Dunia Besar dan Dunia Kecil
Dunia Besar dan Dunia Kecil
Yanuardi Syukur
Apa yang terjadi di dunia global yang luas juga terjadi
dalam dunia personal yang sempit. Perang dan damai misalnya, itu juga tidak
hanya melanda negara atau blok negara-negara, tapi juga diri dan gabungan
beberapa diri.
Kemenangan atas pertarungan tidak hanya terjadi setelah
perjuangan fisik dan diplomatik antar kekuatan yang bertikai. Tapi juga terjadi
dalam diri, antara si baik dan si buruk. Si baik cenderung ajak damai, tapi si
buruk selalu ingin perang. Si baik senang rekonsiliasi, tapi si buruk mau tetap
retaliasi.
Konon, citra dunia ini dalam skala kecilnya ada dalam diri
kita. Itulah kenapa harga nyawa seorang manusia itu sangat mahal. Nyawa
dihargai paling tinggi, dan melenyapkan satu nyawa hampir sama dengan
memusnahkan nyawa satu spesies manusia. Makna batinnya, kehidupan itu mulia dan
semua orang harus memuliakannya.
Menjelang Idul Fitri misalnya, kita sering dengar kata
kemenangan. Kata itu hanya muncul setelah melewati perjuangan. Dalam hal ini,
perjuangan melawan hawa nafsu. Kemenangan di sini berarti hasil atas jerih
payah, bahkan pengorbanan.
Seorang ayah bisa jadi tidak dikenal orang, tapi ketika
melihat anaknya tumbuh bermakna, dia jadi bahagia. Pun ibu, yang mungkin
berlinang air mata saat melihat anaknya 'jadi orang.' Entah itu tempat yang
jauhkah, atau di tempat yang dekat, seorang ayah dan ibu--apalagi di usianya
yang tidak muda lagi--sangat bangga atas anaknya yang bermakna dan 'jadi
orang'.
Si anak yang bermakna dan 'jadi orang' itu juga menjadi
bukan dapat begitu saja. Dia dapat dari kerja keras, dari usaha lahir dan batin
untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya. Setelah sekian kegagalan,
dia yang tidak mau patah pun mendapatkan kemenangan. Seringnya, menang itu
'selangkah lagi' dari nafas-nafas perjuangan yang sudah terengah-engah.
Jadi, kalau kita lihat cerita kemenangan, kelompok atau
personal, yakinlah bahwa di balik itu ada harga yang harus dibayar. Tak ada
kemenangan yang gratis. Contoh lain, ingin anaknya bisa mengaji berarti orang
tua harus investasikan waktu dan tenaga agar anaknya bisa mengaji. Bahkan,
berpisah dengan anak yang tinggal di pondok pesantren adalah perjuangan demi
masa depan.
Pakar parenting bilang, berlelah-lelahlah engkau ketika
anakmu masih kecil, karena kalau tidak maka engkau akan teramat lelah saat
engkau telah tua. Ya, banyak orang tua yang lelah, bahkan sangat melelahkan
melihatnya anaknya yang dewasa tumbuh tidak sesuai kehendak. Ketika anak tidak
bisa mengaji, atau minim ilmu agama, dia jadi sulit bertindak agamis ketika
diperhadapkan pada situasi sulit.
Saya beberapa kali dengar ada anak yang ketika orang tuanya
wafat dia tidak bisa menjadi imam bagi orang tuanya. Bahkan, menjadi makmum
juga dia tidak bisa. Bayangkan, di hari-hari terakhir orang tuanya, si anak
hanya bisa menonton bagaimana orang tuanya disalatkan. Tragis tentu saja. Kalau
tidak bisa jadi imam, setidaknya ikutlah dalam salat jenazah itu.
Hal-hal sedih seperti itu kadang membuat saya sedih. Sedih
karena kasihan orang tuanya. Orang tua bekerja siang makan untuk anaknya tapi
anaknya tidak bisa mengantarkan orang tuanya di hari terakhir. Bahkan, ada juga
anak yang tidak bisa memimpin doa di perkuburan orang tuanya. Jadi, selama
puluhan tahun hidup tidak adakah waktu barang satu-dua hari bagi anak itu untuk
menghafal satu-dua surat pendek, atau doa?
Kembali kita pada dunia besar dan dunia kecil. Sebagai
manusia, kita adalah anggota dalam dunia besar. Apa yang kita lakukan itu
dilihat dan dinilai orang lain. Selain itu, kita juga hidup dalam dunia kecil,
ya di situ ada mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, dan kawan-kawannya.
Agama mengatakan, pada masa depan nanti 'mulut akan terkunci
dan tangan akan berbicara'. Itu berarti bahwa kehidupan dunia kecil kita juga
harus diatur sebaik mungkin. Jangan egois, tubuh ini bukan datang tiba-tiba,
ini ada hanya karena rahmat dan perkenan-Nya saja. Dan kehidupan kita di dunia
besar maupun dunia kecil semuanya akan dipertanggungjawabkan.
Posting Komentar
0 Komentar