Perlabelan Islam; Problematika Umat Kontemporer


Perlabelan Islam; Problematika Umat Kontemporer
M. Sadli Umasangaji


(pexels dot com)







Nurcholish Madjid pernah menuliskan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas (kekhalifahan), manusia dilengkapi Allah dengan petunjuk-petunjuk dan hidayah-hidayah. Petunjuk dan hidayah itu dimulai dengan adanya fitrah dalam diri manusia sendiri, yaitu kejadian asalnya yang suci dan baik. Manusia, pada dasarnya adalah makhluk suci dan baik. Sebab, manusia dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat alami untuk mengenali sendiri mana hal-hal yang buruk, yang bakal menjauhkan dari kebenaran, dan mana hal-hal yang baik, yang bakal mendekatkan dirinya kepada kebenaran. Maka, dengan fitrahnya itu manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu secara alami cenderung dan memihak kepada yang benar, yang baik, dan yang suci.

Dengan segala keterbatasan diri, dan pemahaman penulis, penulis merasa ‘ketidaksetujuan’ dengan perlabelan Islam. Perlabelan Islam ini cenderung didera berbagai kalangan masyarakat bahkan disinyalir mendera berbagai organisasi-organisasi mahasiswa dan kepemudaan yang mengatasnamakan Islam, tapi cenderung ditempatkan sebagai ‘perlabelan Islam’ semata. Hal ini karena disebutkan ‘perlabelan Islam’, saya melihat ‘mereka’ cenderung bergumul dengan ‘teori’ tanpa melakukan aplikatif dan implementasi Islam terutama dalam hal ibadah. Bahkan tak segelintir dari ‘mereka’ ‘mungkin’ jarang sholat, ‘mereka’ tetap merokok, tidak terjaga interaksi dengan teman-teman perempuannya, dan teman perempuannya segelintir ‘tidak berpakaian’ muslimah dengan baik. Bahkan sering diantara mereka cenderung mempertanyakan ‘eksistensi Tuhan’ dalam pengkaderan-pengkaderan mereka. Ini bagi saya bukan karena kita eksklusif dan tidak bersifat inklusif tapi ‘kekeliruan berpikir’.Ini benar-benar mendera berbagai organisasi kepemudaan yang bahkan mengatasnamakan diri sebagai Islam. Perlabelan Islam. Ini problematika umat kekinian.

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khathab ra. Berkata Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar: (1) persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan sholat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan.

Sayyid Qutbh menuliskan persoalan akidah adalah persoalan manusia yang tidak pernah berubah. Persoalan ini menyangkut persoalan eksistensi dan perjalanan manusia di dunia ini. Yakni, menyangkut persoalan hubungan manusia dengan semesta dan kehidupan ini, dan menyangkut hubungan manusia dengan semesta dan kehidupan ini. Persoalan pokok ini tidak akan pernah berubah, sebab ini menyangkut persoalan eksistensi manusia.

Dekadensi akidah dengan segala bentuknya menjadi cerminan masyarakat. Beginilah kondisi masyarakat jahiliyah, baik jahiliyah kuno ataupun modern. Adalah salah besar, dalam parameter Islam, jika akidah mengkristal dalam format ‘teori’, sebatas kajian intelektual atau episteme budaya. Bahkan pandangan semacam ini sangat membahayakan Islam. Kita harus menyadari kekeliruan langkah sekaligus bahayanya dalam mentransformasi akidah Islam yang dinamis dalam realitas yang senantiasa berkembang dan dinamis, juga dalam masyarakat organik yang dinamis. Yakni, ketika akidah ditransformasikan, dari karakternya, hanya demi keinginan kita bergumul dengan teori-teori kemanusian yang kering dari teori Islam (Qutbh, 2012).

Akidah Islam, dalam konsep seperti ini, haruslah mengarahkan hati dan akal, juga kehidupan ini, dalam ruang lingkup yang lebih besar, lebih luas dan lebih komprehensif dibandingkan hanya sebatas teori. Pastinya, akidah ini juga meliputi dalam hal cakupannya ruang lingkup teori dan materinya akan tetapi ia tidak hanya sebatas teori (Qutbh, 2012).

Perlabelan Islam juga bukan hanya pada tataran teoritis tapi juga seperti kelompok kekerasan. Semisal ISIS tentu mempengaruhi simbolik Islam. Bendera ISIS misalkan tentu bukanlah bendera ISIS tapi kalimat tauhid. Simbolik lain juga pengaruh ISIS mempengaruhi sesuatu yang dalam Islam wajib maupun sunnah, yang tentunya menjadi simbolik dalam Islam pula, misalnya berjenggot, berjilbab, dan lainnya. Simbol merupakan gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. ISIS disatu-sisi bisa dikatakan sangatlah mempengaruhi simbolik dalam Islam itu sendiri.

Kembali mengutip pendapat Nurcholish Madjid, jadi disebabkan oleh adanya fitrah, yang dalam diri manusia diwakili oleh hati nurani, setiap pribadi manusia mempunyai potensi untuk benar dan baik. Semangat saling menghormati yang tulus dan saling menghargai yang sejati adalah kelanjutan wajar dan perwujudan logis dari pengertian dasar bahwa setiap pribadi (terutama orang lain), karena unsur fitrahnya, selalu mempunyai kemungkinan untuk benar dalam pandangan-pandangannya. Dan setiap pribadi pula (terutama diri sendiri), karena unsur kedhaifan dan ‘ajalah-nya, selalu mempunyai kemungkinan untuk salah. Maka setiap pribadi, karena potensinya untuk benar, berhak mengajukan gagasan-gagasan, dan sebaliknya, karena kemungkinannya untuk salah, berkewajiban mendengar gagasan orang lain dengan penuh penghargaan dan hikmah.

Maka, dihadapan manusia tersedia pilihan dua jalan hidup. Pertama ialah jalan hidup yang benar, yang bakal mempertahankan ketinggian martabat kemanusiaan. Inilah jalan Tuhan, yaitu jalan hidup karena iman, yang mengejawantahkan dalam amal perbuatan orang saleh. Dan yang kedua ialah jalan hidup tanpa iman dan amal saleh. (Madjid, 2013). “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Q.S Asy-Syams : 91 : 8-10).

Sehingga orang yang terlalu bergumul dengan teori tanpa aplikatif dan implementasi itu (perlabelan Islam), mereka telah ‘kehilangan’ fitrahnya. Mengutip kata Andrias Harefa, mereka terkena sindrom ‘kemunafikan psiko-spritual’, atau mungkin juga bahkan ‘kemunafikan psiko-intelektual’. Atau kata Sayyid Qutbh sebagai ‘intelektual-intelektual yang minder’. Bahkan ‘mereka-mereka’ ini lebih ‘jahat’ dari yang disebut sebagai ‘Islam radikal’, ‘mereka-mereka’ ini adalah problematika umat kontemporer.

“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah sholat untuk mengingat Aku” (Q.S Taha : 20 : 14).

Kembali mengutip kata Sayyid Qutbh, sungguh sempurna semua itu. Sementara orang-orang yang menegakkan agama ini dalam konsep negara, peraturan, perundangan, dan hukum-hukum, sebelumnya mereka telah menegakkannya di dalam sanubari dan kehidupan mereka dalam konsep akidah, akhlak, ibadah, dan tingkah laku. Mereka mengejar satu janji ketika hendak menegakkan agama Islam. Satu janji yang tidak bisa ditundukkan atau dikalahkan. Hanya demi tegaknya agama Islam di tangan mereka. Satu janji yang tidak berkaitan dengan apa pun di dunia ini. Satu janji itu adalah surga.

Setelah menyelesaikan tulisan ini saya masih tetap berpikir dan merenung. Setidaknya saya meneguhkan tekad untuk terus bersama ‘orang-orang baik’, memilih mempertahankan fitrah, dan terlebih lagi tetap bersemangat mengejar kebaikan, mengaplikatif kebaikan sebagai bentuk membenarkan kebaikan, kalau bukan untuk mengatasnamakan ‘kebenaran’.

Posting Komentar

0 Komentar