Dalam Sebuah Pencarian - Politik Islam
Novel Dalam Sebuah Pencarian
Politik Islam
Pagi memang selalu indah. Pagi itu
ada undangan tapi akhi Yusuf menyampaikan lewat sms ketika saat Wahib dan Akh
Saf mau mengecek kepastian silahturahmi dengan Pak Wakil Walikota Ternate, tapi
hari itu ternyata siangnya beliau memiliki agenda jadi kayaknya silahturahminya
belum jadi. Talimat yang disampaikan oleh Akhi Yusuf terkait Dialog yang
diundang oleh Himpunan Mahasiswa Islam.
Wahib pun hadir dalam dialog itu,
akhi Umar, akhi Wawan, akhi Safrudin, akhi Burhan, akhi Fatih, dan akhi Yusuf
juga hadir, dan beberapa kader KAMMI lainnya. “Politik Islam, Eksistensi
Mayoritas di Tengah Pergulatan Demokrasi Langsung”, itulah tema dialog hari
itu. Diawali dengan sholat jumat berjamaah di Al Munawwar terlebih dahulu. Setelah
bada jumat dialog pun dimulai. Pematerinya sebenarnya katanya dari berbagai
partai-partai baik partai nasionalis, partai nasionalis berlandasan islam dan
partai islam serta dari pihak BKM Al-Munawwar.
Tapi pemateri yang hadir pada saat itu adalah Ketua BKM Al-Munawwar, Perhimpunan Nelayan
Indonesia, Kader Partai PDIP Maluku Utara, Ketua Umum Partai PAN Maluku Utara, dan Sekretaris Badan
Koordinasi HMI Cabang Maluku Utara.
Inti materinya yang disampaikan
lebih terkait dengan sejarah politik islam, sejarah partai islam di Indonesia,
Masyumi, nilai-nilai politik islam. “Terkadang terdapat beberapa partai Islam
akan tetapi jarang sekali menerapkan nilai-nilai islam baik politik islam,
pemerintahan islam, ekonomi islam serta pun hukum islam, ataupun nilai-nilai
islam dalam politik”, itulah yang diungkapkan ketua BKM Al-Munawwar. Beliau juga
menambahkan, masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Politik
sebenarnya mulia manakala pemimpin-pemimpinnya berpikir tentang kemashalahatan
ummat.
“Islam bukan hanya sebuah agama tapi juga sebuah
peradaban. Islam bukan hanya sebuah agama tapi islam juga sistem politik yang
dibangun oleh Nabi Muhammad SAW”, inilah yang dikatakan salah satu kader Perhimpunan
Nelayan Indonesia yang katanya dikutip dari pemikiran barat. Interaksi antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain, itulah sehingga Aristoteles
mengatakan manusia sebagai makhluk politik, lanjut salah satu kader Perhimpunan
Nelayan Indonesia ini. Ia juga melanjutkan “Tidak
ada peradaban barat tanpa peradaban Islam. Karena pada dasar peradaban
modern terlahir tanpa terlepas dari peradaban islam.”
Setelah pemaparan pemateri yang
terdiri dari Ketua BKM Al-Munawar, Perhimpunan Nelayan Indonesia, Kader Partai
PDIP, Ketua Umum Partai PAN, dan Sekretaris Badan Koordinasi HMI Cabang Maluku
Utara, selesai dilanjutkan dengan diskusi. Ada beberapa penanya.
“Setelah saya menyampaikan ini saya
rasa sebaiknya diskusi kita ini kita selesaikan dan kita pulang”, seorang
penanya pertama, membuka pertanyaannya dengan kata-kata seperti itu, dan semua
mata tertatap kepadanya, seorang yang sudah terlihat seperti seorang
bapak-bapak berumur 30 tahun, mungkin.
Pada kalimat terakhirnya, “Mana mungkin demokrasi, itu tercapai akan
masyarakat baulaco (kelaparan). Saya tidak bertanya tetapi memberikan catatan”.
Wahib juga mendengar bapak ini mengatakan “Percuma
sholat hingga testa (dahi) hitam dan baca Al-Qur’an sampai air liur meleleh
tapi ketika menjadi pemimpin tetap meragukan”. Mendengar kata-kata ini akh
Yusuf juga kelihatan sangat tidak setuju! Sama seperti apa yang dipikirkan
Wahib.
Dilanjutkan dengan penanya kedua dan
ketiga, Wahib hanya mendengar. Setelah itu dijawab oleh pemateri, awalnya
dimulai dari pihak BKM, mengatakan “Pertama kita harus perlu mengukur diri kita
terlebih dahulu, sebelum itu apa kita punya AC? Punya mobil? Setelah itu
perlunya penanaman iman dan moral yaitu disebut dengan pengkaderan”, mungkin
itulah yang Wahib catat dari apa yang disampaikan oleh pengurus BKM ini.
Yusuf serta pikirannya, masih ingin
bertanya, kalau ternyata orang-orang yang sholat fardhunya sudah dijaga begitu
juga dengan sholat sunnahnya sudah dijaga serta selalu melakukan tilawah setiap
hari masih “dianggap meragukan” oleh segilintir orang, sekali lagi “dianggap
meragukan” bukan “meragukan” (secara pribadi). Bagaimana pula orang-orang yang
tidak pernah atau jarang melakukan sholat fardhunya dan tidak pernah atau
jarang tilawah?
Yusuf katakan pada Wahib, kita
sendiri tak mau meragukan pada orang-orang yang sholat fardhu dan selalu
tilawah setiap harinya. “Aku rasa mereka
lebih baik”, Yusuf meyakinkan. Wahib pula ingin bertanya “Terkait hal ini dari manakah kita harus
memulai, apakah dengan membentuk politik islam, politik yang berlandasan
nilai-nilai islam, ataukah membentuk negara yang islami, atau melahirkan
pemimpin-pemimpin berjiwa islam yang menerapkan nilai-nilai islam, ataupun
menciptakan masyarakat yang islami yang menerapkan nilai-nilai islam, ataukah
dimulai dengan membentuk individu-individu yang bangga menerapkan nilai islam,
yang mengislamkan pribadinya, manakah yang harus kita mulai terlebih dahulu?”.
#
Departemen Kebijakan Publik KAMMI Kota Ternate kembali
menggelar agenda rutinnya, Diskusi KAMMI Ternate (DKT). Kali ini dengan tema
“Islam dalam Panggung Politik di Tahun 2014”. Dengan pemateri salah satu senior
KAMMI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum KAMMI Daerah Maluku Utara
Periode 2007, Kak Isra Taher, S.IP.
Dalam proposal Harvard, Amerika
mencoba membagi Indonesia menjadi 12 Negara bagian, tandas Isra. Mediapun
beramai-ramai memainkan perannya untuk tren partai politik dan tokoh partai
politik yang berkepentingan dengannya, lanjut Isra. Islam dikeroyok dengan
aliran kepercayaan dan juga aliran politik, imbuh Isra dengan kondisi kekinian.
Gerakan kepemudaan pun dimasuki
berbagai aliran sesat dan dikeroyok pula oleh aliran kiri, tandas Isra. Tapi
saat ini ‘kita’ juga ditakuti oleh pemerintah baik dalam konteks parlemen
maupun ekstraparlementer. Di Lampung misalkan pergerakaan mahasiswa cukup mampu
dipimpin oleh KAMMI, daerah sekelas Jawa juga mungkin begitu, kata Isra. Begitu
juga Maluku Utara pada masa-masa periode-periode lalu, KAMMI mampu memimpin
elemen gerakan lain, tambah Isra.
Jika politik itu partisipasinya
meningkat maka faktor utamanya adalah pendidikan. Dan itu kebanyakan ‘kita’
memilikinya. Partai politik rata-rata kutu loncat. Kalau ‘kita’, bila ‘kita’
komparasikan dengan Mesir dan Turki maka telah ada proses pembinaan kurang
lebih puluhan tahun yang lalu, lanjut Isra.
KAMMI dulu mampu mengendalikan
elemen gerakan kampus termasuk elemen kiri. Pemahaman ‘kita’ termasuk
pergerakan mahasiswa yang ada di Ternate terlalu pragmatis hingga mudah
dipolitisir, tambah Isra.
Isra melanjutkan kenyataan yang ada,
Indonesia coba dibagi menjadi 12 Negara bagian. Kenyataan lain adalah lihatlah
kondisi PT Freeport di Papua. Indonesia dibuat ketergantungan dengan moneter.
Jokowi adalah peran media, dia adalah titipan maka mediapun menyorotnya, tambah
Isra.
Dan sunatullah kalau politik ada
dalam Islam, lanjut Isra. Tokoh-tokoh sekuler, nasionalis, disorot dan
dipublikasi karena terlalu banyak tokoh yang tidak dimunculkan. Pernyataan Cak
Nur misalkan, lanjut Isra, tentang Islam Yes, Partai Islam No. Hanya
mendegradasi Islam. Islam itu ada di
Timur dan akan terangkat dari Timur, tambah Isra. Kita masih satu langkah, di
daerah Jawa sudah sepuluh langkah, tandas Isra menyemangati.
Demikian pengantar materi dari Isra
Taher, S.IP, berlanjut ke diskusi. Diskusi pertanyaan kader terkait
elektabilitas partai politik Islam yang kalah jauh dari partai nasionalis, tidak
relevannya elektabilitas partai Islam dengan kenaikan persentase rasa keIslaman
dalam umat Islam di Indonesia, adakah pengaruh harakoh Islam lain, pergerakan
mahasiswa berbasis Islam (terkhusus KAMMI) pun belum terlalu mampu memimpin
elemen gerakan kiri ataupun pergerakan mahasiswa berbasis Islam lain semisal
HMI, PMII, IMM, solusi yang patut diambil dari kondisi di Timur Tengah semisal
di Mesir, Alzajair, Turki, dan lainnya, masuknya ke sistem kepartaian cenderung
berbenturan antar kepentingan, masuk ke partai pun bisa saja ada kepentingan
individu walaupun partai Islam sekalipun, kebijakan-kebijakan pemerintah dari
partai Islam, kondisi partai Islam dengan aliran kapitalis, kondisi China, dan
partai nasionalis-religius.
Isra mulai menjawab dengan meninjau elektabilitas
partai Islam, Insya Allah, kondisinya nanti ‘kita’ bisa masuk dua besar, tandas
Isra. Orang tua cenderung berpikir tentang masa lalu dan anak muda cenderung
visioner, imbuh Isra mencoba menerangkan kondisi partai-partai Islam kekinian,
yang kebanyakan dihuni oleh orang tua cenderung berpikir tentang masa lalu.
‘Kita’ ini
dibina bukan semata untuk politik lokal, ataupun untuk politik nasional tapi
untuk peradaban, tandas Isra. Kondisi kekinian secara nasional, Islam
dikeroyok oleh chinese (pemikiran seperti Negara China), kapitalis, sosialis
dan kaum nasionalis-sekuler. Solusinya adalah soliditas kita. Soliditas itu
sulit, dan itu tidak dimiliki oleh yang lain, kita punya itu, tandas Isra. Dan
Eropa itu akan kita caplok, Indonesia akan kita genggam, lanjut Isra.
‘Kita’ bukan bicara politik an-sich. Politik an-sich
itu hanyalah kekuasaan. Islam bisa berjalan tanpa politik. Tapi secara
struktural dan mekanisme, Islam harus berpolitik. Kita bukan di Kuba yang
diperjuangkan oleh Che Guevara dan Castro, karena di sana kontinental dan juga
se-daratan berbeda dengan Indonesia, maka yang paling cocok adalah pemerintahan
Islam, tandas Isra.
‘Kita’ memang tidak hanya ingin berpolitik tapi
kondisi inilah yang membuat kita harus berpolitik. Kalau tidak Islam akan
dikeroyok. Jadilah, Orde Baru gaya baru, tandas Isra. Kita pun jangan mencaci
sistem. Dengan mengatakan kafir padahal kita menganggap politik penting, imbuh
Isra.
Terus sosialis-religius? Bahkan Rasulullah lebih
sosialis dari Marx! Marx tidak menjenguk ayahnya ketika meninggal, Marx tidak
membiayai perkuburan anaknya, itukah sosialis? Sedangkan Rasulullah mampu
membiayai Makkah-Madinah, lanjut Isra.
Buat apa kita bangga dengan pikiran sosialis? Teman
saya seperjuangan dulu di LMND sekarang telah masuk jamaah tabligh.
Alhamdulillah, Allah memang mudah membalikkan hati manusia, kenang Isra.
Kalau kita berkepentingan secara individual, maka
kenanglah Ustad Rahmat Abdullah, Anggota DPR RI, meninggal tapi rumahnya masih
cicil. Pelajarilah pada Ustad Senen, Anggota DPRD Provinsi, tapi rumahnya belum
punya. Itukah kepentingan individu? Tanya Isra.
Kalau kepentingan kelompok dan kepentingan peradaban
maka kita tidak akan hancur. Basis kita adalah basis kader. Kita harus bangga
terhadap diri kita. Kita adalah batu bata peradaban. Keikhlasan yang kita
utamakan, lanjut Isra.
Kalau orientasi kita hanya dunia maka kita bisa saja
melenceng, tandas Isra. Kita sudah merebut kekuasaan maka yang lain harus
mengarahkan kekuasaan, kita tetap mengontrol lewat ekstra parlementer, tambah
Isra.
Untuk memerangi itu susah (hal-hal negatif dalam
pemuatan media terkait Kemenkominfo), karena kita ini diperangi oleh sosialis,
kapitalis, chinese. Dalam konteks Ghozul Fikri, kita diperangi oleh
Freemansory, Zionis, dan dikoordinir oleh Illuminate. Merekalah yang mendidik
Karl Marx, Adam Smith, lanjut Isra.
Diskusi yang berjalan cukup menarik ini, berakhir
sekitar pukul 18.00 menjelang waktu Maghrib. Diskusi ini dihadiri oleh beberapa
kader ikhwan maupun akhwat dan diskusi ini dimoderatori oleh Akhi Wawan.
Diskusi ini berlangsung di Masjid Al-Munawwar.
Posting Komentar
0 Komentar