Angin Perubahan


Angin Perubahan
Yanuardi Syukur


(pexels dot com)



Saya baru saja menikmati secangkir cappucino di depan cafe tak jauh dari kampus yang masih tutup sebab pandemi. Upaya untuk menyelesaikan tugas kadang harus dituntaskan dengan ber-'uzlah sambil menikmati secangkir minuman agar mata tetap terbuka, pikiran tetap jalan, dan tangan tetap lincah menari di atas keyboard. Bahkan dalam keramaian saya merasa harus dapat menemukan kedamaian untuk itu.

Menjelang siang ini, orang-orang mulai berdatangan ke sini. Seorang perempuan muda berkacamata hitam, berumur sekitar 30-an pertengahan, duduk khusyuk memegang dua ponsel, sambil sesekali menghisap sebatang yang belum habis-habis sedari tadi. Bau rokok mulai terasa seiring dengan satu dua orang datang ke sini pasca lebaran. "Lu ke sini ya, ada temen gue," kata seseorang di dekat saya. Sejenak, saya coba buka youtube cari-cari apa lagu yang enak didengar pagi ini. Bertemulah saya dengan "Wind of Change" dari Scorpion, grup band rock asal Jerman. Lagu lama, rilis 1991, tapi menyibakkan harapan dan keajaiban masa depan yang sudah dekat dimana anak-anak bisa bermimpi dengan indah, dan kita semua bisa lebih dekat kayak saudara: "...that we could be so close, like brothers."

Hembusan angin perubahan saat ini juga terlihat di mana-mana. Anak-anak masa lalu kita telah menjadi pemimpin masa kini. Di tengah lingkaran hidup yang terpaut dengan media sosial, banyak orang pun harus bersiasat agar dapat bertahan. Siasat saling menunggu, bahkan saling menyerang terjadi di ranah virtual, dalam banyak kasus.

Kita lupa bahwa saat ini kita sebenarnya sudah seperti saudara, atau bahkan sudah saudara. Kita dipersatukan oleh masing-masing kesatuan, apakah itu keluarga, pertemanan, alumni-alumni, atau oleh geografis. Tapi, kenikmatan untuk menyerang satu dan lainnya terjadi, tanpa ada semangat untuk belajar. Kita lebih senang memukul dulu, mikirnya kemudian. Tragis. Modern tapi kembali barbar.

Angin perubahan menunjukkan bahwa telepon jadi lebih smart ketimbang pemiliknya. Kepintaran menggunakan ponsel jauh meningkat tapi kebijaksanaan sebagai manusia turun drastis oleh hasrat narsistik dan ingin terus update. Minim pikiran mendalam, yang penting: "suka, tinggal likes, share, comment", "tidak suka, tinggal unlikes, jangan sebar, dan bully." Entah angin perubahan apa yang membuat modernitas jadi seperti ini. Modernitas sejatinya membawa kita pada tingkatan nalar yang lebih tinggi, mendalam, tanpa melupakan sisi humanitas kita sebagai manusia.

Kita diajarkan untuk kritis, tapi kita lupa untuk mempraktikkan kritis yang tidak malu-maluin diri sendiri plus kritis yang beradab. Memang tidak populer, tapi sikap "tidak malu-maluin" dan "beradab" itu penting untuk merawat peradaban kita sebagai manusia. Karena, itulah sebenarnya hakikat dari ketinggian nilai manusia.

Saya kembali dengar Scorpion. Walau Led Zeppelin, Bon Jovi, dan Aerosmith sudah tidak sabaran menyanyi untuk saya, mulai dari "stairway to heaven, always, hingga crazy", hatiku masih terpaut pada Scorpion. Bukan karena beberapa hari lalu baru khatam Mortal Kombat yang dimainkan oleh aktor laga kesukaan saya, Hiroyuki Sanada, yang berperan sebagai Hanzo Hasashi atau Scorpion musuhnya Bi-Han yang diperankan Joe Taslim.

"Take me to the magic of the moment

on a glory night

where the children of tomorrow dream away

in the wind of change."

Dunia kita sudah berubah. Sadar atau tidak, banyak yang berubah, mulai dari planet yang makin rusak, yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup berbagai spesies, dan olehnya itu menuntut kita agar bisa mempraktikkan "arts of living" (seni hidup). Sekelompok ilmuwan yang peduli, kemudian nulis bareng "Arts of Living on a Damaged Planet: Ghosts and Monsters of the Anthropocene" (2017). Buku yang diedit oleh Anna Lowenhaupt Tsing, Nils Bubandt, Elaine Gan, Heather Anne Swanson tersebut, salah satunya menawarkan proposal pentingnya "collaborative survival" menghadapi berbagai problem "hantu atau monster"--bahkan termasuk corona juga untuk konteks sekarang--yang hadir dan mengancam eksistensi spesies kita di planet ini.

Dalam cerita perjuangan itu, kita butuh kolaborasi. Sebuah mimpi dan kerja-kerja bersama untuk menyelamatkan spesies kita dari kemungkinan serangan kepunahan. Termasuk di situ adalah pentingnya kita mengenyahkan perbedaan partikular dan memupuk kebersamaan demi kehidupan kita bersama-sama, demi kita semua.

Antropolog Tim Ingold, dalam bukunya "The Life of Lines" (2015) menulis bahwa belajar dari bayi, kemelekatan adalah hal pertama yang kita lakukan. Semua bayi melekat kepada ibunya, kemudian kepada orang lain dalam komunitasnya. Kita semua yang dewasa ini juga pada dasarnya masih melekat dengan hal-hal di sekitar kita, termasuk dengan bumi ini.

Dalam konteks relasi sosial, tidak ada dari kita yang bisa melakukan sesuatu dengan sendirian. Beras yang dimakan orang kota, misalnya, asalnya dari kampung-kampung, pun ikan yang disajikan di hotel mewah berasal dari kerja para nelayan. Artinya, kita semua ini saling melekat, saling terkait, maka penting untuk kita dekatkan satu sama lainnya, agar kerja bareng pada hal-hal yang kita sepakati--untuk kepentingan bersama--dan mulai berkompromi pada hal-hal kecil yang dapat didamaikan. Jika kita bersama-sama, maka akan tercipta stabilitas. Kebersamaan itu digambarkan dengan garis; relasi antar orang, antar komunitas, dan antarbangsa. Manusia harus mengikat sedemikian rupa sehingga kalaupun ada ketegangan di musim angin perubahan apapun itu, maka ketegangan itu dapat ditahan agar tidak memisahkan kita semua. Sebaliknya, saling terkait akan membuat kita lebih kuat, lebih stabil, dan mampu menghadapi musuh bersama di atas planet ini.

Posting Komentar

0 Komentar