagian dari Kerajaan Allah yang Maha Luas. Problematika sebenarnya terletak pada orang-orang Barat atau jika lebih detail pada kebanyakan mereka dan sikap mereka terhadap Islam. Citra buruk tentang Islam yang sudah mengkristal dalam alam pikiran Barat ini, mereka varisi sejak Perang Salib, ketika tentara salib Eropa datang melakukan penyerangan yang terus-menerus, lalu membangun berbagai kerajaan dan keamiran di sana. Pada mulanya, pasukan salib Eropa selalu menuai kemenangan, namun berikutnya mereka menderita kekalahan demi kekalahan dalam Perang. Peperang-perangan ini telah menimbulkan dampak psikologis dan pemikiran yang besar, termasuk kebangkitan setelah itu, termasuk pandangan terhadap Islam.

Secara murni politik praktis di setiap negara pasti dan bahkan pernah dihinggapi oleh ideologi-ideologi dunia, termasuk Indonesia. Ada Partai Komunis Indonesia, Masyumi, Partai Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, dan lainnya. Maka pertautan politik adalah pertautan ideologi. Sebagaimana pandangan klasik dari M. Hatta yakni yang diperlukan adalah perjuangan ideologi bukan perang ideologi. Sebagaimana pandangan Muhammad Hatta dalam Demokrasi Kita, menyebutkan perjuangan ideologi. Perjuangan ideologi antar kelompok-kelompok politik jangan diartikan dengan perang ideologi. Tiap-tiap kelompok akan mempropagandakan ideologinya kepada rakyat, tetapi dalam propaganda itu hendaklah dijaga tertib sopan dan bersikap sebagai seorang kesatria. Betapapun juga bedanya paham dan pendirian, pada tujuan yang terpenting semuanya sama.

Selanjutnya integrasi pilihan kita terletak pada Jalan Tengah, Jalan Alternatif, dan High Politics. Jalan Tengah dalam posisi ini tentu diartikan sebagai demokrasi. Pemilu secara langsung, media massa, organisasi kemasyarakatan yang kritis hanya imbas dari berkah demokrasi dan bagian dari demokrasi prosedural serta bukanlah hakikat demokrasi itu sendiri. Selama nilai-nilai kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternate), belum berimbas pada kesejahteraan rakyat, selama itu pula demokrasi pemanis bibir. Demokrasi prosedural dan substansial harus berjalan beriringan, karena demokrasi bukan sekedar nilai ideal yang berlangsung dalam relung filosofis dan berkutat pada aras kesadaran, namun juga praktik sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Beberapa aspek permasalahan demokrasi kini, pertama, pandangan politik itu kotor. Dalam hal ini orang (umumnya masyarakat) berpandangan politik dinilai hanya semata berpikir tentang kekuasaan. Sinisme politik. Politik berbanding lurus dengan kemajuan demokratis. Hari-hari ini demokrasi mengedepankan oligarki kekuasaan. Kedua, politik membutuhkan kekuasaan. Bentuk perwakilan representatif terkadang tidak merasa terwakili. Representasi masih berhenti pada cita-cita belum pada tataran realitas. Adanya dominasi kaum pemilik modal, orang-orang seperti ini sangat dominan dalam pemilihan. Ketiga, partisipasi langsung, ini yang membuat representasi masih dalam tataran cita-cita. Keempat, ada upaya pembatasan berorganisasi atau berkelompok. Kelima, munculnya aktor-aktor yang terintegrasi dalam sistem.

Maka pada titik inilah kita akan bertanya dengan ironis, dimana reformasi dan demokrasi saat harga-harga kebutuhan pokok yang terkait hajat dasar hidup, sulit terjangkau? Dimana demokrasi, kalau banyak titipan asing dalam undang-undang kita? Bahkan bebas dalam segala hal hingga kebebasan tak bertanggungjawab. Ada dua agenda reformasi menurut Amien Rais dulu, pertama, jangka pendek, dan kedua, jangka panjang. Salah satu tugas bersama yang perlu diperhatikan dengan sungguh adalah bagaimana supaya kita dapat keluar dari situasi krisis dan gejolak ekonomi dengan selamat. Supaya krisis dan perubahan yang sedang berlangsung tak mengarah pada kemerosotan politik dan ekonomi lebih jauh, kita memerlukan serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan personal-persoalan jangka pendek dimaksudkan untuk mengelola dan mengatasi krisis yang sedang terjadi, sedangkan kebijakan dan tindakan jangka panjang dimaksudkan sebagai usaha memantapkan kehadiran dan posisi Indonesia. Agenda reformasi jangka panjang menurut Amien Rais ada 4, pertama, pendidikan, kedua, teknologi, ketiga, politik, dan keempat demokrasi.

Yang penting bagi kita ialah berbuat dan bertanggung jawab. Salah satu sikap seorang demokratis adalah tidak melakukan teror mental terhadap orang yang mau besikap lain. Membiarkan orang lain menentukan sikap dengan perasaan bebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan isi hatinya sendiri merupakan pencerminan sikap seorang demokratis. Terkait dengan upaya menciptakan ruang politik yang bebas dominasi maka pilihannya ada pada individu. Ruang bebas politik terhampar maka pilihannya yang pada dasarnya jika manusia kembali pada kondisi alamiahnya, maka ia memilih untuk bebas. Dengan demikian bahwa aktivitas dalam masyarakat politik merupakan aktivitas antara manusia-manusia dengan ciri dan karakter yang berbeda satu sama lain. Idealnya, aktivitas politik merupakan aktivitas bebas tekanan. Segala bentuk dominasi, penggunaan kekerasan, paksaan, monopoli harus disingkirkan dari arena politik. Ruang publik harus inklusif, egaliter dan bebas tekanan.

Sedangkan Jalan Alternatif adalah kolaborasi Islam dengan keadilan sosial. Dalam konteks tertentu disebutkan sebagai Islam Kiri ataupun Sosialisme Religius atau gagasan Amin Rais soal Tauhid Sosial. Dalam konteks Indonesia, bahkan suatu frasa, yakni Sosialisme Religius, baik sebagai istilah maupun sebagai ide bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. Sudah semenjak masa perkembangan Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide sosialisme-religius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. HOS Tjoktoraminto menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agam Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis sebuah pamflet yang isinya menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai “Islam Kiri” atau “Islam Sosialis” (Madjid, 2013).

Tjokroaminoto sendiri menuliskan, “Bahwa orang harus membedakan antara paham sosialisme sebagai pelajaran dan sosialisme sebagai suatu pengaturan pergaulan hidup bersama (sistem)”. Dalam Islam dan Sosialisme, Tjokroaminoto menguraikan Pengertian Sosialisme, ‘sosialisme’ awalnya dari perkataan bahasa latin ‘socius’, makna dalam bahasa melayu sebagai teman, dan bisa jadi sebagai ‘kita’. Sosialisme menghendaki cara hidup “satu buat semua dan semua buat satu”, yaitu suatu cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain. Segala teori (sosialisme) ini juga mempunyai maksud akan memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya. Agar supaya mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, yaitu dengan memerangi sebab-sebab menimbulkan kemiskinan.

Keimanan sebagai sesuatu dihunjam dalam hati, ditegaskan melalui lisan, dan kemudian tergerak oleh perilaku. Kiri ditempatkan sebagai sebuah perasaan yang paling halus ketika melihat realitas sosial, mengiba melihat kemiskinan, melawan melihat penindasan, menangis melihat penderitaan, ringkih melihat kelaparan. Dari “keimanan yang kiri”, menjadi Islam Kiri, dan kita bertanya mengapa demikian? Sebuah keimanan yang beranjak dari pergulatannya atas semua problem sosial untuk dipecahkan mengikuti sabda Illahi. Mengapa harus kiri? Karena ada peninggalan Marx, menurut Louis Althusser (dalam Prasetyo, Eko, 2014), yang tampaknya bisa dijadikan ‘alat bantu’ analisis; pertama, Marx meneumukan konsep cara produksi dalam sejarah dan secara khusus cara produksi kapitalis (nilai lebih, nilai tukar, komoditas) yang selama ini mengambil peranan dalam membentuk tatanan sosial.

Syarat-syarat Sosialisme Religius diantaranya transdenesi, relativitas, dan harapan. Misi Islam Kiri adalah pendistribusian kembali kekayaan Muslim di antara sesama Muslim sebagaimana ketentuan Islam, berdasarkan pekerjaan, usaha, dan keringat. Dan ini diberlakukan sebagai bentuk keadilan kepada muslim dan non Muslim, semua umat, semua rakyat. Atau seperti gagasan Asghar Ali dengan pendekatan kiri mulai membentangkan tahapan perjuangan Nabi dalam kerangka konfilk antar kelas sosial. Mirip dengan gagasan Teologi Pembebasan Amerika Latin, yang memaknai pembebasan yakni; pertama, pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, politik atau alienasi kultural atau kemiskinan atau ketidakadilan. Kedua, pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkan solidaritas antar manusia. Dalam konteks ini seperti pembebasan untuk keberpihakan, dimana kuam mustadhafin (orang-orang yang dilemahkan) mengalahkan kaum mustakbirin (orang-orang yang sombong) agar terbangun sistem sosial yang tidak eksploitatif. Ketiga, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia mengimbangi implementasikan semua nilai-nilai keimanan dalam tatanan sosial.

Sedangkan High Politics adalah cita-cita atau gagasan politik tentang amar maruf. Gagasan Amien Rais dalam Hubungan antara Politik dan Dakwah, menjelaskan tentang High Politics, dengan ciri-ciri minimal diantaranya, amanah, masuliyyah (pertanggungjawaban), prinsip ukhuwah (persatuan), maka sangat kondusif bagi pelaksanaan amar maruf dan nahi munkar. Barangkali inilah antara lain yang dimaksud oleh Q.S al-Hajj : 22 : 41, “Yaitu orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.

High politics juga menempatkan Islam sebagai gerakan politik, sebagaimana pendapat Yusuf Qardhawi, Islam yang memperhatikan berbagai persoalan umat dan berbagai hubungannya, baik intern atau ekstern, berupaya membebaskan umat tersebut dari cengkraman kekuasaan asing, mengarahkan segala persoalannya, moril ataupun materil. Kemudian berupaya pula membebaskan umat dari noda-noda penjajahan, baik peradaban, sosial, maupun legislasi. Yusuf Qardhawi juga menuliskan masyarakat Islam adalah suatu tatanan masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya murni, dan tradisi yang kokoh, sebagaimana mereka membela tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan. Sebagaimana pendapat Hasan al-Banna, kami adalah politikus dalam arti kami peduli terhadap umat didorong keyakinan bahwa kekuatan eksekutif adalah bagian dari ajaran dan hukum, bahwa kebebasan berpolitik dan jati diri bangsa adalah bagian dari rukun dan kewajiban Islam. Atau karena kami berjuang demi menyempurnakan kemerdekaan dan menata ulang kembali badan pemerintahan, maka kami akui dalam makan tersebut kami adalah politikus.

Karena pada akhirnya dalam politik tujuan murninya adalah tentang keadilan sosial, tentang masyarakat yang berkeadilan sosial. Maka para ulama masa lalu memuji nilai dan keutamaan politik, sehingga Imam al-Ghazali dalam (Qardhawi, 2013) mengatakan, “Dunia adalah ladang akhirat, agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang dan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak punya tiang akan rubuh dan sesuatu yang tidak dijaga akan hilang”.






Daftar Pustaka

Al-Banna, Hasan, 2012. Majmuatur Rasail, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan al-Banna Jilid 2. Penerbit al-Itishom.

Hamzah, Fahri, 2010. Negara, Pasar, dan Rakyat. Penerbit Yayasan Faham Indonesia.

Harnecker, Martha, 2015. Sosialisme; Pengalaman Venezuela Amerika Latin. Resist Book. Yogyakarta.

Hatta, Muhammad, 2014. Demokrasi Kita. Cetakan Keempat. Sega Arsy. Bandung.

Madjid, Nurcholish, 2013. Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan. Bagian Islam dan Cita-Cita Keadilan Sosial (Halaman 123). Cetakan I Edisi Baru. Penerbit Mizan. Bandung.

Prasetyo, Eko, 2014. Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial. Cetakan Ketiga. Resist Book. Jogjakarta.

Qardhawi, Yusuf, 2001. Umat Islam Menyongsong Abad ke 21. Penerbit Era Intermedia.

Qardhawi, Yusuf, 2013. Fiqh Negara. Penerbit Robbani Press.

Qardhawi, Yusuf, 2015. Malamih Al-Mujtama Al-Muslim. Penerbit Era Adicitra Intermedia.

Rais, M. Amien, 1998. Membangun Politik Adiluhung. Penerbit Zaman.

Rais, M. Amien, 2004. Hubungan Antara Politik dan Dakwah. Penerbit Mujahid Press. Bandung.

Tjokroaminoto, HOS, 2010. Islam dan Sosialisme. Cetakan Kedua. Sega Arsy. Bandung.


Posting Komentar

0 Komentar