Memotret Konsumsi Ikan Untuk Mencegah Stunting
Memotret Konsumsi Ikan Untuk Mencegah Stunting
(Pandangan di Maluku Utara)
M. Sadli Umasangaji
Pendahuluan
Stunting merupakan perawakan pendek atau
sangat pendek berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut usia yang kurang
dari -2 Standar Deviasi (SD) yang disebabkan kekurangan gizi kronik yang
berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan kesehatan ibu
yang buruk, riwayat sakit berulang dan praktik pemberian makan pada bayi dan
anak yang tidak tepat. Faktor-faktor penyebab potensial pada balita perawakan
pendek meliputi faktor ibu, faktor anak dan lingkungan (Kemenkes, 2022).
Stunting merupakan salah satu
permasalahan gizi utama pada balita di Indonesia yang belum teratasi. Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi balita dengan status
pendek dan sangat pendek di Indonesia adalah 37.2% pada tahun 2013, dan menurun
menjadi 30.8% pada tahun 2018. Studi Status Gizi Indonesia
(SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka stunting nasional turun
dari 27.7% tahun 2019 menjadi 24.4% di tahun 2021. Prevalensi tersebut
mengalami penurunan, namun berdasarkan kriteria WHO masih tergolong kategori
tinggi (>20%). Selain itu, data di Indonesia sampai saat ini belum
memisahkan antara pendek yang disebabkan oleh faktor nutrisi maupun faktor
non-nutrisi (faktor genetik, hormon atau familial) (Kemenkes, 2022).
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang 2/3 wilayahnya merupakan laut, akan tetapi tidak serta merta membuat
bangsa ini memiliki budaya makan ikan yang baik. Anak 1-3 tahun adalah anak
yang masih dalam masa pertumbuhan dan termasuk dalam kelompok rawan gizi. Anak
di Indonesia semakin lama semakin pendek. Hal-hal tersebut sebenarnya disebabkan
karena konsumsi karbohidrat lebih dominan dibandingkan dengan protein sehingga
pertumbuhan akan terganggu (Ulya, N, Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D,
2016).
Maluku Utara atau daerah kepulauan pada
umumnya adalah daerah dengan luas lautan yang banyak biasa memiliki potensi
perikanan. Potensi yang tersedia untuk perikanan tangkap, mengikuti data lama,
sebesar 1.035.230 ton per tahun, di mana potensi lestari sebesar 517.000 ton
per tahun, dari potensi tersebut yang baru dimanfaatkan sebesar 150.232 ton per
tahun atau 29%. Dengan luas laut 75-78%
dari total wilayahnya, Provinsi Maluku Utara memiliki potensi produksi lestari perikanan budidaya
yang sangat besar (Oesman,
H, 2020). Provinsi Maluku Utara dengan luas laut 75% dan daratan yang hanya 25%
memberikan peluang besar bagi pengembangan perikanan untuk kesejahteraan
masyarakat nelayan. Ikan Cakalang dan Ikan Tuna merupakan komoditas perikanan
yang paling unggul dan dominan di Pulau Ternate, Hiri, Maitara, dan Tidore
(Zulham, A, Subaryono, Ralp, T, 2017).
Salah satu ikhtiar dalam pencegahan
stunting adalah dengan pemberian protein hewani. Protein adalah makronutrien
yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan dan pengganti jaringan yang rusak. Ikan
merupakan salah satu pangan hewani sumber protein yang tinggi dan sangat baik
dikonsumsi oleh anak balita dalam rangka pencegahan stunting (Rusyantia, A,
2018).
Pembahasan
Konsumsi Ikan,
Protein Hewani dan Isu Stunting
Salah satu faktor yang mempengaruhi
status gizi anak adalah kebiasaan makan. Anak cenderung memilih makanan yang
disukai dan menyisihkan yang tidak disukai, misalnya jenis sayuran dan ikan.
Salah satu zat gizi penting bagi tumbuh kembang anak sekolah adalah protein.
Ikan sebagai sumber protein merupakan bahan pangan yang murah, bernilai gizi
tinggi dengan kualitas protein yang mudah dicerna serta dapat diolah dengan
berbagai macam olahan. Protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan
protein hewani yang diperlukan oleh manusia dan kandungan protein ikan relatif
besar yaitu antara 15 – 25 % per 100 gram daging ikan (Junita, D, Wulandari, D,
2019).
Ikan merupakan bahan makanan yang kaya
akan protein, mineral, dan lemak sehat. Selain itu, ikan juga mengandung asam
lemak omega-3 dan vitamin K yang sangat dibutuhkan tubuh. Semua kandungan gizi
dalam ikan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Ikan
laut banyak mengandung omega 3 dan omega 6 yang berperan penting dalam
pembentukan dan perkembangan sel otak. Hal itu diyakini akan memberi dampak
yang baik berupa peningkatan kecerdasan anak. Selain itu, ikan memiliki
kandungan kalsium, vitamin D, fosfor, dan nutrisi mineral lain yang bisa
membantu pertumbuhan tulang. Ikan termasuk sumber protein yang bermutu tinggi.
Protein pada ikan memiliki komposisi dan jumlah asam amino esensial yang
lengkap. Absorpsi protein ikan lebih tinggi dibandingkan daging sapi, ayam, dan
lain-lain. Hal ini dikarenakan daging ikan mempunyai serat protein lebih pendek
daripada serat protein daging sapi atau daging ayam (Soparue, C, 2021).
Pada umur balita, protein sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak. Kandungan protein
ikan tidak kalah dengan protein yang berasal dari daging, susu atau telur.
Selain itu ikan adalah salah satu sumber protein hewani yang harganya lebih
murah dibandingkan dengan sumber protein hewani
lainnya seperti daging sapi dan daging ayam (Apriani, R, 2013).
Dalam hal ini ikan sebagaimana bahan
protein hewani lain memiliki manfaat dalam pencegahan stunting atau pula dapat
dimaksimalkan dalam penanganan stunting. Ikan merupakan salah satu sumber bahan
pangan yang mampu menjadi sumber zat gizi bagi manusia khususnya pada balita.
Ketersediaan protein yang cukup dalam bahan pangan ikan akan memberikan
sumbangan bagi pemenuhan kebutuhan protein. Penelitian yang dilakukan (Dasih,
DAS, Saptariana, Astuti, P, 2017) menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna
antara konsumsi protein dengan status gizi. Menunjukkan bahwa status gizi dapat
disebabkan oleh peningkatan asupan energi protein disertai dengan karbohidrat
karena protein dapat diubah menjadi sumber energi. Status gizi yang baik lebih
banyak ditemukan pada anak dengan konsumsi protein yang baik dibandingkan pada
anak dengan asupan protein yang kurang.
Penelitian yang dilakukan (Rusyantia, A,
2018) menunjukkan hasil uji statistik chi-square antara hubungan kebiasaan
konsumsi protein hewani dengan kejadian stunting diperoleh nilai p = 0.002
(< 0,05) yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi
protein hewani dengan kejadian stunting. Hasil penelitian itu juga memberikan
gambaran sebanyak 32.7% anak batita di Pulau Pasaran jarang mengkonsumsi ikan dengan
frekuensi ≤ 3 kali per minggu. Sedangkan sebesar 67.3% sering mengkonsumsi ikan
dengan frekuensi ≥ 4 kali per minggu.
Dalam konteks ini tentu Maluku Utara
sebagai daerah pesisir dengan potensi perikanan diharapkan memberikan gambaran
konsumsi ikan yang baik pada balita serta angka stunting maupun indikator
status gizi lain berada pada posisi yang baik. Maluku Utara berdasarkan data
SSGI tahun 2022 memiliki data stunted yang berada pada angka 26.1% (Kemenkes,
2022). Harapannya dengan potensi perikanan sebagai sumber protein dapat
menanggulangi masalah stunting.
Faktor yang
Mempengaruhi Konsumsi Ikan
Kebiasaan makan merupakan gambaran
utama dalam konsumsi makanan atau daya terima balita terhadap makanan. Kebiasaan
makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi
kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan.
Tiga faktor terpenting yang mempengaruhi kebiasaan makan adalah ketersediaan
pangan, pola sosial budaya dan faktor-faktor pribadi. Hal yang perlu
diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan makan adalah konsumsi pangan
(kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap makanan tertentu, kepercayaan,
pantangan, atau sikap terhadap makanan tertentu. Kebiasaan makan ada yang baik
atau dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat
menghambat terpenuhi kecukupan gizi). Kebiasaan makan yang terbentuk sejak
kecil dapat dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain perbedaan etnis, tingkat
sosial ekonomi, geografi, iklim, agama dan kepercayaan serta tingkat kemajuan teknologi.
Kebiasaan makan banyak dipengaruhi oleh variabel lingkungan (Khomsan, A, Anwar,
F, Sukandar, D, Riyadi, H, 2010).
Rerata konsumsi kelompok ikan dan
olahannya berdasarkan Studi Diet Total (2014) menunjukkan rerata konsumsi
balita usia 0-59 bulan adalah ikan laut 21.7 gram dan ikan air tawar 13.1 gram.
Dengan total konsumsi ikan dan olahannya adalah 39.8 gram (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2014).
Maluku Utara dengan potensi
perikanan yang baik akan tetapi kebiasaan makan, kesukaan anak terhadap ikan,
daya beli keluarga terhadap ikan adalah hal-hal yang akan mempengaruhi konsumsi
ikan pada balita. Belum lagi secara kuantitas dan tentu juga kualitas akan
mempengaruhi nilai gizi dari konsumsi ikan pada balita. Sebagaimana penelitian
yang dilakukan (Khurilin, 2015) menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi
antara lain status ekonomi, pendidikan ibu, kebiasaan makan anak, preferensi
anak, tabu, pengetahuan ibu serta ketersediaan bahan makanan.
Penelitian lain yang dilakukan
(Dasih, DAS, Saptariana, Astuti, P, 2017) memberikan asumsi bahwa mayoritas
responden memiliki kebiasaan makan ikan yang baik, hal tersebut menunjukkan
bahwa responden mengerti akan pentingnya mengkonsumsi ikan. Asumsinya,
responden yang telah memiliki pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan,
dalam kehidupan sehari-hari akan sering mengkonsumsi ikan. Pengetahuan gizi
yang baik merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan
makan seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Akan
tetapi dalam konteks tertentu, hal tersebut belum tentu diterapkan sesuai
dengan informasi yang diperoleh, banyak
hal yang mempengaruhi terbentuknya kebiasaan makan ikan. Konsumsi makan oleh
masyarakat atau keluarga, bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli,
permasakan, distribusi pada keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan.
Hal ini tergantung pula pada pendapatan, agama, adat kebiasaan, dan pendidikan
masyarakat bersangkutan.
Memungkinkan
Variasi Olahan Ikan Sebagai Daya Terima Konsumsi
Penelitian yang dilakukan
(Rusyantia, A, 2018) menguraikan perlu adanya olahan menu yang variatif sebagai
menu makan utama dan selingan bagi balita untuk meningkatkan konsumsi protein
hewani. Pada umumnya masyarakat mengenal ikan sebagai lauk-pauk dengan
pengolahan yang sederhana dan terbatas yaitu, dengan olahan digoreng,
dipanggang, dan digulai. Keterbatasan dalam mengolah ikan dapat menyebabkan
timbulnya kebosanan anak untuk mengkonsumsi ikan (Apriani, R, 2013).
Sebagaimana juga di Maluku Utara, ikan tentu lebih banyak diolah seperti
biasanya dibuat direbus dan berkuah, digoreng dan digulai. Atau bentuk ikan
yang diasapkan dan juga dikeringkan.
Cara yang dapat ditempuh untuk
peningkatan konsumsi ikan adalah dengan meningkatkan ragam pengolahannya
(Apriani, R, 2013). Rasa dan aroma ikan yang amis menjadi alasan anak tidak
memilih ikan sebagai sumber protein hewani. Kegiatan pengabdian yang dilakukan
(Apriati, Y, Mattiro, S, 2020) menghasilkan ternyata anak-anak yang hadir
menyukai hasil olahan ikan seperti nugget ikan, bakso ikan, dan otak-otak ikan.
Hal ini dapat menjadi alternatif untuk keluarga dengan membuat ikan menjadi
hasil olahan yang sesuai.
Di Maluku Utara sendiri beberapa
alternatif olahan ikan yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak adalah abon ikan
dan ikan ancor-ancor (ikan yang dihaluskan). Secara umum cara pengolahan ikan
yang disajikan pada anak adalah berasal dari ikan segar atau ikan laut yang
kemudian dibuat rebus, kuah, atau digoreng. Penelitian yang dilakukan (Ulya, N,
Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D, 2016) sebagai alternatif memberikan
asumsi bahwa ibu-ibu rumah tangga juga sudah mendapatkan pelatihan pengolahan
ikan menjadi olahan modern seperti bakso, nugget, kaki naga, otak-otak, dan
sebagainya, sehingga diharapkan ibu-ibu bisa mengolah ikan untuk keluarganya di
rumah dengan cara yang berbeda dan diharapkan dapat membantu anak untuk gemar
makan ikan.
Gemar Makan Ikan
dalam Upaya Pencegahan Stunting
GEMARIKAN (Gerakan Memasyarakatkan
Makan Ikan) adalah program nasional yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan mulai tahun 2004 yang bertujuan untuk mengkampanyekan akan
pentingnya manfaat makan ikan sejak dini (Soparue, C, 2021). Pola konsumsi ikan
masih bisa ditingkatkan mengingat potensi sumberdaya perikanan cukup besar baik
dari perikanan tangkap (terutama untuk daerah pesisir) maupun hasil budidaya
ikan air tawar. Ketersediaan ikan membuat masyarakat dapat memilih sesuai
dengan daya beli akan tetapi perlu penyuluhan tentang pentingnya mengkonsumsi
ikan dan melalui gerakan mengkonsumsi ikan (GEMAR IKAN) secara sistematis akan
mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya kandungan gizi yang ada
pada ikan (Apriani, R, 2013).
Beberapa hal yang dapat menguatkan
Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan antara lain pertama, memaksimalkan peran ibu
dalam pemberian konsumsi ikan pada balita. Anak usia 1-3 tahun merupakan
konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya.
Karakteristik periode kritis ini adalah
pertumbuhan sel otak cepat, dalam waktu yang singkat, peka terhadap stimulasi
dan pengalaman, fleksibel mengambil alih fungsi sel disekitarnya dengan
membentuk sinaps-sinaps serta sangat mempengaruhi periode tumbuh kembang
selanjutnya (Ulya, N, Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D, 2016).
Kedua, memaksimalkan informasi Gemar
Makan Ikan di berbagai fasilitas. Pengetahuan gizi ibu mengenai ikan yang
diukur meliputi kandungan gizi yang terdapat dalam ikan, manfaat mengkonsumsi
ikan, ciri-ciri ikan yang baik untuk dikonsumsi, dan jenis-jenis ikan.
Pengetahuan tersebut menjadi dasar dalam membentuk pola makan. Ibu memegang
kendali yang cukup besar dalam menentukan pola makan keluarga termasuk pola
makan anak. Pengetahuan gizi yang baik memicu ibu untuk membentuk pola makan
yang baik juga (Azkia, B, Suyatno, Kartini, A, 2020).
Kegiatan pengabdian yang dilakukan
(Junita, D, Wulandari, D, 2019) memberikan gambaran menerapkan leaflet dan
modul dalam menyampaikan pesan pentingnya konsumsi ikan, menggali faktor-faktor
yang mempengaruhi anak dalam konsumsi ikan. Sehingga diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan sasaran dan diketahui faktor yang mempengaruhi sasaran
dalam mengkonsumsi ikan. Hasil kegiatan ini menyimpulkan bahwa terjadi
peningkatan pengetahuan kelompok sasaran tentang pentingnya konsumsi ikan,
tetapi belum dapat dipastikan penerapan dalam praktik sehari-hari. Sehingga
perlu dilakukan pemantauan dalam implementasinya. Pengetahuan dan motivasi
bukanlah faktor utama anak mau konsumsi ikan, ketersediaan pangan berbahan ikan
di rumah dan pengolahan yang dapat meningkatkan minat anak untuk konsumsi ikan
merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan (Junita, D, Wulandari, D, 2019).
Ketiga, mencoba menyediakan makanan
tambahan lokal berbasis ikan bagi balita. Hal ini bisa dilakukan melalui desa
(dana desa) atau penganggaran lain. Angka stunting dan gizi kurang yang masih
dijumpai di kegiatan posyandu menjadi sumber keresahan bagi petugas gizi dan
juga kader posyandu. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka
tersebut, salah satunya dengan program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk
balita. Gerakan Makan Ikan yang digaungkan oleh pemerintah daerah untuk
mengatasi hasil tersebutpun masih belum bisa direalisasikan sempurna baik oleh
para kader posyandu maupun masyarakat karena keterbatasan informasi. Transfer
pengetahuan dan informasi terkait pentingnya ikan berupa penyuluhan dan
sosialisasi dari narasumber yang berkompeten serta inovasi dan kreatifitas diversifikasi
olahan ikan berupa praktek serta pendampingan sebagai penunjang kegiatan
program PMT yang diikuti oleh para kader posyandu dan ibu-ibu. Kegiatan seperti
ini secara nyata dapat meningkatkan wawasan serta
keterampilan kader posyandu dan ibu balita dalam mengolah makanan sehingga
memotivasi pada ibu balita (Hastuti, DWB, Ekasanti, A, Nugrayani, D, Hidayati,
NV, 2022). Dengan demikian memaksimalkan peran ibu, pengenalan sebaran
informasi tentang pentingnya konsumsi ikan serta penyediaan makanan tambahan
lokal berbasis ikan merupakan alternatif pencegahan dan penanganan stunting.
Kesimpulan
Sebagaimana uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa pertama, konsumsi ikan sebagai pemenuhan protein hewani
memiliki relevansi dalam pencegahan dan penanganan stunting. Kedua, konsumsi
ikan menjadi potensi penting bagi daerah pesisir. Ketiga, menganalisis faktor
yang mempengaruhi konsumsi atau kebiasaan makan anak terhadap ikan adalah pemaksimalan
terhadap daya terima konsumsi ikan. Keempat, memaksimalkan variasi pengolahan
ikan merupakan bentuk peningkatan daya terima konsumsi ikan. Kelima,
memaksimalkan peran ibu, pengenalan sebaran informasi tentang pentingnya
konsumsi ikan serta penyediaan makanan tambahan lokal berbasis ikan merupakan
alternatif pencegahan dan penanganan stunting.
Daftar Pustaka
Apriani, R, 2013. Pola Konsumsi Ikan Pada Anak Balita di Nagari Taruang-Taruang Kecamatan
Rao Kabupaten Pasaman.
Apriati, Y, Mattiro, S, 2020. Sosialisasi Gemarikan (Gerakan Makan Ikan) Melalui Produk Olahan Ikan
Untuk Peningkatan Gizi Anak-Anak di Lingkungan RT 15 Kompleks Perdana Mandiri
Kelurahan Sungai Andai, Banjarmasin Utara.
Azkia, B, Suyatno, Kartini, A, 2020. Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Ikan Pada
Balita di Wilayah Pesisir dan Perbukitan Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal) Volume 8, Nomor 3, Mei 2020.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2014. Laporan Hasil Studi Diet Total (SDT) Tahun
2014.
Dasih, DAS, Saptariana, Astuti, P, 2017. Hubungan Antara Kebiasaan Makan Ikan dengan
Status Gizi Balita Usia 6 - 59 Bulan pada Keluarga Nelayan RW 01 Desa
Nyamplungsari Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang. Focuze Vol.6 No.2
(2017).
Hastuti, DWB, Ekasanti, A, Nugrayani, D, Hidayati,
NV, 2022. Diversifikasi Olahan Ikan
Sebagai Variasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Balita di Desa Tambaknegara,
Kabupaten Banyumas. Indonesian Journal Of Community Enggegment Vol. 3, No.
3 2022, Hal. 154-159.
Junita, D, Wulandari, D, 2019. Gemar Makan Ikan Untuk Kecerdasan Anak Sekolah di SDN 82/IV Sejinjang
Kota Jambi. Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK) Vol 1 Nomor 1, Januari 2019.
Kemenkes, 2022. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting.
Kemenkes, 2022. Status
Gizi SSGI 2022.
Khomsan, A, Anwar, F, Sukandar, D, Riyadi, H, 2010. Studi Tentang Pengetahuan Gizi Ibu dan
Kebiasaan Makan Pada Rumah Tangga di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai.
Jurnal Gizi dan Pangan.
Khurilin, ML, 2015. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Ikan, Sayur, dan Buah
Pada Anak Usia Prasekolah di TK LPII, Desa Sawotratap, Kecamatan Gedangan,
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal e-journal boga, Volume 04, No 2, edisi yudisium
periode Juni 2015, hal 41- 46.
Nurbaiti, L, Adi, AC, Devi, SR, Harthana, T, 2014. Kebiasaan Makan Balita Stunting Pada
Masyarakat Suku Sasak: Tinjauan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Jurnal
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 27, No. 2, Tahun 2014, hal. 104-112.
Oesman, H, 2020. Dilema
Wilayah Lumbung Ikan (Dari Konsumerisme Menuju Produktivitas). Jurnal
BIOSAINSTEK. Vol. 2 No. 2, 12– 16.
Rusyantia, A, 2018. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Ikan dan Asupan Protein Hewani dengan
Kejadian Stunting Batita di Pulau Pasaran Kotamadya Bandar Lampung. Jurnal
Surya Medika Volume 4 No. 1.
Soparue, C, 2021. Peningkatan Pengetahuan Tentang Manfaat Konsumsi Ikan Melalui Kegiatan
Sosialisasi “Gemar Makan Ikan-Gemarikan” Pada Anak Sekolah Dasar Negeri 5,
Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Pengabdian Pada
Masyarakat Kepulauan Lahan Kering.
Ulya, N, Ratna, P, Artanti, S, Kusumawardhani, D,
2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan
Dengan Konsumsi Ikan Pada Anak Usia 1-3 Tahun di Kota Pekalongan. Jurnal
Litbang Kota Pekalongan Volume 8.
Zulham, A, Subaryono, Ralp, T, 2017. Rekomendasi Pengembangan Perikanan Tangkap
di Ternate dan Sekitarnya. Pusat Riset Perikanan Badan Riset dan Sumber
Daya Manusia Kelautan dan Perikanan.
Posting Komentar
0 Komentar