Memotret Konsumsi Ikan Untuk Mencegah Stunting

Memotret Konsumsi Ikan Untuk Mencegah Stunting

(Pandangan di Maluku Utara)

M. Sadli Umasangaji



 


Pendahuluan

Stunting merupakan perawakan pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) yang disebabkan kekurangan gizi kronik yang berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan kesehatan ibu yang buruk, riwayat sakit berulang dan praktik pemberian makan pada bayi dan anak yang tidak tepat. Faktor-faktor penyebab potensial pada balita perawakan pendek meliputi faktor ibu, faktor anak dan lingkungan (Kemenkes, 2022).

Stunting merupakan salah satu permasalahan gizi utama pada balita di Indonesia yang belum teratasi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi balita dengan status pendek dan sangat pendek di Indonesia adalah 37.2% pada tahun 2013, dan menurun menjadi 30.8% pada tahun 2018. Studi Status Gizi  Indonesia  (SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka stunting nasional turun dari 27.7% tahun 2019 menjadi 24.4% di tahun 2021. Prevalensi tersebut mengalami penurunan, namun berdasarkan kriteria WHO masih tergolong kategori tinggi (>20%). Selain itu, data di Indonesia sampai saat ini belum memisahkan antara pendek yang disebabkan oleh faktor nutrisi maupun faktor non-nutrisi (faktor genetik, hormon atau familial) (Kemenkes, 2022).

Indonesia merupakan negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya merupakan laut, akan tetapi tidak serta merta membuat bangsa ini memiliki budaya makan ikan yang baik. Anak 1-3 tahun adalah anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan termasuk dalam kelompok rawan gizi. Anak di Indonesia semakin lama semakin pendek. Hal-hal tersebut sebenarnya disebabkan karena konsumsi karbohidrat lebih dominan dibandingkan dengan protein sehingga pertumbuhan akan terganggu (Ulya, N, Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D, 2016).

Maluku Utara atau daerah kepulauan pada umumnya adalah daerah dengan luas lautan yang banyak biasa memiliki potensi perikanan. Potensi yang tersedia untuk perikanan tangkap, mengikuti data lama, sebesar 1.035.230 ton per tahun, di mana potensi lestari sebesar 517.000 ton per tahun, dari potensi tersebut yang baru dimanfaatkan sebesar 150.232 ton per tahun atau 29%. Dengan luas laut 75-78% dari total wilayahnya, Provinsi Maluku Utara memiliki potensi produksi lestari perikanan budidaya yang sangat besar (Oesman, H, 2020). Provinsi Maluku Utara dengan luas laut 75% dan daratan yang hanya 25% memberikan peluang besar bagi pengembangan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat nelayan. Ikan Cakalang dan Ikan Tuna merupakan komoditas perikanan yang paling unggul dan dominan di Pulau Ternate, Hiri, Maitara, dan Tidore (Zulham, A, Subaryono, Ralp, T, 2017).

Salah satu ikhtiar dalam pencegahan stunting adalah dengan pemberian protein hewani. Protein adalah makronutrien yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan dan pengganti jaringan yang rusak. Ikan merupakan salah satu pangan hewani sumber protein yang tinggi dan sangat baik dikonsumsi oleh anak balita dalam rangka pencegahan stunting (Rusyantia, A, 2018).

 

Pembahasan

Konsumsi Ikan, Protein Hewani dan Isu Stunting

Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah kebiasaan makan. Anak cenderung memilih makanan yang disukai dan menyisihkan yang tidak disukai, misalnya jenis sayuran dan ikan. Salah satu zat gizi penting bagi tumbuh kembang anak sekolah adalah protein. Ikan sebagai sumber protein merupakan bahan pangan yang murah, bernilai gizi tinggi dengan kualitas protein yang mudah dicerna serta dapat diolah dengan berbagai macam olahan. Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia dan kandungan protein ikan relatif besar yaitu antara 15 – 25 % per 100 gram daging ikan (Junita, D, Wulandari, D, 2019).

Ikan merupakan bahan makanan yang kaya akan protein, mineral, dan lemak sehat. Selain itu, ikan juga mengandung asam lemak omega-3 dan vitamin K yang sangat dibutuhkan tubuh. Semua kandungan gizi dalam ikan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Ikan laut banyak mengandung omega 3 dan omega 6 yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan sel otak. Hal itu diyakini akan memberi dampak yang baik berupa peningkatan kecerdasan anak. Selain itu, ikan memiliki kandungan kalsium, vitamin D, fosfor, dan nutrisi mineral lain yang bisa membantu pertumbuhan tulang. Ikan termasuk sumber protein yang bermutu tinggi. Protein pada ikan memiliki komposisi dan jumlah asam amino esensial yang lengkap. Absorpsi protein ikan lebih tinggi dibandingkan daging sapi, ayam, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan daging ikan mempunyai serat protein lebih pendek daripada serat protein daging sapi atau daging ayam (Soparue, C, 2021).

Pada umur balita, protein sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak. Kandungan protein ikan tidak kalah dengan protein yang berasal dari daging, susu atau telur. Selain itu ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang harganya lebih murah dibandingkan dengan sumber protein hewani  lainnya seperti daging sapi dan daging ayam (Apriani, R, 2013).

Dalam hal ini ikan sebagaimana bahan protein hewani lain memiliki manfaat dalam pencegahan stunting atau pula dapat dimaksimalkan dalam penanganan stunting. Ikan merupakan salah satu sumber bahan pangan yang mampu menjadi sumber zat gizi bagi manusia khususnya pada balita. Ketersediaan protein yang cukup dalam bahan pangan ikan akan memberikan sumbangan bagi pemenuhan kebutuhan protein. Penelitian yang dilakukan (Dasih, DAS, Saptariana, Astuti, P, 2017) menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara konsumsi protein dengan status gizi. Menunjukkan bahwa status gizi dapat disebabkan oleh peningkatan asupan energi protein disertai dengan karbohidrat karena protein dapat diubah menjadi sumber energi. Status gizi yang baik lebih banyak ditemukan pada anak dengan konsumsi protein yang baik dibandingkan pada anak dengan asupan protein yang kurang.

Penelitian yang dilakukan (Rusyantia, A, 2018) menunjukkan hasil uji statistik chi-square antara hubungan kebiasaan konsumsi protein hewani dengan kejadian stunting diperoleh nilai p = 0.002 (< 0,05) yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi protein hewani dengan kejadian stunting. Hasil penelitian itu juga memberikan gambaran sebanyak 32.7% anak batita di Pulau Pasaran jarang mengkonsumsi ikan dengan frekuensi ≤ 3 kali per minggu. Sedangkan sebesar 67.3% sering mengkonsumsi ikan dengan frekuensi ≥ 4 kali per minggu.

Dalam konteks ini tentu Maluku Utara sebagai daerah pesisir dengan potensi perikanan diharapkan memberikan gambaran konsumsi ikan yang baik pada balita serta angka stunting maupun indikator status gizi lain berada pada posisi yang baik. Maluku Utara berdasarkan data SSGI tahun 2022 memiliki data stunted yang berada pada angka 26.1% (Kemenkes, 2022). Harapannya dengan potensi perikanan sebagai sumber protein dapat menanggulangi masalah stunting.

 

Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Ikan

            Kebiasaan makan merupakan gambaran utama dalam konsumsi makanan atau daya terima balita terhadap makanan. Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan pangan, pola sosial budaya dan faktor-faktor pribadi. Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu. Kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpenuhi kecukupan gizi). Kebiasaan makan yang terbentuk sejak kecil dapat dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain perbedaan etnis, tingkat sosial ekonomi, geografi, iklim, agama dan kepercayaan serta tingkat kemajuan teknologi. Kebiasaan makan banyak dipengaruhi oleh variabel lingkungan (Khomsan, A, Anwar, F, Sukandar, D, Riyadi, H, 2010).

            Rerata konsumsi kelompok ikan dan olahannya berdasarkan Studi Diet Total (2014) menunjukkan rerata konsumsi balita usia 0-59 bulan adalah ikan laut 21.7 gram dan ikan air tawar 13.1 gram. Dengan total konsumsi ikan dan olahannya adalah 39.8 gram (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2014).

            Maluku Utara dengan potensi perikanan yang baik akan tetapi kebiasaan makan, kesukaan anak terhadap ikan, daya beli keluarga terhadap ikan adalah hal-hal yang akan mempengaruhi konsumsi ikan pada balita. Belum lagi secara kuantitas dan tentu juga kualitas akan mempengaruhi nilai gizi dari konsumsi ikan pada balita. Sebagaimana penelitian yang dilakukan (Khurilin, 2015) menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain status ekonomi, pendidikan ibu, kebiasaan makan anak, preferensi anak, tabu, pengetahuan ibu serta ketersediaan bahan makanan.

            Penelitian lain yang dilakukan (Dasih, DAS, Saptariana, Astuti, P, 2017) memberikan asumsi bahwa mayoritas responden memiliki kebiasaan makan ikan yang baik, hal tersebut menunjukkan bahwa responden mengerti akan pentingnya mengkonsumsi ikan. Asumsinya, responden yang telah memiliki pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan, dalam kehidupan sehari-hari akan sering mengkonsumsi ikan. Pengetahuan gizi yang baik merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Akan tetapi dalam konteks tertentu, hal tersebut belum tentu diterapkan sesuai dengan  informasi yang diperoleh, banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya kebiasaan makan ikan. Konsumsi makan oleh masyarakat atau keluarga, bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, permasakan, distribusi pada keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini tergantung pula pada pendapatan, agama, adat kebiasaan, dan pendidikan masyarakat bersangkutan.

 

Memungkinkan Variasi Olahan Ikan Sebagai Daya Terima Konsumsi

            Penelitian yang dilakukan (Rusyantia, A, 2018) menguraikan perlu adanya olahan menu yang variatif sebagai menu makan utama dan selingan bagi balita untuk meningkatkan konsumsi protein hewani. Pada umumnya masyarakat mengenal ikan sebagai lauk-pauk dengan pengolahan yang sederhana dan terbatas yaitu, dengan olahan digoreng, dipanggang, dan digulai. Keterbatasan dalam mengolah ikan dapat menyebabkan timbulnya kebosanan anak untuk mengkonsumsi ikan (Apriani, R, 2013). Sebagaimana juga di Maluku Utara, ikan tentu lebih banyak diolah seperti biasanya dibuat direbus dan berkuah, digoreng dan digulai. Atau bentuk ikan yang diasapkan dan juga dikeringkan.

Cara yang dapat ditempuh untuk peningkatan konsumsi ikan adalah dengan meningkatkan ragam pengolahannya (Apriani, R, 2013). Rasa dan aroma ikan yang amis menjadi alasan anak tidak memilih ikan sebagai sumber protein hewani. Kegiatan pengabdian yang dilakukan (Apriati, Y, Mattiro, S, 2020) menghasilkan ternyata anak-anak yang hadir menyukai hasil olahan ikan seperti nugget ikan, bakso ikan, dan otak-otak ikan. Hal ini dapat menjadi alternatif untuk keluarga dengan membuat ikan menjadi hasil olahan yang sesuai.

Di Maluku Utara sendiri beberapa alternatif olahan ikan yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak adalah abon ikan dan ikan ancor-ancor (ikan yang dihaluskan). Secara umum cara pengolahan ikan yang disajikan pada anak adalah berasal dari ikan segar atau ikan laut yang kemudian dibuat rebus, kuah, atau digoreng. Penelitian yang dilakukan (Ulya, N, Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D, 2016) sebagai alternatif memberikan asumsi bahwa ibu-ibu rumah tangga juga sudah mendapatkan pelatihan pengolahan ikan menjadi olahan modern seperti bakso, nugget, kaki naga, otak-otak, dan sebagainya, sehingga diharapkan ibu-ibu bisa mengolah ikan untuk keluarganya di rumah dengan cara yang berbeda dan diharapkan dapat membantu anak untuk gemar makan ikan.

 

Gemar Makan Ikan dalam Upaya Pencegahan Stunting

            GEMARIKAN (Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan) adalah program nasional yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai tahun 2004 yang bertujuan untuk mengkampanyekan akan pentingnya manfaat makan ikan sejak dini (Soparue, C, 2021). Pola konsumsi ikan masih bisa ditingkatkan mengingat potensi sumberdaya perikanan cukup besar baik dari perikanan tangkap (terutama untuk daerah pesisir) maupun hasil budidaya ikan air tawar. Ketersediaan ikan membuat masyarakat dapat memilih sesuai dengan daya beli akan tetapi perlu penyuluhan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan dan melalui gerakan mengkonsumsi ikan (GEMAR IKAN) secara sistematis akan mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya kandungan gizi yang ada pada  ikan (Apriani, R, 2013).

Beberapa hal yang dapat menguatkan Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan antara lain pertama, memaksimalkan peran ibu dalam pemberian konsumsi ikan pada balita. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Karakteristik periode kritis  ini adalah pertumbuhan sel otak cepat, dalam waktu yang singkat, peka terhadap stimulasi dan pengalaman, fleksibel mengambil alih fungsi sel disekitarnya dengan membentuk sinaps-sinaps serta sangat mempengaruhi periode tumbuh kembang selanjutnya (Ulya, N, Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D, 2016).

Kedua, memaksimalkan informasi Gemar Makan Ikan di berbagai fasilitas. Pengetahuan gizi ibu mengenai ikan yang diukur meliputi kandungan gizi yang terdapat dalam ikan, manfaat mengkonsumsi ikan, ciri-ciri ikan yang baik untuk dikonsumsi, dan jenis-jenis ikan. Pengetahuan tersebut menjadi dasar dalam membentuk pola makan. Ibu memegang kendali yang cukup besar dalam menentukan pola makan keluarga termasuk pola makan anak. Pengetahuan gizi yang baik memicu ibu untuk membentuk pola makan yang baik juga (Azkia, B, Suyatno, Kartini, A, 2020).

Kegiatan pengabdian yang dilakukan (Junita, D, Wulandari, D, 2019) memberikan gambaran menerapkan leaflet dan modul dalam menyampaikan pesan pentingnya konsumsi ikan, menggali faktor-faktor yang mempengaruhi anak dalam konsumsi ikan. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan sasaran dan diketahui faktor yang mempengaruhi sasaran dalam mengkonsumsi ikan. Hasil kegiatan ini menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan kelompok sasaran tentang pentingnya konsumsi ikan, tetapi belum dapat dipastikan penerapan dalam praktik sehari-hari. Sehingga perlu dilakukan pemantauan dalam implementasinya. Pengetahuan dan motivasi bukanlah faktor utama anak mau konsumsi ikan, ketersediaan pangan berbahan ikan di rumah dan pengolahan yang dapat meningkatkan minat anak untuk konsumsi ikan merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan (Junita, D, Wulandari, D, 2019).

Ketiga, mencoba menyediakan makanan tambahan lokal berbasis ikan bagi balita. Hal ini bisa dilakukan melalui desa (dana desa) atau penganggaran lain. Angka stunting dan gizi kurang yang masih dijumpai di kegiatan posyandu menjadi sumber keresahan bagi petugas gizi dan juga kader posyandu. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka tersebut, salah satunya dengan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita. Gerakan Makan Ikan yang digaungkan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi hasil tersebutpun masih belum bisa direalisasikan sempurna baik oleh para kader posyandu maupun masyarakat karena keterbatasan informasi. Transfer pengetahuan dan informasi terkait pentingnya ikan berupa penyuluhan dan sosialisasi dari narasumber yang berkompeten serta inovasi dan kreatifitas diversifikasi olahan ikan berupa praktek serta pendampingan sebagai penunjang kegiatan program PMT yang diikuti oleh para kader posyandu dan ibu-ibu. Kegiatan seperti ini secara  nyata  dapat meningkatkan wawasan  serta  keterampilan  kader posyandu dan  ibu balita dalam mengolah makanan sehingga memotivasi pada ibu balita (Hastuti, DWB, Ekasanti, A, Nugrayani, D, Hidayati, NV, 2022). Dengan demikian memaksimalkan peran ibu, pengenalan sebaran informasi tentang pentingnya konsumsi ikan serta penyediaan makanan tambahan lokal berbasis ikan merupakan alternatif pencegahan dan penanganan stunting.

 

Kesimpulan

            Sebagaimana uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertama, konsumsi ikan sebagai pemenuhan protein hewani memiliki relevansi dalam pencegahan dan penanganan stunting. Kedua, konsumsi ikan menjadi potensi penting bagi daerah pesisir. Ketiga, menganalisis faktor yang mempengaruhi konsumsi atau kebiasaan makan anak terhadap ikan adalah pemaksimalan terhadap daya terima konsumsi ikan. Keempat, memaksimalkan variasi pengolahan ikan merupakan bentuk peningkatan daya terima konsumsi ikan. Kelima, memaksimalkan peran ibu, pengenalan sebaran informasi tentang pentingnya konsumsi ikan serta penyediaan makanan tambahan lokal berbasis ikan merupakan alternatif pencegahan dan penanganan stunting.

 

Daftar Pustaka

Apriani, R, 2013. Pola Konsumsi Ikan Pada Anak Balita di Nagari Taruang-Taruang Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman.

Apriati, Y, Mattiro, S, 2020. Sosialisasi Gemarikan (Gerakan Makan Ikan) Melalui Produk Olahan Ikan Untuk Peningkatan Gizi Anak-Anak di Lingkungan RT 15 Kompleks Perdana Mandiri Kelurahan Sungai Andai, Banjarmasin Utara.

Azkia, B, Suyatno, Kartini, A, 2020. Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Ikan Pada Balita di Wilayah Pesisir dan Perbukitan Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 8, Nomor 3, Mei 2020.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2014. Laporan Hasil Studi Diet Total (SDT) Tahun 2014.

Dasih, DAS, Saptariana, Astuti, P, 2017. Hubungan Antara Kebiasaan Makan Ikan dengan Status Gizi Balita Usia 6 - 59 Bulan pada Keluarga Nelayan RW 01 Desa Nyamplungsari Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang. Focuze Vol.6 No.2 (2017).

Hastuti, DWB, Ekasanti, A, Nugrayani, D, Hidayati, NV, 2022. Diversifikasi Olahan Ikan Sebagai Variasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Balita di Desa Tambaknegara, Kabupaten Banyumas. Indonesian Journal Of Community Enggegment Vol. 3, No. 3 2022, Hal. 154-159.

Junita, D, Wulandari, D, 2019. Gemar Makan Ikan Untuk Kecerdasan Anak Sekolah di SDN 82/IV Sejinjang Kota Jambi. Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK) Vol 1 Nomor 1, Januari 2019.

Kemenkes, 2022. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting.

Kemenkes, 2022. Status Gizi SSGI 2022.

Khomsan, A, Anwar, F, Sukandar, D, Riyadi, H, 2010. Studi Tentang Pengetahuan Gizi Ibu dan Kebiasaan Makan Pada Rumah Tangga di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai. Jurnal Gizi dan Pangan.

Khurilin, ML, 2015. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Ikan, Sayur, dan Buah Pada Anak Usia Prasekolah di TK LPII, Desa Sawotratap, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Jurnal e-journal boga, Volume 04, No 2, edisi yudisium periode Juni 2015, hal 41- 46.

Nurbaiti, L, Adi, AC, Devi, SR, Harthana, T, 2014. Kebiasaan Makan Balita Stunting Pada Masyarakat Suku Sasak: Tinjauan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 27, No. 2, Tahun 2014, hal. 104-112.

Oesman, H, 2020. Dilema Wilayah Lumbung Ikan (Dari Konsumerisme Menuju Produktivitas). Jurnal BIOSAINSTEK. Vol. 2 No. 2, 12– 16.

Rusyantia, A, 2018. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Ikan dan Asupan Protein Hewani dengan Kejadian Stunting Batita di Pulau Pasaran Kotamadya Bandar Lampung. Jurnal Surya Medika Volume 4 No. 1.

Soparue, C, 2021. Peningkatan Pengetahuan Tentang Manfaat Konsumsi Ikan Melalui Kegiatan Sosialisasi “Gemar Makan Ikan-Gemarikan” Pada Anak Sekolah Dasar Negeri 5, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Kepulauan Lahan Kering.

Ulya, N, Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D, 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Konsumsi Ikan Pada Anak Usia 1-3 Tahun di Kota Pekalongan. Jurnal Litbang Kota Pekalongan Volume 8.

Zulham, A, Subaryono, Ralp, T, 2017. Rekomendasi Pengembangan Perikanan Tangkap di Ternate dan Sekitarnya. Pusat Riset Perikanan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan.

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar