Orang Timur


Orang Timur
M. Sadli Umasangaji

 
(sumber: wikipedia dot com)





Kalau disebutkan soal kata orang Timur apa yang terlintas menurut anda? Kalau saya dulu berpikir bahwa Timur itu soal waktu, soal waktu lebih dulu pagi, lebih dulu malam, lebih dulu melihat mentari, lebih dulu melihat matahari terbenam, selebihnya soal geografis. Entahlah. Tapi bukan lebih dulu jadi menteri, hanya melihat mentari. Secara geografis dan waktu yang masuk daerah Timur diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Maluku. Atau mungkin secara karakteristik, NTB dan NTT juga dianggap masuk sebagai orang Timur. Kadang-kadang juga sebagian orang Sulawesi menganggap sebagai representasi orang Timur, tapi kebanyakan lebih kepada soal masalah politis. Karena kebanyakan orang Sulawesi lebih bertingkah sebagai “Orang Indonesia Bagian Barat”. Ya, tentu karena mereka tergolong daerah Metropolitan.


Tapi kadang-kadang pada titik tertentu sebagai orang Timur, saya kadang cukup jengkel dengan “Jawanisasi”, soal bahasa, soal budaya, soal batik. Ya, batik yang sebenarnya lebih identik dengan Jawa malah telah ditempat sebagai “Indonesia”. Sampai-sampai mungkin sudah mulai ada khas “batik” untuk beberapa daerah Timur. Soal bahasa dan budaya, memang sikap kejawaan mereka terlalu kuat. Walaupun di satu sisi ini soal membudayakan budaya tentunya. Ketika semakin bertumbuh, saya dapat memahami orang-orang Jawa begitu kuat menjaga budaya, soal bahasa, budaya dan sikap kedaerahan bahkan jika mereka hidup di perkotaan. Sama juga dengan orang-orang Sulawesi (atau Sulawesi Selatan) atau lebih khusus Makassar. Ketika saya melanjutkan studi lagi di Makassar, saya melihat hal yang sama. Orang-orang yang hidup di perkotaan tapi masih dengan mudah juga berbicara menggunakan bahasa daerahnya.


Bahasa daerah tentu bukan bahasa pasar. Saya membedakan ini karena di Maluku Utara misalnya kita bisa berbincang dengan bahasa pasar tapi agak susah menggunakan bahasa daerah. Ya, tentu suatu keragaman untuk Indonesia yang begitu banyak bahasa daerahnya. Bahkan di Maluku Utara saja, setahu saya ada bahasa Ternate, bahasa Tidore, Bahasa Maba, Bahasa Sanana, bahasa Makian dan lainnya. Tentu disana bahasa pasar lebih umum dipakai. Ini yang membedakan entah karena saya pribadi atau secara umum. Tapi kebanyakan saya lihat orang-orang disana lebih sedikit menguasai bahasa daerah ketimbang orang-orang Jawa atau orang-orang Bugis. Terutama di kalangan anak-anak muda yang hidup di perkotaan atau di Ternate misalnya. Hampir agak-agak tidak memahami bahasa daerah. Bahasa pasar itu seperti sebutan ngana (kamu), kita (saya), ngoni (kalian), sementara bahasa aktivitas umumnya sama seperti makan ya makan. Tapi bahasa daerah berbeda (Ternate), misalkan setahu saya, oho (makan), oru (perut) dan lainnya.


Tapi saya setelah menuliskan ini saya jadi teringat mungkin suku di Maluku Utara yang paling lestari soal bahasa adalah orang-orang Makian, ya orang-orang Makian, entah dimanapun mereka, masih membudayakan bahasa mereka. Ini karena teringat sama istri saya yang barusan menawarkan makanan, ya istri saya memang dari suku Makian. Sedangkan saya yang lahir di Ternate, menggunakan marga Sanana, memang tidak terlalu bisa bahasa daerah.


Walaupun begitu, soal bahasa, mungkin sama juga dengan daerah di Jawa atau di Sulawesi, pada titik tertentu, orang-orang di pedesaan terutama para lansia atau anak-anak kadang lebih mahir bahasa daerah ketimbang bahasa Indonesia. Itulah ragamnya Indonesia. Ya, toh yang membuat orang menjadi kelihatan daerahnya itu kan soal bahasa juga. Tapi sudahlah, toh kita sudah disatukan oleh Sumpah Pemuda, satu bahasa, bahasa Indonesia, iya kan?


Tapi kadang-kadang kalau kita sekedar menjelah (di internet), maka ada semacam generalisasi tertentu untuk orang Timur yang kadang cukup menggembirakan atau menganehkan bagi saya. Pertama, generalisasi karakteristik orang Timur. Semisal pertama, suara keras, ya suara keras atau besar entah apa faktor yang menyertai hal itu tapi hampir semua yang ketemu pasti menganggap demikian atau dalam posisi tertentu sebagai orang Timur, saya juga merasa begitu. Kadang berbicara pun dianggap sedang marah, entahlah, sebegitu keras suara kita? Kedua, terlihat “hitam manis”, entah apa yang mendasari ini, apa karena matahari terlebih dahulu terbit dari Timur, atau karena sebagian daerah Timur termasuk daerah pesisir, atau mungkin karena genetik kesukuan tapi tentu bukan soal kita tidak menggunakan skin care atau pemutih kulit ya. Senyum kita terlalu manis. Ketiga, soal keterbelakangan, semisal “kekurangan” jaringan internet, fasilitas pendidikan yang tidak semewah bagian Barat, atau semisal tidak memiliki gedung-gedung wah, dan lainnya. Ya, ini soal rahasia umum tentang pemerataan di Indonesia.


Tapi pada akhirnya soal generalisasi itu akan kembali ke falsafah dasar pembentukkan manusia, soal budaya keluarga, soal kemauan pribadi, soal semangat bertumbuh, dan lainnya. Misalkan soal suara dan tampak fisik misalnya entah kenapa dalam posisi tertentu saya secara pribadi beberapa kali dianggap sebagai orang Jawa oleh orang Timur atau orang lain, entahlah. Sebutan misalkan, mas, mas orang mana? Padahal saya kan lahir dan tumbuh di Ternate. Tapi sebutan mas ini, semakin mengIndonesia sebagai panggilan yang dianggap sapaan sopan untuk semua orang termasuk orang Timur, mas sendiri kan diuntukkan untuk orang lelaki yang lebih tua ya. Tapi generalisasi mas untuk kesopanan di daerah Timur dipanggil untuk semua laki-laki dalam golongan umur, mas jadi lebih tenar daripada nyong.


Kembali kepada soal fisik, tentu itu soal insaniyah dan ketakdiran Tuhan yang tak perlu ada kelas-kelas, toh kita sama rasa, sama rata kan? Sedangkan soal keterbelakangan, saya percaya atas kemauan pribadi, semangat bertumbuh, orang-orang Timur juga bisa berkarya, hanya soal kesempatan saja. Selebihnya soal politis.


Kedua, Orang Timur dan Orang Papua. Kadang dalam posisi tertentu saya merasa orang Papua terlalu menjadi representasi Timur. Ya, memang Papua istimewa sekali terutama-utama bagi orang-orang Jakarta. Ya, orang-orang Jakarta yang berkepentingan soal tambang. Tapi di satu sisi soal jumlah penduduk sebagai jumlah “suara politik” tentu Papua lebih banyak ketimbang Maluku Utara atau mungkin lebih banyak dari Ambon (Maluku). Tapi kadang dalam posisi tertentu saya merasa orang Papua juga termasuk orang yang memandang sinis orang lain, termasuk orang Timur lain. Saya tidak tahu apa yang melandasi hal itu, apa karena proses panjang dan dinamika di Papua. Padahal setelah bergelut dengan wacana-wacana dalam Film Watch Doc-nya Bung Dandy Laksono dengan Indonesia Biru, saya lebih setuju Papua “Merdeka”, eh. Tapi saya pikir Kesatuan Indonesia memang harus dirajut soal rasa. Ya, sama rasa, sama rata. Bukan Jawa rasa, Timur tidak merata. Sikap sinis orang Papua, saya menduga lebih kepada pandangan fisik atau stigma dasar yang terbentuk sebagai suku Melanesia. Kesadaran soal suku Melanesia inilah perlu ditumbuhkan. Selain itu, keterbukaan pandangan bahwa ada orang-orang di luar suku Melanesia yang juga peduli dengan masalah Papua. Sebagai orang Timur padahal dengan rasa yang sama, kita memang sama rasa, sama rata. Kecuali kepada sosok yang menyebutkan “daerah buangan”. Kan kita bukan lagi hidup zaman ketika Pramoedya dibuang di Buru. Mungkin maksudnya dibuang di “daerah buangan”, biar ada lagi maestro sastra begitu? Sudah deh, kan kita sebagai orang Timur, ngana, use, ko (kau), beta, kita, aku, torang samua suka makan Popeda.


Ketiga, Klise orang Jawa atau bukan orang Timur yang lahir atau hidup di daerah Timur. Ya, kadang orang-orang ini masuk dalam fase merasa lebih baik atau sebaliknya menjadi bahan tertawaan. Ya, kadang lucu memang orang Indonesia, kalau orang Timur ke Jawa dianggap lucu terutama soal bahasa dan dialek sebaliknya orang Jawa ke daerah Timur juga dianggap lucu baik soal bahasa maupun kebiasaan. Ya sudahlah, sama-sama lucu tergantung tempat dan waktunya. Tapi pada titik tertentu misalkan ada orang Jawa atau bukan orang Timur yang tempat lahirnya di Timur pun kadang masih dianggap bukan orang Timur. Ya begitulah Indonesia memang rajutan soal rasa harus terus ditumbuhkan. Dilema soal ini, saya lihat termasuk dalam melamar pekerjaan, pengusulan CPNS, dan lainnya. Atau kadang sikap orang-orang Jawa yang lahir atau hidup di daerah Timur juga merasa lebih “berpendidikan”, lebih “tahu”, lebih “berpengalaman” dibanding dengan orang Timur. Tapi pada titik tertentu bagi saya hal demikian kembali pada sikap individu itu sendiri.


Tapi seberapapun perbedaan kita, Indonesia terlalu luas. Sumpah pemuda terlalu indah. Keragaman Indonesia terlalu mahal. Anggap saja klise ini hanya soal satir. Apa Indonesia harus jadi negara Federal tapi dengan basis Sosialisme? Abaikan soal kalimat terakhir ini, anggap saja itu lelucon.

Posting Komentar

0 Komentar