Membincang Program Penanggulangan Stunting
Membincang Program Penanggulangan
Stunting
M. Sadli
Umasangaji
(Founder
Gizisme)
Ada
beberapa dokumen yang menjelaskan tentang kejadian stunting di Indonesia dan
program penanggulangan stunting. Dokumen-dokumen itu seperti Pendek (Stunting)
di Indonesia, Masalah dan Solusinya oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting)
dan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting oleh Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden Republik
Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di
Kabupaten/ Kota oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Dalam
Dokumen Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting oleh (Sekretariat Wakil Presiden, 2018),
menuliskan terdiri
dari lima pilar, yaitu: 1) Komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional
dan komunikasi perubahan perilaku; 3) Konvergensi program pusat, daerah, dan
desa; 4) ketahanan pangan dan gizi; dan
5) Pemantauan dan evaluasi. Strategi ini diselenggarakan di semua tingkatan
pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah yang
terkait dan institusi
non-pemerintah, seperti swasta,
masyarakat madani, dan komunitas. Strategi ini digunakan untuk
menyasar kelompok prioritas rumah tangga 1.000 HPK dan masyarakat umum di
lokasi prioritas. Ini adalah gambaran kebijakan secara makro.
Dokumen-dokumen itu menggambarkan
penanggulangan stunting melalui kerangka 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000
HPK). Pada 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN)
diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh
akses ke makanan yang cukup dan bergizi.
Pada 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui
perancangan dua kerangka besar Intervensi
Stunting. (Sekretariat Wakil Presiden, 2017).
Menggambarkan Intervensi Spesifik dalam 1000 HPK
Scaling-Up Nutrition (SUN) dalam
konteks Indonesia terpatri dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Gerakan
perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan atau Gerakan 1000 HPK merupakan
upaya Pemerintah dalam perbaikan gizi anak. Periode ini disebut golden periode
atau waktu yang kritis dimana jika tidak dimanfaatkan dengan baik dapat
menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen. (Nefy, 2017).
Pencegahan stunting
memerlukan intervensi gizi yang terpadu, mencakup intervensi gizi spesifik
dan gizi
sensitif. Pengalaman global
menunjukkan bahwa penyelenggaraan intervensi
yang terpadu untuk menyasar
kelompok prioritas di
lokasi prioritas merupakan
kunci keberhasilan perbaikan gizi,
tumbuh kembang anak,
dan pencegahan stunting. Sejalan dengan
inisiatif Percepatan Pencegahan Stunting,
pemerintah meluncurkan Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
(Gernas PPG) yang
ditetapkan melalui Peraturan
Presiden No. 42
tahun 2013 tentang Gernas
PPG dalam kerangka
1.000 HPK. Sasaran prioritas
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting adalah ibu hamil dan
anak berusia 0-23 bulan atau rumah tangga 1.000 HPK. 1.000 HPK
merupakan masa yang
paling kritis dalam
tumbuh kembang anak. Di Indonesia, gangguan pertumbuhan
terbesar terjadi pada periode ini. (Sekretariat Wakil Presiden, 2018).
Ini
merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka
kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan.
Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam
waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan
Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang
dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita. (Sekretariat Wakil
Presiden, 2017).
Strategi Nasional Percepatan
Pencegahan Stunting, menggambarkan intervensi
gizi spesifik menyasar penyebab stunting yang meliputi: 1) Kecukupan
asupan makanan dan gizi; 2) Pemberian makan, perawatan dan pola asuh; dan 3)
Pengobatan infeksi/penyakit. Terdapat tiga kelompok intervensi gizi spesifik:
1) Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi
memiliki dampak paling besar pada pencegahan stunting dan ditujukan
untuk menjangkau semua sasaran prioritas. 2) Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah
gizi dan kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah
intervensi prioritas dilakukan. 3) Intervensi
prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan
sesuai dengan kondisi tertentu, termasuk saat darurat bencana (program gizi
darurat). (Sekretariat Wakil Presiden, 2018).
Sementara
gambaran program di tingkat lapangan untuk Intervensi Gizi Spesifik Percepatan Pencegahan
Stunting meliputi Kelompok 1000 HPK
dan Kelompok Sasaran Usia Lain. Kelompok 1000 HPK meliputi Ibu Hamil, Ibu
Menyusui, dan Balita Usia 0-23 Bulan. Kelompok Sasaran Usia Lain meliputi
Remaja Putri, Wanita Usia Subur dan Balita Usia 24-59 Bulan.
Ibu Hamil dengan intervensi
prioritas seperti pemberian makanan
tambahan bagi ibu hamil dari kelompok miskin atau kondisi Kurang Energi Kronik
(KEK), dan suplementasi tablet tambah darah. Sedangkan intervensi pendukung
seperti Suplementasi kalsium dan pemeriksaan kehamilan. Ibu Menyusui dengan
intervensi meliputi promosi dan konseling menyusui serta konseling pemberian
makan bayi dan anak (PMBA).
Balita
Usia 0-23 Bulan dan Usia 24-59 Bulan hampir memiliki intervensi yang sama
diantaranya; tata
laksana gizi buruk, pemberian makanan tambahan pemulihan bagi anak kurus,
pemantauan dan promosi pertumbuhan sebagai intervensi prioritas. Sedangkan
intervensi pendukung untuk balita meliputi suplementasi kapsul vitamin A,
suplementasi taburia, imunisasi, suplementasi zinc untuk pengobatan diare,
manajemen terpadu balita sakit (MTBS). Remaja Putri memiliki intervensi
prioritas adalah suplementasi tablet tambah darah.
Semua intervensi ini tentu
berkaitan sebagai program untuk pencegahan dalam penurunan angka stunting.
Sedangkan target indikator utama dalam intervensi penurunan stunting
terintegrasi adalah: prevalensi stunting pada anak baduta dan balita,
persentase bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), prevalensi kekurangan
gizi (underweight) pada anak balita, prevalensi wasting (kurus) anak balita,
persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif,
prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri, prevalensi kecacingan pada
anak balita, dan prevalensi diare pada anak baduta dan balita.
Melalui Surveilans
Gizi
Beberapa program intervensi
spesifik yang digambarkan itu dilakukan melalui surveilans gizi. Juknis
Surveilans Gizi dari Kemenkes (2018) menempatkan defenisi surveilans gizi
adalah pengamatan secara terus menerus, tepat waktu dan teratur terhadap
keadaan gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk tindakan segera,
perumusan kebijakan, perencanaan program serta monitoring dan evaluasi program
gizi masyarakat. Hal yang sama didefinisikan dalam Permenkes Nomor 14 Tahun
2019 Tentang Pelaksanaan Teknis Surveilans Gizi, Surveilans Gizi adalah
kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap masalah gizi
masyarakat dan indikator pembinaan gizi.
Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan Teknis Surveilans
Gizi membagi menjadi Indikator Masalah dan Indikator Kinerja (Kemenkes, 2019).
Indikator masalah gizi adalah indikator yang digunakan untuk menilai besaran
masalah gizi yang terjadi di satu wilayah. Indikator masalah gizi terdiri atas:
Persentase balita berat badan kurang (underweight), Persentase balita pendek
(stunting), Persentase balita gizi kurang (wasting), Persentase remaja putri
anemia, Persentase ibu hamil anemia, Persentase ibu hamil risiko Kurang Energi
Kronik (KEK), dan Persentase Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (berat badan
kurang dari 2500 gram).
Indikator kinerja gizi dalam
surveilans gizi adalah indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan
kinerja program gizi, yang meliputi: Cakupan bayi usia kurang dari 6 bulan
mendapat ASI Eksklusif, Cakupan bayi usia 6 bulan mendapat ASI Eksklusif,
Cakupan ibu hamil yang mendapatkan
Tablet Tambah Darah TTD minimal 90 tablet selama masa kehamilan, Cakupan
ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang mendapat makanan tambahan, Cakupan
balita kurus yang mendapat makanan tambahan, Cakupan remaja putri (Rematri) mendapat Tablet Tambah Darah (TTD), Cakupan bayi baru
lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD), Cakupan balita yang ditimbang
berat badannya (D/S), Cakupan balita mempunyai buku Kesehatan Ibu Anak
(KIA)/Kartu Menuju Sehat (KMS), Cakupan balita ditimbang yang naik berat
badannya (N/D), Cakupan balita ditimbang yang tidak naik berat badannya dua
kali berturut-turut (2T/D), Cakupan balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin
A, Cakupan ibu nifas mendapat kapsul vitamin A, Cakupan rumah tangga
mengonsumsi garam beriodium; dan Cakupan kasus balita gizi buruk yang mendapat
perawatan. (Kemenkes, 2019).
Bayangan Evaluasi
Kegiatan surveilans gizi
bermanfaat dalam memberikan informasi keadaan gizi untuk
melakukan deteksi dini masalah gizi dan mengamati kecenderungan yang terjadi,
membuat analisis situasi gizi dan faktor determinannya. Hasil surveilans gizi
digunakan sebagai bahan diseminasi dan advokasi kepada stakeholder, serta untuk
menyusun perumusan kebijakan dalam rangka pengambilan tindakan segera,
perencanaan dan evaluasi terhadap program baik di kabupaten/kota, provinsi
maupun pusat (Kemenkes, 2018).
Pelaksanaan surveilans gizi
dilakukan dari posyandu, puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Secara
rinci surveilans gizi meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis data, tindakan
dan pemanfaatan data (Kemenkes, 2018). Pelaksanaan teknis Surveilans Gizi dilakukan dengan tahapan: a. pengumpulan
data; b. pengolahan dan analisis data; dan c. diseminasi.
Kegiatan yang harus dilakukan dalam
pelaksanaan teknis Surveilans Gizi yaitu pengkajian (assessment), analisis (analysis) dan respon
(action) yang merupakan suatu siklus. Sistem Surveilans Gizi adalah alat untuk menghasilkan informasi yang
sangat membantu dalam formulasi, modifikasi dan aplikasi kebijakan gizi disuatu
wilayah. Surveilans mencakup informasi tentang pengaruh pola konsumsi gizi dan
status gizi, oleh karena itu didalam analisis
Surveilans Gizi juga membutuhkan
informasi terkait faktor ekonomi, sosial budaya dan biologis. (Kemenkes, 2019).
Pengolahan dan analisis
data dilakukan untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalam mendukung program
perbaikan gizi (Kemenkes, 2019). Pengolahan data dapat dilakukan secara
deskriptif maupun analitik, yang disajikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik,
gambar dan peta, atau bentuk penyajian informasi lainnya (Kemenkes, 2015).
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan penerapan manajemen data melalui
kegiatan diantaranya; 1) perekaman data; 2) validasi; 3) pengkodean; 4) alih
bentuk; dan 5) pengelompokan berdasarkan
tempat, waktu dan orang (Kemenkes, 2019).
Membincang soal evaluasi berarti
membayangkan soal baseline data dan target capaian. Berdasarkan presentasi dari
Direktorat Gizi Masyarakat telah
mencetuskan target capaian program untuk 2020-2024. Penulis belum mendapatkan
gambaran apakah data target menggunakan base line dari data apa, apakah laporan
rutin dari Puskesmas, atau hasil survei semisal SSGBI atau hasil Riskesdas.
Akan
tetapi ada yang menjadi ‘gambaran keluhan’ dari misalkan target D/S untuk 2020
cenderung relatif lebih kecil dari target capaian di tahun 2019, ini
menunjukkan bisa jadi data baseline mencapai angka yang lebih rendah dari
target capaian di 2019. Target capaian D/S di tahun 2020 adalah 60%. D/S tentu
digambarkan sebagai partisipasi balita dalam pemantauan pertumbuhan baik
penimbangan maupun pengukuran. Harusnya D/S merupakan representasi dari data
yang lainnya artinya D/S harus awalan data yang baik untuk representasi data
yang baik lainnya. Bila D/S memiliki target 60% berarti cakupan pemantauan
cenderung rendah, apakah karena penyesuaian realitas karena kondisi Pandemi?
Penulis berpikir bahwa dalam penentuan target tentu sesuatu yang telah
ditentukan sebelumnya, mungkin tanpa mendasari kondisi realitas pandemi yang
malah baru terjadi. Maka demikian realitasnya adalah baseline dari partisipasi
balita ini cenderung masih rendah di tahun 2019.
Selain
itu target D/S yang 60% di tahun 2020 juga ditekankan dengan N/D yang 95% di
tahun 2020. Selain data ini, beberapa data dengan target capaian yang cenderung
rendah, misalkan Asi Eksklusif Murni dengan target 35% dan IMD dengan target
54% di tahun 2020. Cakupan Remaja Putri Mendapat Tablet Fe juga memiliki
kecenderungan target capaian yang masih rendah di tahun 2020 yakni 50%. Padahal
bisa dikatakan program-program ini adalah intervensi spesifik dalam pencegahan
stunting. Target prevalensi stunting sendiri pada tahun 2020 adalah 24.1%.
Selebihnya kita sebagai petugas
juga mungkin memang perlu memikirkan, pertama,
program-program inovasi dalam pencegahan stunting selain program-program
yang telah ditentukan. Dan kedua, kita perlu memikirkan inovasi dalam melakukan
akserelasi program-program yang telah ditentukan itu hingga memperbaiki capaian
program yang ada. Demikian bila data indikator kinerja gizi dan beberapa capaian
indikator masalah gizi dengan persentase yang mencapai target dalam target
capaian surveilains gizi maka pada akhirnya prevalensi penurunan angka stunting
seharusnya memang semakin menurun.
Posting Komentar
0 Komentar